Part 39 || Sebelum Berakhir
Dan pada akhirnya aku mengerti bahwa kesempatan mengenalmu adalah bagian dari rahman-Nya Tuhan.
Laki-laki itu membuka ulang kitab Fathul Qarib saat teman-teman tengah pulas tertidur. Sudah dua hari dua malam kedua matanya enggan terpejam. Sesungguhnya dia merindukan tidur malam. Dia ingin seperti teman-temannya yang normal, tidur ketika malam dan belajar ketika siang. Namun tidak dengan Asyas, seberapa kuatnya pun usaha untuk terlelap, mata engga terpejam seolah tak pernah lelah memandang langitan.
Dia juga mengingat kembali bahwa rasanya sudah semingguan tak pernah bertemu Albania. Sejak kemarin tak mendapat jawaban, sesungguhnya ada rasa kecewa yang terselip tetapi pada akhirnya hanya memilih untuk menguburkan.
Asyas mengulang kembali pelajaran yang telah lalu. Tes diadakan sekitar semingguan lagi. Sesungguhnya ia telah percaya diri bahwa bisa melewati tes ini, tapi sungguh, Yaman bukan tempat suka-suka. Yaman bukan tempat sembarangan. Yaman bukan negeri bebas seperti lainnya. Tuhan menyelipkan keistimewaan saat menciptakan tanah Hadramaut, Tuhan berikan sebagian gambaran surga pada indahnya Mukalla. Panas cuacanya tercampur napas para ulama yang menyejukkan jiwa. Bila musim dingin datang, akhlak para penduduk menghangatkan. Bila musim panas tiba, perkataan para masyaikh menjadi sumber kesejukan. Maka ketika menginjak cokelatnya tanah di sana, bibir berkata "Maka, nikmat Tuhan manakah yang engkau dusatakan?"
Andai keistimewaan-keistimewaan Yaman dikte pada sebuah kertas, niscaya rasa lelah terlebih dahulu menyapa sedangkan keindahan belum semuanya tertata dalam bait yang mendokumentasikan cinta.
Tentu Asyas mengingat selalu hadist yang disabdakan oleh kekasih Allah, kata Rasulullah "Penduduk negeri Yaman telah datang kepada kalian. Mereka adalah orang yang paling lembut hatinya. Iman itu ada pada Yaman, Fiqih ada pada Yaman, dan hikmah ada pada Yaman." Hadist tersebut diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan dinilai shohih oleh Al-Albani.
Maka, ia telah mandapatkan dalil ketika diminta memperkuat keinginannya untuk menuntut ilmu di negeri suci, di mana para penduduknya sangat mudah menerima kebenaran lagi ramah terhadap yang liyan.
Betapa di sana ia bercita-cita ingin memandang wajah para murabbi yang lembut tutur katanya lagi mendamaikan setiap jiwa. Namun, bagaimana rasanya bila cita-cita itu dibarengkan dengan menyempurnakan separuh agama. Laki-laki itu tersenyum membayangkan meski ia tahu bahwa Albania tak pernah memikirkan.
Setelah tes nanti, dia berjanji bahwa akan mendatangi rumah Albania. Sesungguhnya Asyas tak tahu benar di mana letaknya, hanya saja ia tahu di mana gang menuju rumah itu ketika tak sengaja menemui mereka waktu pagi entah kapan.
Asyas tak mengerti apakah keinginannya termasuk memaksa atau tidak, tetapi ia hanya tak mau Albania jatuh pada seseorang yang salah. Ah, apakah dia termasuk orang yang benar? Sungguh, Asyas hanya berusaha belajar lebih baik mulai sekarang.
🍁🍁
Laki-laki itu berjalan menuju ruang kelas wustha untuk mengajar imrithi. Pagi-pagi sekali embusan angin pagi Jakarta serasa berhasil merasuk ke tulang belulang. Dalam setiap entakan langkahnya, ia berpikir bahwa barangkali entah beberapa bulan lagi masa mengabdinya akan berakhir dan bila tesnya lolos, maka ia langsung bisa menikmati bumi para wali.
Di bawah kitab imrithi-nya, terselip buku bersampul kuning Ibrahim Bin Adham. Entah Asyas tak bisa melepasnya, sejak semalam ia mengulang-ulang halaman demi halaman yang menceritakan banyak karomah yang dimiliki sufi yang doanya pernah didebatkan malaikat itu.
Katanya diceritakan, selepas menunaikan ibadah haji, Ibrahim bin Adham hendak melanjutkan perjalanannya ke Masjid Al-Aqsha. Ketika di sebuah perjalanan ke Yerussalem, ia mampir ke pasar dekat Masjidil Haram untuk membeli kurma di pedagang tua yang nantinya dipakai bekal di perjalanan.
Kurma yang selesai ditimbang lalu dimasukkan di keranjang Ibrahim. Setelah dirasa semua kurma sudah masuk di keranjang, Ibrahim melihat satu kurma tercecer persis di bawah timbangan. Ia mengira satu biji itu bagian dari kurma yang ia beli. Segera ia pungut dan memakannya. Setelah melahap ia berangkat menuju Masjid al Aqsha.
Selang empat bulan kemudian, Ibrahim bin Adham tiba di Masjid Al Aqsha. Ia memilih ruangan di bawah Kubah Sakhra sebagai tempat favorit beribadah. Ia salat, mendaras Alquran, bermunajat dengan khusyuk. Di sela-sela ketika ia beribadah, telinganya menangkap suara dua malaikat bercakap tentang dirinya.
“Itu dia Ibrahim bin Adham, seorang ahli ibadah, zuhud, dan wara yang doanya selalu dikabulkan oleh Allah Swt,” ujar satu malaikat.
“Tetapi sekarang tidak. Doanya tertolak. Sebab empat bulan yang lalu ia memakan sebutir kurma di meja seorang pedagang tua yang bukan haknya,” jawab malaikat yang lain.
Mendengar bisikan itu, seketika Ibrahim terkejut dan terhenyak. Ia teringat empat bulan yang lalu sebelum berangkat menuju Yerussalem, ia mampir membeli sekilo kurma di pasar dekat Masjidil Haram.
Merasa ada yang janggal di hati dan pikiran, ia bangkit mengemasi barang-barangnya dan pergi kembali ke Mekah untuk mencari pedagang kurma dan meminta keikhlasan sebutir kurma.
Sesampainya di Makkah, di tempat pedagang tua berjualan dulu, yang ditemui bukanlah orang tua yang dulu berjualan, melainkan seorang pemuda belia. Ibrahim yang sedang berkemelut hatinya dan sedang digelayuti keheranan pun bertanya.
"Empat bulan yang lalu saya membeli kurma di sini kepada seorang pedagang tua. Sekarang di mana dia?"
"Itu Bapak saya, Syeikh. Dia meninggal sebulan yang lalu," keluh pemuda tersebut.
"Innalillahi wa inna ilaihi raaji’uun, saya turut berduka cita atas kematian Bapakmu wahai pemuda. Kalau begitu kepada siapa saya bisa meminta penghalalan?"
Ibrahim kemudian menceritakan detail peristiwa yang dialaminya. Sedang anak muda mendengarkan dengan seksama.
"Nah, begitulah. Engkau sebagai ahli waris orangtua itu, maukah engkau menghalalkan sebutir kurma milik ayahmu yang terlanjur kumakan tanpa izinnya?" kata Ibrahim bin Adham setelah bercerita.
"Bagi saya tidak masalah. Saya halalkan. Tapi saya masih memiliki saudara yang jumlahnya sebelas orang yang mempunyai hak waris sama dengan saya," ucap pemuda itu.
Ibrahim yang bersikeras mendapatkan rida atas sebutir kurma tersebut, meminta alamat masing-masing saudaranya.
"Di mana alamat-alamat saudaramu, biar saya temui mereka satu persatu?" pinta Ibrahim.
Setelah menerima alamat, Ibrahim bin Adham kemudian pergi menemui mereka. Masing-masing didatangi, mengetuk pintu, dan ditemui tepat di depan rumah. Setelah seluruh keluarga itu telah menghalalkan sebutir kurma, Ibrahim pun lega. Dirasa semua permasalahan telah terselesaikan, Ibrahim kembali ke Masjid al Aqsha.
Ia kembali menempuh empat bulan perjalanan ke Masjid Al-Aqsha. Sesampainya di sana, seperti biasa, ia memilih Kubah Sakhra sebagai tempat beribadah. Ia kembali bertakarub kepada Allah, dengan ritual salat, zikir, dan munajat.
Tidak menunggu lama, di sela-sela ia berdoa, tetiba Ibrahim mendengar dua malaikat yang dulu sedang berdebat.
"Itulah Ibrahim bin Adham yang doanya tertolak gara-gara makan sebutir kurma milik orang lain," kata Malaikat.
"Oh tidak, sekarang doanya sudah kembali makbul. Ia telah mendapat penghalalan dari ahli waris pemilik kurma itu. Diri dan jiwa Ibrahim kini telah bersih kembali dari kotoran sebutir kurma yang haram karena masih milik orang lain. Sekarang ia sudah bebas," terang malaikat yang satunya lagi.
Dari cerita tersebut, Asyas mengerti betapa penghalalan atas segala yang dimakan dan dikenakan oleh manusia sangat berpengaruh terhadap ijabahnya doa. Bahkan sebutir kurma dapat menghalangi doa sang sufi lembut tersebut.
Pernah Asyas membayangkan bagaimana sesungguhnya wajah Ibrahim Bin Adham sang waliyullah itu? Ia ingin mendengar lembut tutur katanya dan alim perangainya. Betapa orang-orang yang hidup di masanya menjadi manusia yang sangat beruntung pernah menatap wajah sang sufi yang agung.
Kelak, apakah Asyas mempu memandang wajah yang indah itu? Saat masa menjemputnya nanti, apakah ia bisa meminta pada Allah untuk melihat wajah penghuni surga itu. Tak apa bila hanya memandangnya dari jauh, karena dia yang pendosa tak akan mendapat surga tanpa rida Allah ta'ala.
🍁🍁
"Wa allahu a'lam bishhawab." Asyas menutup pengajiannya.
"Kang sebelum menutup pengajian tolong dong bagi tips-nya biar hafalan nggak kesendat-sendat waktu setor. Kata Kang Zaki kang Al itu kalau ngafalin cepet," ucap salah satu santri.
"Apakah hafalan para santriwan terganggu karena di kepalanya ada santriwati atau bagaimana?" tanya yang lain.
Di depan beberapa santri putra, Asyas menutup kitabnya. Dia paling tak bisa menjawab saat ditanya bagaimana bisa menghafal cepat. Namun seingatnya Imam Syafi'i pernah mengeluhkan hafalannya pada waqi' dan sang guru menjawab bahwa kunci mudahnya hafalan adalah meninggalkan maksiat. Namun, melanggar peraturan, tidak mendengarkan nasihat beberapa guru, apakah itu terhitung sebagai maksiat juga. Bila ia, maka Asyas pelaku maksiat paling brutal. Terlebih, dulu sering sekali memiliki hubungan dengan Madinah.
"Mungkin bisa tanya Gus Nabil lebih jelasnya. Saya sendiri punya insomnia dan biasanya kalau malam saya jadikan waktu itu buat hafalan," jawab Asyas.
"Waktu Kang Asyas ngafal Imrithi berapa bulan atau tahun?"
"Kurang dari enam bulan kalau nggak salah. Soalnya waktu masih sampai jurumiyah, saya suka sama bait-bait imrithi, jadi setiap malam daripada nggak ada kerjaan saya mulai menghafal."
"Kang, berarti insomnia banyak sisi positif-nya."
"Ya beda juga. Ini Kang Asyas yang insomnia, kalau kamu yang insomnia paling baca komik atau main uno sama bayangan," sambung santri lain. Asyas tertawa kecil. Mereka memang kerapkali bersikap unik dan Asyas suka. Mereka adik kelasnya, tapi dia merasa jarak mereka seperti agak jauh. Mungkin karena kamar yang benar-benar sudah berpisah.
"Sudah... sudah... yang penting kuncinya usaha. Jangan dengarkan kalau ada yang bilang bahwa tanpa menghafal pun saya bisa hafal dengan sendirinya. Itu dusta. Semua ada usaha."
"Kang, pertanyaan terakhir!" Santri yang duduk di pojokan mengangkat tangan.
"Silakan," jawab Asyas.
"Gimana biar gampang dapet santri putri, Kang? Apa mukanya harus ganteng kayak njenengan?"
Seketika riuh terdengar menyoraki. Asyas tertawa. Mereka memang kerapkali bersikap absurd.
"Nggak perlu ganteng sebenarnya. Kalau kalian udah cerdas itu gampang. Muka itu fana yang abadi adalah otak. Makanya kenapa harus banyak-banyak baca buku, ngaji yang rajin, seenggaknya walau muka di bawah standar tapi tertolong oleh luasnya wawasan." Asyas tersenyum. Bahkan sebenarnya dia tidak merasa ganteng tapi sudahlah mungkin memang efek skin care air wudhu.
"Pertanyaan lainnya bisa disimpan untuk minggu depan. Sekarang silakan baca kalamun qadim."
Mereka langsung mengumandangkannya bersama, sebelum akhirnya semua keluar dari kelas dan menyisakan Asyas di sana. Dia ingin bertahan sebentar sekadar membaca kembali buku Ibrahim bin Adham.
Sekitar lima menit kemudian, dia beranjak hendak menuju perpustakaan. Dia akan mencari buku baru, semoga pesantren sudah menyiapkan banyak buku yang lain.
Sesaat, langkahnya terhenti saat melihat perempuan yang sedang bolak-balik di depan rak buku. Kebiasaan sekali Albania seenak hati ke perpustaan tanpa memperhatikan jadwal bahwa hari ini adalah waktunya santri putra.
Asyas masuk, ia berjalan ke rak lain tanpa berminat menyapa perempuan itu. Toh percuma saja, Albania biasanya akan menghindar.
"Hei, Asyas tumben sekali diem aja. Lagi ada masalah sama tetangga, ya? Kamu nggak kangen aku, seminggu loh nggak ketemu," celoteh Albania setelah beringsut ke dekat Asyas.
Asyas menoleh tak menjawab. Perempuan itu sesungguhnya mau apa?
"Ish diem aja. Ayo aku bimbing ucapkan rindu. Ikuti aku, ya."
"Aku. Kangen. Kamu." Albania berkata penuh penekanan.
"Aku kangen kamu," kata Asyas.
Albania tersenyum.
"Lo maunya apa? Gue ajakin nikah nggak mau," tanya Asyas.
"Maunya minjem buku nih. Tapi buku apa lagi yang bagus, ya?"
"Tutorial ikut pesugihan."
"Astagfirullah kalau ngomong suka bener."
"Eh, Asyas mau nggak nanti kita mencoba berdoa sama Allah biar di akhirat nanti bisa ketemu sama sufi yang kita kagumi," ucap Albania.
"Bayangin, kita duduk semeja bersama Rumi dan Ibrahim bin Adham. Ah, asyik ya? Tapi apa yang bisa diperbuat oleh pendosa seperti kita?" Albania mengambil buku Dialog Problematika Umat milik KH. MA. Sahal Mahfudh, kemudian menumpuknya dengan buku lain. Apakah itu termasuk kemauan yang gila? Bahkan sesugguhnya dengan sedikitnya amal baik, ingin sekali menatap wajah yang syahdu itu.
Asyas mengangguk. "Apakah nanti kita juga akan bertemu?"
"Mungkin. Kita coba saja. Usaha dulu. Namanya juga gila, kita ini kayaknya udah nggak waras." Albania tertawa lalu melangkah keluar meninggalkan perpustakaan dan Asyas yang masih menyimpan banyak pertanyaan. Dia memang kerapkali bersikap aneh.
Insya Allah satu part lagi, Utawi Iki Iku ending 😊 Terima kasih untuk kalian yang sudah membaca sampai sini.
Insya Allah part terakhir di-apdet nanti malem. Mau happy atau sad ending, nih? Wkwk apa aja deh ya, yang penting kelar 😅
Bila ada kesalahan, sila sampaikan dengan baik. Jangan lupa untuk tinggalkan vote dan komennya. Untukmu yang sudah baca sampai sini tapi belum follow, ada masalah apa sama tetangga, Gan? Ayo follow dulu wkwk
Salam 💚
Sumber : Islami.co (Untuk kalian yang cari-cari artikel tentang agama gitu bisa di Islami.co atau bincang syariah huhu~ karena agama cinta banget 💚
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro