12. Ngidam
"Aku berangkat."
"Hem."
"Jangan kecapean."
"Hem."
"Susunya harus diminum."
"Iya."
"Makannya gak boleh telat."
"Iya."
"Kam — "
"Iya iya aku ngerti udah sana kerja. Cari duit yang banyak buat makan aku sama anak kamu."
"Oke. Assalamualaikum, istriku."
"Wa'alaikum salam."
Setelah memastikan Gilang ke kantor, aku segera menuju ke dalam rumah. Semenjak aku dinyatakan hamil, aku jarang ke toko. Pertama, karena kondisi fisikku yang memang lemah. Aku mengalami ngidam yang cukup parah dan sering muntah. Kedua, karena larangan Gilang dan papah. Ketiga, aku memang gak mau terjadi apa-apa dengan kandunganku. Meski perasaanku pada Gilang masih ambigu, tapi aku menyayangi anak dalam perutku.
"Pah."
Papah menghentikan aktivitas membaca koran paginya.
"Gilang udah berangkat?"
"Udah Pah, baru aja."
"Duduk sini, deket papah."
Aku langsung mendekat ke arah papah dan bermanja-manja pada beliau.
"Masih mual?"
"Iya."
"Nikmatin aja ya. Seorang ibu itu luar biasa. Kamu tahu kan kalau surga itu di bawah kaki ibu. Salah satunya karena kehebatan mereka saat mereka mengandung."
Papah masih banyak memberiku wejangan. Aku dengan antusias mendengarkannya hingga terbesit sesuatu hal yang ingin kutanyakan dari dulu.
"Dulu waktu Mamah hamil Tiara, dia bahagia gak Pah?" tanyaku lirih.
"Sangat. Dia selalu tersenyum. Meski ngidamnya sangat parah kayak kamu tapi dia selalu tersenyum."
Aku menunduk, mataku mulai berkaca-kaca. Papah mengusap air mataku kemudian memelukku.
"Hidup itu berputar, antara cinta dan benci kadang ambigu. Papah sendiri gak paham bagaimana bisa mamahmu tergoda. Padahal papah pikir kami baik-baik saja. Tapi itulah hidup. Penuh ujian. Dan sepertinya mamahmu gagal."
Papah menarik nafasnya dalam kemudian menghembuskan secara pelan.
"Tapi dia bertaubat Nduk, ketika Irwan sakit, dia tetap setia pada Irwan. Mamahmu bertahan. Walau papah tahu pasti sangat sulit, apalagi dia juga harus bekerja dan merawat Irwan."
Hening.
"Cukup membenci mamahmu. Berdamailah dengan hatimu dan jangan lakukan hal yang sama seperti mamahmu. Selalu ingat Tuhan Nduk."
"Insya Allah, Pah "
"Bagus."
Papah terus mengelus kepalaku. Rasanya nyaman sekali. Karena mengantuk aku meminta ijin untuk beristirahat.
******
Aku tengah menatap Gilang yang masih asik berkutat dengan laptopnya. Posisiku kini rebahan. Aku gelisah, bahkan tanpa kusadarai aku meneteskan air mata. Agh, sial. Kenapa aku jadi melo gini?
"Tiar kamu kenapa?"
Aku diam, namun air mataku masih menangis.
"Tiar, hei ... kamu kenapa? Kamu sakit? Perut kamu sakit? Kita ke dokter ya?"
Aku masih diam.
"Ya Allah, Tiar. Jangan bikin aku bingung Sayang. Jangan buat aku takut. Kalau terjadi apa-apa sama kamu gimana?"
"K-kamu j-jahat hiks ... hiks ...."
"Aku minta maaf kalau aku salah. Tapi plis, jangan nangis. Kamu kenapa?"
"A-aku ngantuk."
"Kamu ngantuk? Ya udah tidur."
"Tapi -gak bi-sa."
"Kenapa?"
"Mau dikelonin? Hiks ... hiks ... hiks ...." Aku langsung menyembunyikan mukaku. Jujur aku malu, tapi semenjak hamil aku gak pernah bisa tidur jika Gilang tak menemaniku. Sungguh menyebalkan. tapi mau gimana lagi. Kalau Gilang gak ada aku jelas gelisah bahkan bisa menangis tanpa kupinta. Seperti sekarang ini. Aku menegakkan kepalaku. Kulihat Gilang cuma melongo, sedangkan aku masih sesenggukan.
"Kamu gak mau?"
"Hah? A-apa?"
"Kamu gak mau nemeni aku tidur? Hiks ... hiks ...."
"Eh ... ya udah sini aku temani."
Aku langsung merebahkan diriku. Pun Gilang. Aku langsung menyerukkan kepalaku di lehernya. Kuhirup bau tubuhnya. Asem. Tapi entah kenapa sejak hamil aku suka sekali.
"Nyanyiin."
"Hah?"
"Nyanyiin nina bobo," rengekku.
Gilang diam tapi kemudian dia menyanyikan lagu nina bobo dengan suara yang enggak banget tapi aku menyukainya. Hingga lama kelamaan aku mengantuk dan tertidur.
******
Aku memberengut. Gilang dan papah nampak pasrah.
"Tiar."
"Kalau gak mau gak papa kok. Kamu emang bukan calon papah yang baik. Papah juga bukan calon eyang yang baik," ucapku sinis.
"Gak gitu Nduk, papah sayang banget sama calon cucu papah. Gilang juga ya kan Lang?"
"Iya Tiar, kamu sama anak kita itu segalanya buat aku. Aku bakalan nglakuin apa aja tapi plis jangan yang ini. Masak aku ... Ah. Aku cariin makanan kesukaan kamu aja ya."
Aku memilih menangis, biarin. Biar mereka tahu kalau aku ini lagi ngidam.
"Oke!" seru Gilang.
Gilang tanpa kata langsung menuju ke kamarnya. Papah hanya menatapku dengan tatapan memohon. Tapi aku memasang mimik sedih sehingga mau tak mau papah pun menuju ke kamar.
Setengah jam kemudian, aku duduk sambil mengamati Gilang dan papah. Sesekali ngemil buah yang sudah kupotong-potong tadi.
Di depanku Gilang dan papah sedang memasak nasi goreng, tempe goreng dan perkedel permintaanku.
Sejak tadi aku dan pembantu rumah tangga kami berusaha menahan tawa. Sungguh lucu sekali.
"Sudah siap. Mari Nyonya Gilang."
Aku menyambut uluran tangan Gilang dan dia menuntunku hingga ke meja makan.
"Nah, cicipi. Dijamin enak."
Aku mencoba sesuap, hem ... enak juga.
"Makasih Gilang, makasih Pah."
"Gilang?" kompak mereka.
Aku menoleh ke arah Gilang dan papah. Aku meringis melihat tatapan mereka yang garang.
"Ckckck. Kita mau punya anak Tiar dan kamu masih manggil aku Gilang?"
"Gak sopan Tiar. Panggil Gilang, Mas atau ...."
"Papah Gilang."
Aku mencebik dan memilih melanjutkan makanku.
Sekarang aku tahu menjadi wanita hamil sungguh menyenangkan dan apapun yang kita inginkan pasti dipenuhi. Seperti ngidamku saat ini, aku minta dimasakkan oleh Gilang dan papah tapi mereka harus memakai daster.
Aku pikir hanya hari ini saja, ternyata hari berikutnya dan berikutnya aku selalu meminta hal-hal aneh. Gilang dan papah selalu menuruti ngidamku walau awalnya mengeluh. Hahaha, rasakan! Aku kerjai kamu.
🌺🌺🌺🌺🌺
Biasa pasti ujung-ujungnya promo. Kisah Ambar dan Syafiq di 'Bukan Mantan' udah PO ya guys. Yuks chat di 081288016414.
Yang mau peluk buku aku yang lain juga bisa. Atau ebooknya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro