Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 10 || Mencemaskan Segala

Perempuan adalah puisi yang menawarkan tiga hal; rasa, makna dan cinta.

Ya atau tidak.

Mau tidak mau hari ini Zaki harus memberi jawaban pada Shofi. Bagaimana bila perempuan di depannya nanti patah? Bagaimana bila pada akhirnya Zaki hanya membuatnya kecewa?

Sejujurnya besok adalah hari ke tujuh di mana orang tua Shofi akan kembali kemari untuk meminta sebuah kepastian, tetapi Shofi yang baik hati itu meminta jawaban Zaki hari ini, karena dia tak mau melukai kedua orang tuanya bila akhirnya mereka harus mendengar sebuah keputusan yang tak mengenakkan.

"Shofi--" Zaki tak mampu berkata-kata. Di ruang tamu rumah ndalem ini dia tak tahu harus menata kata seperti apa. Berbatasan dengan ruang keluarga, di sana terlihat Gus Hamdan yang sedang menggendong anaknya.

Bertemu di sini dengan Shofi adalah pilihan. Bagaimana pun Zaki merupakan santri yang selalu memegang teguh suatu peraturan dan di sinilah tempatnya dia tak akan pernah dicurigai. Dan lagi dia tak boleh berbohong bahwa dia butuh kehadiran orang ketiga untuk menemani mereka.

"Shofi, maaf kalau keputusan saya mengecewakanmu. Tapi saya harus jujur padamu bahwa kamu pantas mendapatkan yang lebih baik dari saya. Bukan hanya berbicara tentang perasaan, lebih dari itu saya dan kamu memiliki keluarga yang berbeda.

"Saya bukan Zaki yang kamu lihat sekarang. Ada banyak kebohongan yang saya sembunyikan. Ada banyak dusta yang tak pernah saya perlihatkan dan ada banyak sekali kekecewaan yang kamu dapatkan bila harus bersama saya.

"Ini bukan untuk kebaikan saya. Tapi demi kebaikanmu. Kamu baik dan nyaris memiliki segalanya sedangkan saya berada jauh di belakangmu. Pergilah, kejar cita-citamu dan tinggalkan saya. Di luar sana ada banyak laki-laki yang menginginkanmu. Lebih dari saya."

Suasana hening. Perempuan di depan Zaki yang memakai jilbab merah muda itu menunduk. Bukan hanya Shofi yang kecewa, Zaki pun kecewa dengan dirinya sendiri. Tentang mengapa dia tega membuat keputusan tak seenak ini. Tentang dia yang akhirnya menciptakan lara di hati Shofi setelah ini.

"Ya, sekarang saya paham." Perempuan itu tersenyum. Dia bangkit dari duduknya, lalu melangkah keluar dengan hati yang remuk redam meninggalkan Zaki.

"Shofi!" Tiba-tiba Zaki memanggilnya saat perempuan itu sudah hendak pergi meninggalkan pelataran rumah ndalem. Dia berhenti, tetapi sama sekali tak berbalik ke arah Zaki.

"Saya minta maaf." Hanya itu yang Zaki katakan.

Shofi sama sekali tak merespons, tanpa perlu menjawab, dia langsung pergi dan benar-benar pergi membiarkan patahnya mengalir ke seluruh jiwa. Dalam perjalanannya kembali ke kamar atau memutuskan untuk ke perpustakaan, selalu saja dia mengingat perkataan Zaki tentang "laki-laki lain" yang diucapkannya dan tiga kata itulah yang membuat Shofi tak nyaman.

Seharusnya Zaki tak perlu membawa orang lain masuk ke dalam percakapan mereka. Shofi tak suka saat dia membawa orang lain untuk menyamarkan perasaannya yang memang tidak pernah tertaut. Zaki seolah memintanya untuk jatuh cinta (lagi) dan melupakannya. Untuk apa?

Perihal jatuh cinta sesungguhnya Shofi tak ingin mengulangnya untuk yang kedua. Dia sudah pernah jatuh cinta dan dia tak perlu mengulangnya lagi. Karena baginya sudah cukup.

Perihal dia mendapatkan timbal balik atau tidak sesungguhnya bukan urusan Zaki. Selama ini Shofi lebih suka memendam perasaannya sendiri. Andai orang tuanya tak pernah memiliki ide untuk melamarkan Zaki untuknya mungkin rasa itu masih terawat dan rapi tersimpan pada bagian paling dalam.

Untuk selanjutnya terserah padamu bukan? Aku tak perlu memaksa tentang apa pun yang bukan milikku. Rasamu pun bukan milikku. Ketika kau berkata padaku bahwa kau tak bisa bersamaku itu adalah hakmu. Sedangkan hakku adalah mencintaimu. Selalu. Dalam diamku. Entah sampai kapan, kamu tak perlu peduli karena ini bukan tentangmu lagi.

Ini tentang aku dan diriku sendiri yang harus mampu bekerjasama menyimpan rasa ini kembali. Seharusnya aku tak perlu kecewa tapi mungkin untuk beberapa hari ke depan, aku akan membiarkan diriku patah dulu. Aku hanya berharap waktu akan menyembuhkan segalanya.

Dan yang paling penting, kamu tak perlu memikirkanku lagi. Aku akan menjalani semuanya dengan baik. Aku akan melakukan apa yang bisa kulakukan. Ini sudah usai menurutmu, tapi nahasnya di depan harapan namamu selalu ada. Hingga kapan pun.

Benar bahwa kata mereka jatuh cinta adalah pekerjaan melukai diri sendiri dan dengan segala kebodohanku, aku menikmatinya. Aku menikmati luka itu setiap hari. Dan bila pada akhirnya semesta menghentikan pekerjaanku ini, aku dengan senang hati akan melupakanmu.

Gadis itu duduk di ujung perpustakaan yang sepi. Membenamkan dirinya di sana. Membiarkan luka-luka itu menguar. Hatinya patah luar biasa. Perlahan, air matanya luruh juga menyadari dia tak bisa melakukan apa-apa kecuali membiarkan tangisnya pecah perlahan. Dia tak bisa menyalahkan siapa pun, apalagi Tuhan. Dia tak salah. Yang salah adalah dirinya terlalu berharap berlebihan pada manusia padahal Shofi tahu bahwa Allah memberitahukan seluruh hamba-Nya untuk bergantung pada-Nya yang tak pernah mengecewakan.

🕊️🕊️

"Sudah selesai, Zaki?" tanya seseorang.

Zaki menoleh. Dia tersenyum saat Gus Hamdan duduk di depannya kemudian. "Saya nggak enakan. Dia baik banget Gus. Saya ngerasa jadi laki-laki nggak tahu diri."

"Kamu bilang apa sama dia?"

"Bukannya tadi Gus Hamdan di ruang tengah? Gus Hamdan pasti dengar, kan?"

"Waktu kamu baru bilang maaf sama Shofi saya langsung masuk ke kamar. Saya nggak suka kalau lihat cewek kecewa."

Zaki menunduk. Dia pun. Apalagi itu karenanya. Namun Zaki merasa tak memiliki apa pun lagi selain menolak daripada memaksakan kehendak. Lebih baik dia membiarkan Shofi pergi daripada bersamanya dalam kurungan rasa yang takan pernah pasti.

"Saya bilang padanya, kalau dia berhak mendapatkan yang lebih baik dari saya. Toh sebenarnya banyak banget yang dia nggak tahu tentang saya. Dia nggak tahu kalau keluarga saya--"

"Ya cukup. Sebenarnya saya yakin kalau Shofi tak akan pernah mempermasalahkan ini. Tapi saya juga harus menghargai keputusan kamu. Nggak enak emang kalau kita menikah dengan seseorang yang nggak kita suka. Sekarang tinggal kamu mau bagaimana," kata Gus Hamdan.

"Makasih Gus udah mengerti saya," ucap Zaki pelan.

"Gus, kalau Gus Ismail dan Ibu kapan pulang?"

"Besok pulang sama adik ipar saya juga."

"Ning Ayas libur?"

"Iya dia libur."

Setelah berbincang sebentar, Zaki akhirnya memutuskan untuk kembali ke asrama. Siang nanti dia harus ngajar di kelas wustha dan sore nanti dia akan kembali berkutat dengan laptop untuk memperbaiki tulisannya.

Besok nanti dia akan menjemput Hala dan membicarakan pernikahan mereka.

🕊️🕊️

Boleh saya meminta agar jangan pernah siapa pun melukai putra saya satu-satunya.

Seharusnya kami tak perlu menikah bila pada akhirnya seperti ini. Mungkin tulisan-tulisan ini akan dibaca olehmu suatu saat nanti, kan Muhammad Zaki El-Haitami?

Bagaimana keadaanmu? Sedang apa, Nak? Sudah makan? Zaki, saat ini mama ingin sekali menatap wajahmu. Barangkali kau sudah dewasa saat membaca tulisan tangan mama yang berantakan ini, tetapi tetaplah bertahan, Nak, mama memiliki cerita untukmu yang harus kamu ketahui.

Zaki, apa yang kamu rasakan sekarang? Apakah kamu tengah memikirkan sesuatu atau menginginkan sesuatu? Misalnya kamu rindu sandwich di pagi hari atau bermain bersama Hala di taman depan rumah? Apa pun yang kau rindukan atau inginkan, semoga tak mengganggu konsentrasimu untuk menyimak tulisan-tulisan selanjutnya.

Laki-laki itu kembali menatap jalanan Jakarta di bawah sana. Lalu lalang kendaraan baik roda empat maupun roda dua tampak saling bersahut-sahutan suara klakson. Tidak terlalu terdengar jelas hingga di sini, tetapi sayup-sayup kebisingan itu selalu berhasil membuat pecah konsentrasinya.

Sesekali suara dengung mesin pesawat yang lewat di atas sana terdengar nyaring, hingga dia harus menatapnya sebentar, mengingat masa kecilnya yang sering berteriak minta uang pada pesawat tebang itu. Hingga sekarang dia sadar bahwa hal yang dilakukan sangatlah konyol. Suaranya takan pernah menembus cakrawala. Benda terbang itu tak akan mungkin menjatuhkan karung berisi uang untuk anak-anak yang berteriak keras, sesekali mengejar hingga kedua mata tak lagi mampu memandang.

Atau masa kecilnya yang sering melambai pada kereta api dan entah apa tujuannya. Itu hanyalah beberapa bongkahan-bongkahan lampau di mana sesungguhnya Zaki tak pernah benar-benar menikmatinya.

Kembali dia menundukkan kepala untuk melanjutkan mengeja tulisan latin yang disusun oleh Haura. Di atas rooftop asrama ini seakan dia mendapat surat dari masa lalu. Ibunya yang telah meninggal empat tahun silam seolah bercerita di telinga Zaki tentang banyak hal yang benar-benar tak pernah diketahui.

Di buku ini saya akan mengajak kamu untuk istirahat sejenak dari panasnya kenyataan di luar sana. Di mana mungkin saat ini fitnah-fitnah bertebaran luar biasa, caci maki menjadi konsumsi sehari-hari yang kau dengar melalui barang elektronik yang kau pegang. Manusia berlomba-lomba mengejar kefanaan dan kamu pasti butuh istirahat, Nak. Kamu harus berteduh di bawah pohon dan pohon itu adalah cinta.

Kamu ingat seseorang yang pernah saya ceritakan padamu semasa kecil? Kau mengidolakannya sampai sekarang, Zaki? Waktu itu saya senang saat kau mulai merespons tentang wanita mulia peletak dasar Mazhab Cinta.

Ma, Rabi'ah Al-Adhawiyah itu siapa? Dan apakah Zaki boleh bertemu dengannya? Kamu masih ingat tentang pertanyaan itu, Zaki? Saya senang sekali saat kau menanyakannya terhadap saya. Walau sebelumnya saya telah menjelaskan, tapi saat itu saya seakan dipinta untuk menceritakannya dari awal.

Zaki apa ada yang memanggilmu? Kalau tidak, ayo lanjutkan membaca tulisan ini. Semoga kamu memiliki banyak waktu untuk membacanya.

Laki-laki itu tersenyum. Rabi'ah Al-Adhawiyah. Sufi itu dikenalkan oleh Haura dua puluh tahun lalu saat Zaki masih berusia empat tahun.

Lalu di buku itu sepertinya Haura akan kembali mengingatkan Zaki tentang perjalanan Rabi'ah dan beberapa hal yang belum Zaki ketahui tentang petualangan spiritual Rabi'ah Al-Adhawiyah. Namun lima menit lagi waktunya mengajar.

Laki-laki itu menutup laptop dan buku harian Haura, sebelum akhirnya dia bangkit dan berjalan menuruni tangga menuju lantai dasar. Dia akan melanjutkannya nanti. Barangkali di sela-sela membaca tulisan Haura, akan ada beberapa jawaban dari kode yang belum terselesaikan.



Apdet :))

Yay, jadi di cerita ini sufinya Rabi'ah Al-Adhawiyah ^^

Bila ada kesalahan, sila sampaikan saja dengan bahasa yang baik. Vote dan komen jangan lupa, ya kalau mau sih. Ga juga gapapa muehehe~

Asal follow dulu dong, udah sampe sini nih masa masih gada cita² buat mengikuti wkwk

Salam | Milky Way

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro