11. Positif
POV Tiara
Hampa.
Itulah yang kurasakan beberapa hari ini semenjak kematian Mamah. Meski aku masih membencinya, tapi jauh di lubuk hatiku aku sungguh menyayanginya.
Kami sudah kembali ke Purwokerto pada hari kedelapan setelah kematian Mamah. Aku masih belum bekerja, pikiran dan tenagaku sungguh tak tersisa. Tiga hari ini aku hanya bergelung di kasur tanpa melakukan apapun. Papah, Gilang, dan Mamah mertua sering kali menghiburku. Namun, aku masih dirundung kesedihan. Aku masih belum mampu untuk lepas dari kesedihanku.
Gilang dan Papah semakin protektif padaku, terutama Gilang. Semenjak ia tahu aku mengkonsumsi pil penenang, dia semakin posesif. Aku sungguh membencinya tapi sisi hatiku yang lain menyukainya.
"Tiar."
"Pah."
Papah mendekatiku dan duduk di tepi ranjang.
"Kamu jangan seperti ini Tiar. Bagaimanapun kamu harus terus hidup. Papah tahu kamu menyayangi mamah kamu terlepas apapun kesalahan yang dia perbuat pada kita."
"Pah."
"Kenapa?"
"Apa setiap rumah tangga akan seperti itu Pah?"
"Tidak semua. Yang jelas rumah tangga adalah ibadah terlama. Banyak cobaan dalam rumah tangga. Ada yang diuji dengan ekonomi, buah hati dan dalam rumah tangga papah dan mamah diuji dengan kesetiaan melalui kehadiran orang ketiga."
"Ada yang mampu melewatinya dan ada yang gagal. Mamah dan papah adalah contoh yang gagal."
"Pah."
Papah menatap kearahku dengan mata berkaca-kaca.
"Meski begitu papah tak pernah menyesal menikah dengan mamah kamu. Karena menikah dengannya papah punya kamu Sayang. Kesayangan papah."
"Papah."
Aku memeluk Papahku, aku bersyukur masih mempunyai beliau. Orang yang begitu tulus mencintaiku tanpa syarat.
Lama kami saling berpelukan hingga papah melepaskan pelukannya dan pamit mau menghadiri rapat RT.
Sebelum pergi papah membelai kepalaku dan mencium keningku. Aku mengamati kepergian papah hingga sosoknya berlalu dan digantikan dengan sosok pria lain. Pria yang akhir-akhir ini membuat jantungku berdebar.
"Kamu udah makan?"
"Belum."
"Makan ya?"
"Nanti."
"Ya udah. Aku mandi dulu ya." Gilang mengusap kepalaku lalu menuju ke kamar mandi.
Aku sendiri memilih rebahan dan pikiranku melayang kemana-mana. Pintu kamar mandi terbuka.
Deg.
Otomatis aku mengganti posisi rebahan. Yang tadinya menghadap pintu kamar mandi menjadi memunggunginya.
"Kenapa?" tanya Gilang dan entah sejak kapan dia sudah berada di depanku dengan jarak yang sangat dekat.
"Gak papa."
"Kamu sakit."
Deg.
Aku gugup karena Gilang malah berjongkok dan menatapku dengan khawatir.
"Kamu kenapa?" Gilang meraba dahi dan wajahku. Aku semakin gugup.
"Mukamu memerah Tiar? Kamu sakit? Kita ke dokter ya?"
"Aku gak sakit." Aku mencoba menepis tangan Gilang yang masih lembab. Mataku pun sengaja kupejamkan. Namun Gilang masih meraba-raba wajahku.
"Ck. Gilang aku bilang aku gak papa."
"Aku cuma mau ngecek Tiar, aku khawatir." Gilang masih berusaha memegang dahiku dan aku selalu menepisnya.
"Gilang!" Aku menyentak terlalu kuat hingga Gilang terjatuh.
Deg.
Tubuh Gilang tepat diatasku. Refleks aku kaget dan membuka mata. Mata kami bertumbukan. Dapat kurasakan kulit Gilang yang basah menyentuh lenganku yang telanjang. Mataku membelalak merasakan ada sesuatu yang bergerak gelisah di bawah. Aku syok sedangkan Gilang hanya menyeringai jahil.
"Sepertinya, adik kecilku harus kamu puasin dulu Tiara."
Setelah mengucapkan kata itu, Gilang langsung membungkam bibirku dan mengajakku kembali merengkuh samudra cinta bersama. Aku seperti terhipnotis dan sekali lagi aku hanya pasrah. Karena aku pun menyadari jika aku mulai menyukai sentuhannya.
🍀🍀🍀🍀
"Hoek ... Hoek." Aku sedikit menyandar pada tembok kamar mandi. Beberapa hati ini aku sering mual-mual. Pasti karena masuk angin.
Setelah mematikan kran dan menyeka wajahku, aku kembali ke ruanganku dan memilih menyandar di sofa.
"Mbak Tiara kenapa?"
"Lin. Tolong awasi toko dulu ya."
"Iya Mbak. Mau saya antar ke dokter Mbak?"
"Gak usah, aku mau rebahan aja. Lin jangan kasih masuk orang asing ya?"
"Iya Mbak."
Setelah Lina pergi aku segera merebahkan diriku di atas sofa. Kepalaku pusing dan perutku mual. Bahkan sejak tadi makanan yang aku makan selalu kukeluarkan. Mungkin saking lelahnya aku pun tertidur.
Bau menyengat menyentuh hidungku, membuat mataku pelan-pelan terbuka. Aku mencoba duduk tapi karena masih lemas aku hanya sandaran.
"Udah bangun." Gilang duduk di tepi sofa panjang tempat aku rebahan. Sepertinya dia habis mandi, bau sabun keluar dari tubuhnya. Refleks aku menutup hidung dan ingin muntah namun segera kutahan.
Keningku mengernyit, "Kok kamu ada disini?"
"Udah sore Tiar. Lihat tuh!" Gilang menunjuk jam di dinding.
Astaghfirullah jam lima. Berarti aku tertidur cukup lama.
"Lina mana?"
"Udah kusuruh pulang. Kamu udah sholat?"
Aku menggeleng.
"Sholat dulu gih."
Aku mencoba berdiri namun limbung. Gilang yang menyadari aku hampir jatuh segera menangkapku.
"Kamu kenapa?"
"Gak papa."
"Wajah kamu pucat? Kamu sakit?"
"Gak, aku cuma pusing."
"Kita ke dokter ya?"
"Gak usah! Aku gak papa. Aku mau sholat."
"Aku bantu ya, sholatnya sambil duduk aja."
Aku tak menolak karena jujur kepalaku sakit sekali. Tubuhku lemas. Dengan bantuan Gilang aku berwudhu di kamar mandi kemudian melaksanakan sholat sambil duduk.
Selesai sholat aku kembali rebahan di sofa. Gilang masih setia di dekatku.
"Kita ke dokter."
"Gak usah Gilang. Aku cuma pusing."
"Tapi seminggu ini aku lihat wajahmu pucat Tiar, nafsu makan kamu juga ilang. Pokoknya aku gak mau tahu kita ke dokter."
Percuma aku melawan. Sudah kubilang Gilang bisa jauh lebih keras kepala kalau dia mau. Dan aku malas untuk berdebat. Kepalaku pusing sekali.
Aku tak menolak saat Gilang menggendongku ke mobilnya. Bahkan saat sampai di klinik, aku tanpa canggung meletakkan kepalaku di bahunya saat antri.
"Gimana Dok, istri saya gak papa kan?"
Aku hanya diam, karena jujur aku sangat lemas.
"Sebaiknya Bapak ke dokter lain dulu. Ini baru dugaan tapi saya harap dugaan saya benar?"
"Maksud dokter? Istri saya sakitnya gak parah kan? Cuma pusing biasa kan? Apa saya harus bawa dia cek lab sekarang?" terlihat Gilang nampak panik. Entah kenapa sudut hatiku ada rasa trenyuh. Mendapat perhatian dari Gilang, sungguh rasanya aneh.
"Hahaha. Bukan begitu Pak."
"Dokter kok ketawa sih? Beneran istri saya sakit apa? Apa begitu parah sampai harus ke dokter lain?"
"Hahaha. Tenang Pak Gilang. Maksud saya dokter lain itu dokter kandungan."
Baik aku dan Gilang tak bersuara. Terutama aku. Aku baru sadar sebulan ini aku belum mendapat tamu bulanan, apalagi beberapa hari setelah kembali dari Semarang. Aku dan Gilang rutin melakukan hubungan suami istri.
"M-maksud dokter is-tri saya hamil?"
"Dugaan saya iya Pak Gilang."
"Alhamdulillah, Tiar selamat ya Tiar. Kita akan jadi orang tua."
Gilang tanpa malu memeluk bahkan mencium keningku berkali-kali. Aku tak tahu apa yang kurasakan. Yang jelas aku pun senang, sebagai wanita aku juga ingin hamil dan punya anak. Tapi disisi lain aku takut. Aku takut pernikahanku dan Gilang akan seperti pernikahan papah dan mamah.
🌺🌺🌺🌺🌺
Senyum tak pernah lepas dari bibirku. Aku tak percaya dalam perutku ada calon anakku. Lima minggu usianya. Ya Allah terima kasih.
Mataku masih fokus menatap layar monitor dimana bakal calon anakku terlihat di sana. Kulirik Gilang yang tengah memperhatikan calon anak kami. Mata itu penuh binar bahagia. Senyum tak pernah lepas dari bibirnya. Tanpa sadar aku juga tersenyum tepat ketika Gilang menoleh ke arahku.
Aku segera mengalihkan pandanganku. Malu.
"Gimana Dok? Mereka sehat?"
"Alhamdulillah Pak, ini nanti saya kasih resep vitamin, tambahan kalsium dan zat besi ya Pak. Jangan lupa susu ibu hamil dan makannya harus bergizi. Hindari buah asam yang dapat memicu kadar asam lambung. Biar Bu Tiara gak mual-mual dan muntah."
"Baik Dok."
Kami berpamitan pada dokter Yeni. Setelahnya kami segera masuk ke mobil.
Selama perjalanan sesekali Gilang mengambil tanganku untuk digenggamnya kemudian mengelus perutku. Aku membiarkan saja. Toh, aku juga merasa nyaman dengan perlakuannya. Entahlah.
Sampai di rumah, papah yang kami kabari tentang kehamilanku langsung memelukku dan menangis. Mamah dan papah mertua pun langsung datang begitu dikabari aku hamil.
"Dijaga baik-baik ya Nduk, mamah seneng dengernya."
Seluruh perhatian mereka membuatku terenyuh. Kehilangan mamah memang menyakitkan tapi kehadiran calon anakku mau tak mau memberiku kekuatan. Meski ada rasa takut dan trauma akan kegagalan pernikahan kedua orang tuaku. Namun aku memilih abai karena saat ini aku punya alasan baru untuk hidup dan berjuang. Anak dalam kandunganku.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro