Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

10. Kabar Duka

POV Gilang

Aku masih merengkuh istriku, Tiara. Padahal kemarin aku sangat bahagia karena bisa memiliki raganya. Tapi ....

Aku segera menggendong Tiara dan merebahkannya di atas ranjang. Kubelai rambutnya penuh sayang dan kuhapus air matanya dengan kecupan. Aku bahkan mengecup bibirnya mesra. Hingga kurasakan kecupan balik.

Entah dorongan darimana kecupan itu berubah menjadi semakin panas dan sekali lagi aku dan Tiara menyatu dalam gairah panas yang selalu didamba pasangan halal.

Keesokan harinya aku terbangun dan tak kudapati Tiara disampingku. Aku panik, takut Tiara melakukan hal-hal yang nekat. Aku langsung asal memakai baju dan segera mencari Tiara.

Kegelisahanku sirna tatkala melihat Tiara dengan telaten tengah menyeka Mamah.

Aku pun kembali ke kamar dan segera memutuskan mandi, tepatnya mandi junub dan melaksanakan sholat subuh.

🍀🍀🍀🍀🍀

"Iya Lang?"

"Papah sehat?"

"Alhamdulillah. Tiara bagaimana?"

"Gilang udah buang obatnya."

Terdengar hembusan nafas dari ujung sana.

"Papah gak menyangka luka akibat perceraian kami begitu membekas di hati Tiara, Lang. Sungguh andai Papah bisa kembali ke waktu itu mungkin Papah tak akan menerima permintaan keluarga Papah untuk dijodohkan dengan Mamahnya Tiara. Tapi bukankah itu berarti Papah gak akan punya Tiara?"

"Pah, sudahlah yang penting kita berusaha menyembuhkan Tiara. Ada Gilang, Pah."

"Iya, tolong ya Nak, jangan tinggalkan Tiara. Dan jangan biarkan Tiara meninggalkanmu."

"Insya Allah Pah, doakan kami selalu."

"Pasti Nak, pasti."

Aku memutuskan sambungan teleponku dan segera mencari Tiara.

Kulihat Tiara tengah bercengkrama dengan Mamah. Entah kenapa firasatku akhir-akhir ini tak enak. Aku merasa muka Mamah terlihat lebih cerah, bahkan setiap tutur katanya padaku menyiratkan kalau beliau tengah berpamitan.

"Gilang." Aku tersentak dari lamunanku.

"Iya Mah."

"Kok diam. Sini, ngobrol."

Aku segera mengambil kursi dan meletakkannya di dekat Tiara. Kemudian aku segera duduk.

"Gilang, Tiara. Mamah senang sekali kalian mau merawat Mamah. Mamah merasa bersyukur mempunyai putri dan putra menantu seperti kalian. Mamah minta kalian selalu rukun ya. Jadilah keluarga yang bahagia dunia dan akhirat. Tolong jadikan, kesalahan Mamah sebagai pengingat kalian."

"Mah ...."

"Tiara, terima kasih Sayang. Mamah selalu sayang sama Tiara. Gilang .... "

"Iya Mah."

"Jaga Tiara ya."

"Pasti Mah, Gilang akan selalu menjaga Tiara."

"Terima kasih Nak, terima kasih."

Mamah menggenggam tanganku dan tangan Tiara kemudian menyatukan kedua tangan kami. Aku menggenggam lembut jemari Tiara.

Tiara menoleh kearahku dan kuberikan senyum tulus padanya.

"Demi Allah, Tiara. Aku sangat mencintaimu. Aku akan bersabar dan menunggu dimana hatimu akan sepenuhnya untukku," batinku.

🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀

"Tiar," panggilku. Tiara nampak kaget.

"Kamu sedang apa?"

"Aku lapar."

"Oh, mau aku carikan makanan?"

"Gak usah," ketusnya.

Aku terkekeh. Sepertinya Tiara sudah kembali menjadi judes.

"Ngapain ketawa?" Dia masih judes.

"Kamu."

"Kenapa sama aku?"

"Kamu jadi suka makan mie instan sekarang. Padahal dulu boro-boro."

Tiara cuma melirikku kemudian mulai mendidihkan air.

"Masakin dua bungkus sekalian aja. Aku juga lapar."

"Ck."

"Gak boleh gitu sama suami."

Lagi. Tiara hanya melirikku dengan tatapan sinis. Aku sungguh gemas dengannya dan mencubit pipinya.

"Gilang!"

"Hem. Apa?" Aku sengaja memasang seringai jahil.

"Gak usah colek-colek."

Aku tertawa lagi. Kemudian menoel dagunya. Tiara langsung mencubit perutku keras sekali.

"Wadaw. Sakit Tiar. Kamu bar-bar juga ya. Pantas pas kita gulat kamu ...."

Prang.

Tiara melempar garpu dan mengenai panci kemudian tanpa pamit pergi. Aku mendesah. Merutuki kebodohanku.

Akhirnya, aku menyelesaikan memasak mie rebus untuk kami. Begitu selesai aku kembali ke kamar.

"Tiar, mienya udah mateng. Makan yuk." Aku mengguncang-guncangkan bahu Tiara. Namun, Tiara tak bergeming bahkan merapatkan selimutnya kembali.

"Tiar, maaf. Janji deh gak akan jahil lagi. Maafin aku ya."

Hening.

Hampir satu jam aku membujuk Tiara tetapi usahaku nihil. Tiara tak bergeming sedikitpun. Akhirnya aku pasrah dan kembali ke meja makan. Aku menatap dua mangkuk mie kuah yang sudah melar. Aku pun sudah tak berselera lagi untuk memakannya. Hingga akhirnya aku memilih membuangnya ke tempat sampah.

🍀🍀🍀🍀🍀🍀

"Mamaaaaaah," teriakan Tiara membuatku segera menyelesaikan doa sesudah sholat subuh. Aku segera berlari ke kamar Mamah.

"Kenapa Tiara?"

Kulihat wajah Tiara sangat pucat, air matanya sudah menerobos keluar dari matanya yang indah.

"Ma-mah diam."

"Apa?"

Aku segera mengecek keadaan Mamah. Aku tercekat, kemudian aku meraba denyut jantung dan mengecek nafasnya. Aku menoleh ke arah Tiara yang masih sesenggukan.

"Inna Illahi Wa Innalillahi Raji'un."

Tiara langsung menghambur ke arah Mamah. Aku hanya bisa memeluknya dan memberikan kata-kata penghiburan.

Aku langsung menghubungi Pak Dhe dan Bu Dhe sekaligus Papah dan kedua orangtuaku.

Pagi harinya jenazah Mamah langsung dimandikan. Tiara, Asih dan Bu Dhe ikut membantu. Aku bisa melihat kesedihan di mata Tiara. Meski aku tahu dia belum bisa memaafkan Mamah sepenuhnya, tapi ada cinta yang begitu besar pada matanya.

"Lang."

"Pah." Aku memeluk Papah mertua yang datang bersama kedua orang tuaku.

"Mana Tiara?"

"Masih memandikan Mamah, Pah."

"Dia baik-baik saja?"

"Entahlah Pah, Tiar hanya diam."

Papah mengangguk dan duduk di salah satu kursi. Dapat kulihat kesedihan di mata tua itu. Walau bagaimana pun kelakuan Mamah dulu, mereka pernah hidup bersama sehingga mau tak mau aku yakin Papah pastilah sangat mencintai Mamah. Dan mungkin hingga sekarang.

"Gilang, Mamah mau nemenin Tiara dulu ya Nak."

"Iya Mah."

Mamah masuk ke dalam sedangkan Papah memilih duduk disamping besannya.

Setelah proses memandikan jenazah selesai, jenazah Mamah langsung disholati. Kami mengantar Mamah menuju peristirahatannya yang terakhir. Mamah dikuburkan dekat dengan makam Kakek dan Nenek Tiara.

Selama proses penguburan, Tiara hanya diam. Aku ikut membawa keranda Mamah dan membantu masuk ke liang lahat dan mengazaninya.

Setelah selesai banyak pelayat yang memilih pulang. Kami masih berada di sekitar makam. Aku memeluk pinggang Tiara. Tiara sempat kaget dan menatapku dengan tatapan sendu.

Aku tak mengucapkan sepatah katapun. Hanya senyuman tulus dan genggaman tangan.

"Kita pulang," ajakku.

Tiara hanya mengangguk. Kami pun pulang.

Baru lima langkah, Tiara berhenti dan menoleh ke arah makam Mamah. Hanya beberapa detik dan kemudian dia melanjutkan langkahnya lagi.

🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀

Acara tahlilan langsung diselenggarakan pada malam harinya. Tiara dengan khusuk ikut mendoakan sang Mamah. Demi Allah, rasa cintaku padanya semakin besar. Ternyata benar, Allah lah Sang Pembolak Balik Hati. Seperti hatiku.

Dulu, aku sangat mencintai Amanda dan menolak keras menikahi Tiara. Tapi lihatlah sekarang, aku begitu jatuh cinta pada istri jutek bin dinginku.

Dia yang dingin nyatanya menyimpan banyak kelembutan dan kasih sayang. Hanya semua itu tertutupi oleh tingkah dinginnya. Ah, lebih tepatnya dia hanya dingin padaku, suaminya. Miris.

"Tiar," bisikku dan kulingkarkan tanganku untuk memeluk tubuhnya.

"Kamu gak sendiri, Sayang. Ada kami semua dan ada aku, suamimu."

Hening.

Tiara tak meresponku sama sekali. Dia hanya diam, namun aku tahu dia belum tidur.

"I love you," bisikku. Lalu memeluk tubuhnya erat dan mencoba memejamkan mata.

Entah berapa lama yang dibutuhkan Tiara untuk tidur. Yang kutahu saat aku tiba-tiba terjaga pukul dua dinihari. Kulirik Tiara sudah tertidur dengan posisi mukanya menghadap ke arahku. Aku tersenyum. Ini pertama kalinya dia tidur tanpa memunggungiku.

Aku mengecup kepalanya pelan-pelan. Kubacakan doa-doa kebaikan untuknya. Untuk kami dan untuk keluarga kami. Lalu aku mengeratkan pelukan dan kembali memejamkan mata.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro