Bab 01 || Kau Tahu
Tak perlu mencari Tuhan hingga sampai pada dimensi tanpa batasmu. Karena ketika kau mampu memahami dirimu, kau kan mengenal Tuhanmu.
Di luar gedung yang cukup besar, ramai para wisudawan yang baru saja menuntaskan upacara sakral yang paling ditunggu. Cita-cita menjadi sarjana telah didekapnya, meski melalui banyak jalan yang kerapkali tak seirama.
Konsep untuk mencapai suatu ambisi kerapkali dihadapkan pada enigma atau kelamnya realitas yang tak terbantahkan. Begitulah kerapkali suatu kehidupan mengalirkan tujuan.
Laki-laki berpakaian wisuda lengkap yang sedang duduk di salah satu sudut luar, bernama Muhammad Zaki el-Haitami itu menatap euforia yang semakin gegap. Banyak para wisudawan yang kini mulai sibuk bergaya, dipotretnya kenangan yang tak akan pernah dilupakan. Beberapa tahun mengorbankan waktu, merelakan jumlah rupiah demi menggenggam ilmu baru dan memperbaiki kualitas hidup dari jenjang yang lebih tinggi. Maka barangkali kelulusan yang kemudian didapatkan merupakan hadiah atas berhasilnya mereka melewati pelbagai suka duka dalam melaksanakan banyaknya tugas dari tahun ke tahun.
Menit berikutnya, dia bangkit mencoba berjalan menjauh mencari tempat sepi untuk menyembunyikan kekalutannya saat ini. Dipegangnya map dan tabung wisuda di tangan kanan dengan erat, dan terus melangkah melewati jalan setapak mencari tempat duduk yang senyap atau nanti memutuskan untuk pulang saja. Kegiatan sudah selesai dan dia tak terlalu berminat untuk menetap di sana. Mereka telah berkumpul dengan keluarganya, tersenyum dan tertawa sedang Zaki tak diberi kesempatan untuk menikmati itu semua. Family time itu tak pernah ada.
"Bro!" Seseorang menepuk pundaknya.
Dia menoleh dan mendapati teman laki-lakinya.
"Besok jangan lupa kumpul di rumah gue. Gimana pun lo harus dateng, Ki. Terakhir."
"Berapa anak?"
"Yang pasti ada Dimas dan Revan. Kata Dimas kalau lo nggak dateng dia nyamper ke asrama."
"Halah, sampe gerbang paling balik lagi."
Dia tertawa. "Yang penting besok lo dateng, Boy."
Setelah teman itu kembali pergi, Zaki melanjutkan langkahnya entah ke mana. Menghabiskan waktu empat tahun di sini terasa sangat singkat. Sepertinya baru kemarin dia harus mencari banyak referensi untuk skripsi kemudian berlelah-lelahan kembali saat harus revisi. Perjalanan untuk memindahkan kucir toga dari kiri ke kanan memang tidak mudah. Belum lagi dia membagi waktu untuk mengaji dan mengerjakan tugas kuliah.
Kalau bukan karena Allah yang memudahkan, barangkali dia tak akan mampu hingga sampai di titik ini. Sungguh saat dilahirkan, dia tak membawa apa pun kecuali badan. Kalau bukan karena Allah yang memberi kecerdasan untuk berpikir, akal untuk memilah, dan kekuatan untuk bertahan, dia mungkin lebih cocok menjadi butiran pasir yang diinjak-injak manusia lainnya. Segala yang dimiliki adalah pinjaman, dan cara berterima kasihnya dengan mencintai yang liyan.
Sekitar tiga menit kemudian, dia sampai di dekat parkiran, deretan kendaraan roda empat dan dua berderet rapi.
"Zaki," panggil seseorang.
Laki-laki berusia hampir 24 tahun itu menoleh. Dia tersenyum ketika dua netra cokelat terangnya mendapati pasangan muda yang berjalan mendekat.
"Gus Hamdan seharusnya nggak perlu ke sini. Ini merepotkan," ucap Zaki setelah mencium pucuk tangan kanan putra sulung pemilik pesantren yang dikenyamnya saat ini. Lalu dia tersenyum pada wanita berusia sekitar 23 tahun bergamis hijau tua, selaku istri dari seseorang yang sangat dihormati.
"Jangan ngomong begitu. Selamat atas kelulusanmu, ya. Ini hadiah untukmu. Abi sama Umi nggak bisa ke sini karena ada tamu dari pesantren Ali. Jadi, kami yang mewakili." Pria bernama lengkap Muhammad Hamdan Hawasi itu menjelaskan dengan lembut. Dia menyodorkan kotak cokelat tua pada Zaki.
Laki-laki itu menanggapi. "Matur suwun, Gus."
"Masih ada acara? Kalau nggak, nanti kita makan di luar. Di mobil ada adik sepupu juga. Biar kamu nggak ngerasa jadi obat nyamuk." Hamdan tertawa kecil, kemudian disusul sang istri.
"Udah selesai semua, Gus. Dari tadi juga saya udah berniat pulang."
"Udah foto sama temen kelas?"
"Udah."
Barangkali foto bersama mereka adalah suatu kewajiban yang kemungkinan besar tak akan pernah terulang lagi. Kalau pun suatu saat nanti diadakan reuni, pasti tidak akan lengkap lagi.
"Ya udah, ayo kita makan di luar. Hitung-hitung buat ngerayain wisudamu."
Di pesantren yang ditempati sekarang, rasanya Zaki telah mendapat keluarga baru. Putra sulung Kiai yang hangat itu, kerapkali mengatakan padanya bahwa dia telah menganggap Zaki seperti saudaranya sendiri. Andai dia seorang perempuan barangkali tak perlu malu untuk meneteskan air mata haru sekarang juga. Namun yang diketahui tangis tak mengenal gender. Air mata akan keluar dari kedua mata yang kerapkali merindukan pertemuan, menyesalkan perpisahan, dan merelakan kepergian.
Pada sepasang mata yang dimiliki oleh ayah Gus Hamdan, Zaki pernah merasa hina seperti debu di bawah sandal yang tak lagi terpakai. Dia pernah berbuat kesalahan fatal, tetapi sang pengasuh pesantren Umar bin Khattab itu menariknya kembali menuju kebenaran yang tak pernah Zaki bayangkan. Melalui kedua tangan itu, dia menemukan napas kehidupan dan harapan yang mulai bermunculan di antara pahitnya sebuah harapan.
Barangkali Allah melihatkan sifat mengasihinya pada sosok yang selalu membuka diri padanya. Allah menampakkan sifat welas asihnya pada keluarga Gus Hamdan yang selalu menerima segala kesalahan yang dilakukan. Begitulah kerapkali dunia menamakan kefanaan-kefanaan yang sering tak terkendalikan.
"Kata Abi nanti sore bakal ada yang dateng nemuin kamu," ucap Gus Hamdan.
"Siapa ya, Gus?"
"Kurang paham. Abi yang tahu."
Zaki terdiam. Falam senyap dia berdoa, meminta pada yang Maha Kuasa agar mendatangkan orang tua atau keluarganya. Atau paling tidak tante dan pamannya. Bukan sebuah masalah ketika tadi dia tak didampingi oleh siapa pun. Ketika melihat setiap mahasiswa ditemani oleh orang tuanya, tentu Zaki tak pernah mempermasalahkan itu semua. Baginya sudah terbiasa jauh dari pelukan. Tinggal di pesantren, secara tak langsung telah mengajarkan untuk tetap kuat bagaimana pun keadaan.
Setelah Gus Hamdan dan istri mulai berjalan, dia mengikuti langkah kedua insan itu. Toh acara sudah selesai. Meski rasanya tidak ada yang spesial selain merasakan kebahagiaan menjadi sarjana, tetapi dari sinilah dia harus membuat banyak opsi baru. Problematika di depan semakin sulit dan Zaki harus mampu menjalani.
Ketika sampai di parkiran, mereka mendekat ke arah mobil hitam. Gus Hamdan yang baru saja hendak masuk, berhenti di dekat pintu saat dering nyaring dari ponsel terdengar lirih. Pria berkemeja biru bergaris hitam serta bercelana senada itu mengambil ponsel dari saku, lalu di dekatkannya di telinga.
"Assalamualaikum, Bi."
"...."
"Zaki udah sama Hamdan."
"...."
"Oh iya, waalaikumussalam."
Gus Hamdan mematikan ponsel lalu menatap Zaki yang belum masuk ke mobil. "Tamunya udah dateng. Makan-makannya besok aja, ya." Dia tersenyum.
Zaki mengangguk mengiyakan. Setelah Gus Hamdan masuk dan duduk di kursi kemudi, Zaki masuk dan duduk di kursi belakang. Di sebelahnya, sepupu Gus Hamdan tertidur. Perlahan mobil yang dikendarai mulai meninggalkan parkiran yang padat, sebelum akhirnya mereka terbebas dan mulai menikmati jalanan Jakarta yang sebenarnya sama-sama tak bersekat.
Ada banyak cerita yang tercatat di antara padatnya kota Metropolitan ini. Tentang ke-Maha Bisaan Allah, tentang kasih Cinta Allah, tentang Dia yang tak pernah meninggalkan hamba-hamba-Nya. Maka sungguh Zaki selalu mengimani ayat 152 dalam surat Al-Baqarah yang berbunyi Fadzkuruni adzkurkum. Bagi Zaki, itu adalah firman Allah yang paling romantis ketika terdengar. Dzat maha Cinta seakan berkata padanya, "Ingatlah kepada-Ku, maka Aku mengingatmu." Lebih dari itu Zaki seakan mendengar, bahwa Allah berkata rindulah keada-Ku, niscaya Aku akan selalu merindukanmu. Aku menyayangimu, wahai seseorang yang telah Ku-ciptakan. Maka kiranya manusia mana yang tidak bergetar saat kekasihnya menyentuh hatinya dengan begitu halus, lembut tepat menembus pada bagian tubuh paling perasa.
Ayat itulah yang memeluknya, yang menemani Zaki dalam kegelapan tipu muslihat dunia paling fana. Kemudian ayat itu pulalah yang mengantarkan Zaki hingga sekarang, hingga dia tak menginginkan apa pun selain bertemu dengan Dzat yang telah berfirman dengan lembut itu.
Siapalah dia, selain makhluk Tuhan yang tak memiliki kekuasaan apa pun.
Apdet 😌
Bila ada kesalahan, sila sampaikan dengan baik. Bila masih ada typo yauda nggak papa, nanti saya edit sendiri. Wkwk
Mau tinggalkan vote dan komentar silakan, mau baca dalam diam silakan, mau spam juga silakan, mau follow silakan, nggak follow ya kok tega sih mueheh~ 😌
Salam |Milky Way
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro