Bab 02 || Bahwa
Cinta adalah ketika kau memandangnya, kau bahagia.
Setelah mengganti baju wisuda dengan pakaian taqwa biru muda serta sarung hitam, Zaki langsung keluar dari kamar tepat pukul 15.30. Laki-laki berpeci hitam itu merupakan santri sekaligus guru di pesantren Umar bin Khattab, Jakarta.
Barangkali sudah 12 tahun dia menjadi bagian dari keluarga Umar bin Khattab, hingga akhirnya dia mendapat kepercayaan besar dari pengasuhnya--ayah Gus Hamdan-- yang bernama Muhammad Saif Ismail, atau lebih akrab disapa Gus Ismail.
Pesantren Umar bin Khattab sebenarnya cabang dari salah satu pesantren milik ayah Gus Ismail yang berada di Jogja. Maka barangkali usia pesantren ini masih sangat muda, dan Zaki sendiri merupakan angkatan ketiga. Saat itu santri masih dapat dihitung jari. Hingga akhirnya karena kegigihan Gus Ismail yang selalu yakin dapat mengembangkan pesantren, lambat laun jumlah santri terus bertambah dan bertambah. Dan benar, bahwa hasil tak akan pernah mengkhianati proses. Sekarang Umar bin Khattab menjadi pesantren salaf favorit dengan jumlah santri yang selalu padat dan semakin berkembang setiap masanya.
Setelah sampai teras deretan kamar mahasiswa, dia memakai sandal jepit hitam dan mulai meninggalkan kamar yang sejak kemarin tidak terlalu ramai, sangat berbeda dengan komplek santri diniyah yang selalu padat setiap hari. Asrama mahasiswa cenderung sepi, terlebih asrama ini masih sangat baru. Barangkali belum genap lima tahun berdiri dan hanya memiliki santri mahasiswa yang tak lebih dari 300 jumlahnya.
Seharusnya sekarang jadwal Zaki mengajar di kelas Ulya. Namun untuk beberapa hari ke depan, dia mendapat jatah liburan karena persiapan wisuda kemarin. Gus Ismail memberikan kelonggaran waktu, tetapi meski begitu Zaki tak pernah mengambil jatah libur untuk mengaji. Kuliah dan pesantren keduanya sama-sama penting. Dia tak pernah menggunakan kata mondok sembari kuliah atau kuliah sembari mondok. Kalau bisa mondok dan kuliah kenapa harus diberi kata sambilan yang membuat telinganya tak nyaman ketika tak sengaja mendengar penuturan dari beberapa orang.
Tetapi demikian, setiap manusia memiliki kebebasan dalam berpikir dan mananggapi suatu kejadian atau hal semisal sepele ini dan Zaki memilih jalan tengah untuk tak pernah membandingkan dua hal yang sama-sama penting.
Di sepanjang jalan menuju rumah ndalem yang berada di komplek santri paling pusat, dia terus bertanya-tanya tentang tamu yang akan ditemuinya hari ini. Keluarganya kah? Atau mungkin keluarga tantenya. Entah telah beberapa tahun hingga kini, Allah sang penulis skenario tebaik belum mengizinkan Zaki untuk menemui mereka semua. Menemui orang-orang yang selalu dibawanya pada doa-doa yang semakin panjang dalam sujud sepertiga malam.
Tentang mereka yang Zaki sendiri tak memahami semuanya. Seperti fatamorgana yang kemudian senyap ditelan realita.
Sekitar lima menit kemudian, dia sampai di depan rumah minimalis bercat hijau muda. Beberapa pohon mangga tumbuh di pelataran rumah yang berdiri di sudut asrama pusat itu. Sandal dan sepatu berjajar di teras. Zaki menduga bahwa di dalam memang benar-benar ramai.
Perlahan dia mulai melangkah dan melepas sandal di teras. Ada sedikit keraguan, tetapi akhirnya dia tetap memilih berjalan mendekati pintu depan yang baru saja terbuka.
"Ayo masuk. Mereka udah nungguin kamu." Gus Hamdan memegang pundak Zaki. Laki-laki itu tersenyum kecil, berjalan masuk dan seketika kedua matanya menangkap banyak orang yang duduk di ruang tamu bernuansa putih tulang. Mereka semua seolah menjadikan Zaki sebagai pusat perhatian. Di sana ada Gus Ismail beserta istri dan di sebrang mereka duduk berjajar yang kemungkinan sekeluarga, tak Zaki kenali.
Dalam hati dia kecewa karena ternyata mereka bukan keluarganya. Namun sekarang yang menjadi pertanyaan, kenapa keluarga itu ingin menemui Zaki.
Setelah dipersilahkan duduk, pemuda itu duduk di sebelah Gus Ismail dan Hamdan. Dia menunduk. Tak paham apa yang akan dilakukan.
"Sebelumnya saya meminta maaf bila kehadiran kami sangat mendadak dan mengganggu waktu Nak Zaki." Suara seorang pria mulai berucap.
Zaki mengangkat kepala singkat untuk memberikan senyum pada mereka. Pria itu berusia sekitar 50 tahunan, memakai kemeja batik dan celana hitam. Sedangkan di sebelahnya dapat diduga adalah sang istri yang berusia sekitar 48 tahun.
"Kedatangan kami kemari tidak lain adalah melamar Nak Zaki untuk putri bungsu kami yang bernama Shofi."
"Hah?" Gus Hamdan yang duduk di samping Zaki terkejut. Untung saja kata kejutnya tak diucapkan dengan keras.
Zaki mengerutkan alisnya sesat. Dia mengangkat kepala lalu menatap singkat perempuan berabaya hitam serta berjilbab mustard yang duduk di sebelah kanan pria itu. Bahkan dia baru sadar bahwa Shofi yang dimaksud adalah teman satu fakultasnya. Lebih dari itu Zaki baru tahu bahwa keluarga yang berderet di depannya itu merupakan keluarga Shofi, gadis berkulit putih yang memiliki dua lesung pipit yang membuatnya terlihat semakin manis saat tersenyum.
Tentu Zaki terkejut luar biasa. Dia melirik wajah Gus Ismail dan istrinya, barangkali mereka pun merasa kaget.
Keduanya tak saling mengenal, bahkan sedikit pun Zaki tak pernah memberikan perhatiannya pada perempuan itu. Seingatnya Shofi pernah menjadi kandidat sebagai ketua Asrama dan dia kalah 13 suara hingga akhirnya gagal. Hanya itu yang Zaki tahu.
Shofi ini Khadijah banget. Batin Zaki.
"Bagaimana keputusan Nak Zaki?" Ibu Shofi bertanya.
"Eh-- kalau boleh meminta waktu, berikan saya beberapa hari untuk berpikir, Bu."
"Berapa hari?"
"Mungkin tujuh hari."
"Baik. Itu nggak masalah. Kami berharap semoga Nak Zaki bersedia menjadi suami anak kami, Shofi." Wanita itu tersenyum.
Zaki membalasnya ragu. Semoga ini hanya mimpi walau tadi dia sempat merasakan senggolan Hamdan di tubuhnya.
🕊️🕊️
"Ki, Shofi itu siapa sih? Anak santri sini?" tanya Hamdan setelah meneguk setengah air mineral dari botol kecil.
Selepas keluarga Shofi pulang, Zaki masih belum meninggalkan tempat. Hamdan memintanya untuk menetap barang sebentar.
"Iya, Gus. Dia sefakultas juga sama saya. Cuma kalau di kampus juga kita jarang banget ketemu. Apalagi dia kayaknya nggak pandai bergaul. Jadi saya kurang kenal juga."
"Berani banget ya," gumam Gus Hamdan.
"Tapi, Zaki, kamu nggak perlu maksain perasaan kamu. Kalau kamu suka, terima. Kalau masih belum siap nikah, nggak usah dipaksa. Yang lebih berat daripada nggak bisa mendapatkan timbal balik rasa, yaitu ketika kamu bersama seseorang yang tidak bisa kamu cintai. Berpura-pura itu nggak baik, Zaki. Menyakiti perasaan dia nantinya," ujar Gus Hamdan kemudian.
Zaki menatap pria itu lalu tersenyum mengiyakan. Itu juga yang terlintas dalam batinnya. Sejauh ini dia belum siap untuk menikah, tetapi dia menghargai keberanian Shofi yang melamarnya. Namun, perasaan bisa berbalik seenaknya. Bisa jadi tujuh hari ke depan Allah membolak-balikkan perasaannya. Setiap yang terjadi adalah ghaib dan hanya Dia-lah yang Maha mengetahui tentang yang menurut Zaki tidak pasti.
"Eh, Gus, kalau menurut Gus Hamdan sendiri gimana?" tanya Zaki.
"Ini mengingatkan kita sih sama hadist Rasul yang diriwayatkan Imam Tirmizi, yang bunyinya idza ahabba ahadukumu akhohu, falyu'limhu iyyah. Bila seseorang mencintai saudaranya, hendaklah memberitahukan padanya.
"Ini mengingatkan saya sama ceritanya ulama besar, Syaikh Said Ramadhan al-Buthy yang pernah dikirimi surat sama seorang Mahasiswi. Dia cerita sama Syaikh tentang perasaan sukanya sama seorang Mahasiswa dan nanya juga, apakah mencintai dan membayangkan dia berdosa?
"Terus di majalah Thabibuka, Syaikh Buthy menjawab, Cinta adalah perasaan yang masuk dalam hati tanpa sengaja, persis seperti lapar, haus dan perasaan lainnya. Perasaan tersebut tidak masuk dalam halal-haram selama tidak ada implementasi dengan tindakan-tindakan negative.
"Terus Syaikh Buthy pun beri penjelasan lebih dari yang tadi, katanya daripada si mahasiswi tadi galau atau gelisah, lebih baik kamu minta keluarga, sahabat atau teman yang dipercaya untuk ngasih tahu perasaanmu sama pemuda itu. Karena itu bukan hal yang hina. Bahkan katanya kalau masih berat, Syaikh Buthy mau jadi perantaranya.
"Jadi kalau kata saya dia ini pemberani banget, Ki. Ke sini sama orang tuanya buat ngelamar kamu. Tahu sih, fitrah perempuan itu menunggu tapi nggak dosa juga kalau mau beraksi duluan. Kadang-kadang cowok juga nggak peka, sih," tandas Hamdan.
"Bi, sufi perempuan yang ngelamar duluan itu namanya siapa deh?" tanya Hamdan pada pria yang masih duduk di kursi sebrang, yakni ayahnya.
"Fathimah An-Naisaburiya," sahut Gus Ismail.
"Nah itu sufi Fatimah ngelamar laki-laki yang kemudian jadi suaminya. Sampai di sini ya kelihatannya nggak masalah sih, cuma barangkali hanya satu banding seratus gitu, Ki. Atau satu banding seribu lah. Jarang cewek berani kayak Shofi. Sesungguhnya laki-laki lah yang harus ngertiin.
"Tapi Zaki, pesan saya walaupun kamu nggak nerima bisa nggak nanti nolaknya jangan sampai nyakitin hati dia? Katakan yang benar walau itu pahit, tapi saya paling nggak nyaman kalau lihat cewek patah hati karena cowok gitu. Tapi ini kan tentang pilihan, ya. Semuanya kembali ke kamu." Gus Hamdan menepuk pundak Zaki.
Penuturan Gus Hamdan dari awal, membuat Zaki perlahan mengerti sedikit tentang apa yang harus dipilihnya. Dia tak perlu buru-buru untuk menolak atau menerima. Masih ada tujuh hari untuk memikirkan, dan dia harus menggunakan waktu untuk sebenar-benarnya berpikir.
Sampai sini, barangkali dia harus mengenal lebih jauh lagi tentang segala hal yang berkaitan dengan Shofi.
Update lagi 🤗
Bila ada kesalahan, sila sampaikan dengan baik. Kalau ada typo, nanti saya edit lagi.
Terima kasih sudah baca. Mau vote dan komentar terserah, mau baca aja terserah, mau vote aja terserah. Muehehe~ terserah kalian pokoknya 😌 asalkan jangan jadikan lapak ini buat debat. Karena kata Rumi, dengan hidup yang hanya sepanjang tarikan napas ini jangan tanam apa-apa kecuali cinta.
Salam | Milky Way 💙
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro