Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 37 || Memeluk Malam

Sesungguhnya Tuhan memeluk setiap hamba yang menerima kehendak-Nya.

Malam-malam sekali gadis berambut hitam sebahu itu terjaga dari tidur. Ia melirik jam weker di dekat bantal, tepat pukul 01.35. Perlahan, ia mendudukkan dirinya lalu menatap gelapnya kamar selama beberapa menit. Sekitar dua puluh santri di kamarnya masih terlelap, sedangkan sejak tadi Albania sama sekali tak bisa menyenyakkan diri.

Andai dia tak sedang halangan, mungkin ia akan lebih merendahkan sujudnya pada Allah meminta beberapa petunjuk tentang kesempatan yang ditawarkan akhir-akhir ini. Gadis itu memegang kepalanya, merasakan denyut yang kemudian menyapa. Buru-buru dia bangkit, meraih kerudung yang digantung di atas lemari lalu keluar kamar mencari angin malam.

Asrama malam hari benar-benar sejuk. Dia berjalan ke arah pohon mangga yang berada di seberang lapangan depan kamar, memanjatnya, lalu mengambil beberapa yang terlihat setengah matang. Gadis itu menggigit kulitnya yang masih lumayan keras dengan sekuat tenaga, hingga kulit hijaunya benar-benar terkelupas.

Albania kemudian duduk di depan kamar sembari menikmati buah tersebut, menyaksikan belaian lembut desau malam yang sesekali mengibarkan jilbabnya.

Suara gesekkan langkah terdengar pelan. Albania menoleh ke arah gerbang masuk asrama yang dapat dilihatnya dari depan kamar. Dia menghentikan mengunyahnya, barangkali penjaga malam akan masuk ke asrama dan akan sangat berbahaya bila dia ketahuan dan dilaporkan. Seorang santri yang keluar malam tanpa tujuan memang masuk ke dalam kasus pelanggaran. Ah, beginilah dia tak suka banyak aturan yang mesti diterapkan.

Suara gesekan itu semakin mendekat. Namun terdengar lembut. Albania menjadi curiga bahwa itu bukan berasal dari penjaga malam, melainkan seseorang yang lain. Langsung saja dia membaca banyak salawat, istigfar, dan segala macam zikir yang dilafalkan dalam hati. Gadis itu turut berduka cita pada dirinya sendiri atas kematian rasa keberanian malam ini. Sesungguhnya Tuhan bukan hanya menciptakan manusia saja, dan pikirannya mulai banyak menciptakan praduga tentang banyaknya gosip makhluk-makhluk tak terlihat di pesantren ini.

"Albania!" panggil seseorang, lembut.

Gadis itu langsung menghela napas lega saat dilihatnya perempuan berdaster batik cokelat serta berkerudung moka yang baru saja masuk ke asrama. Dia tampak tersenyum, lalu berjalan ke arah Albania yang masih mengatur detak jantungnya.

"Nggak bisa tidur?" tanya Ning Ayas setelah duduk di sebelah gadis 18 tahun itu.

Albania tersenyum. "Kebetulan aja, Ning. Kok Ning Ayas malam-malam ke sini sendirian? Nggak bisa tidur juga? Gus Nabil ke mana?"

"Gus Nabil itu insomnia. Kadang beliau nggak bisa tidur tiga harian, beliau sering banget jaga saya waktu malam dan sekarang beliau lagi ngobrol sama penjaga malam di depan. Malam ini saya nggak bisa tidur, akhirnya ngajak beliau keluar dan saya izin ke sini memastikan suara mangga jatuh dan ternyata itu kamu," jelas Ning Ayas panjang lebar.

Ah, tadi Albania memang tak sengaja menjatuhkan mangganya dan barangkali sunyi berhasil mencipta bunyi yang lumayan keras sampai Ning-nya mendengar.

"Ah ya, Albania, kamu tahu nggak, sih, kalau Gus Nabil itu berharap banget kamu kuliah di Yaman. Katanya itu adalah kesempatan untukmu. Entah beberapa hari lagi ternyata pendaftaran sudah ditutup dan beberapa angkatan Perfecta ada yang mengajukan diri untuk mendaftar. Katanya mereka akan tes di satu tempat yang sama, memgambil yang di Jakarta."

"Eh Ning, sebenarnya saya juga ingin. Tapi saya masih mencemaskan mama. Ning Ayas tahu, kan, bagaimana keadaan rumah saya. Dan sejauh ini saya masih menimbang-nimbang untuk bagaimana ke depannya."

"Untuk hal itu saya juga tak banyak memahami dan kami pun nggak bisa memaksa. Itu pilihanmu akan ke mana." Ning Ayas tersenyum.

"Boleh nggak, aku bertanya satu hal sama Ning Ayas?" tanya Albania. Yang Albania rasakan sekarang, bercerita pada Ning Ayas seperti bercerita pada kakaknya sendiri. Bahkan Albania lupa bahwa sebenarnya ia masih memiliki Kakak. Usianya yang hanya terpaut dua tahun dengan Ning Ayas, benar-benar membuatnya nyaman. Ning Ayas yang kata para santri selalu open ketika diajak curhat, demikian pula pada Albania. Bahkan Albania merasakan lebih.

Perempuan itu tersenyum seraya mengangguk.

"Kunci kebahagiaan itu seperti apa? Apakah kelak, aku akan mendapatkannya, Ning?" tanya Albania. Suaranya melemah. Ia benar-benar serius tentang pertanyaannya dan dia sangat ingin tahu tentang jawabannya. Ada banyak ayat-ayat Allah yang menguatkan, yang dia baca berulang-ulang tapi nahas, ia selalu gagal menelaah lebih dalam. Dia pernah berputus asa dan dia masih mencari tentang makna-makna yang tersembunyi dibalik susunan huruf hijaiyah.

"Melihat Ning Ayas, apakah Ning nggak pernah punya masalah?" lanjut Albania.

Ning Ayas tersenyum. Dia menggeleng, "Albania, mau kamu dengar cerita saya?"

Albania mengangguk.

"Sejujurnya saya malu dilanggil Ning, saya nggak pantas mendapat panggilan itu. Saya bukan seperti Ning di luar sana. Saya bukan terlahir dari keluarga yang terhormat, saya tidak lahir dari keluarga yang taat beragama. Umur lima tahun, papa meninggal dan saya menjadi anak yatim. Saya bertahan bersama mama dan kakak dalam lingkup keluarga semacam itu selama sembilan belas tahun lamanya. Tanpa saya ceritakan mungkin kamu akan paham bagaimana sulitnya kami saat itu sampai saya putus asa dan tak mengenal adanya Tuhan.

"Tapi benar kata Gus Nabil, Allah memiliki rencana dan kita memiliki batas. Kita nggak akan tahu kapan Allah mengeluarkan episode terbaik milik kita, kapan Dia akan memutarnya. Hingga pada titik akhir keputusasaan saya terhadap kehendak-Nya, saya bertemu dengannya di makam Rumi dan kemudian saya memutuskan untuk tinggal di pesantren Gus Adam.

"Bahkan setelah pertemuan itu masih banyak ujian yang datang, hingga di ujung usia sembilan belas tahun saya, Tuhan mengeluarkan bagian part paling indah dalam hidup saya. Dia menghadiahkan sosok Gus Nabil yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya. Saya hanya mualaf yang tak memiliki apa pun tetapi Dia yang maha adil tak pernah ada kemustahilan sedikit pun.

"Sejak saat itu saya tak tak mengenal lagi apa itu kesedihan. Barangkali Gus Nabil nggak pernah tahu bahwa sebenarnya rasa yang saya miliki lebih besar dan dalam dari miliknya. Albania, percayalah setiap dari kita entah kapan pasti memiliki jatah bahagia. Dan katanya kebahagiaan memang tak akan pernah tercipta bila bukan kita sendiri yang menciptakan.

"Melihatmu, mendengar semua cerita-ceritamu saya tahu bahwa kamu lebih kuat dari saya dan saya percaya, kelak, kamu akan menemui segala ganti yang pernah semesta ambil. Bersabarlah. Bukankah sudah di luar kepalamu, bahwa Allah bersama hamba-hambaNya yang mau bersabar?" Ning Ayas menghentikan ucapannya.

Albania tersenyum saat perempuan itu mengusap pundaknya lembut. Di dunia ini bukan hanya dia yang pernah terluka, bukan hanya dia yang pernah patah, bukan hanya dia yang pernah ditinggalkan, lalu kenapa dia merasa menjadi orang yang paling menyedihkan. Bukankah lagi-lagi dia memang harus bersabar dalam menghadapi segala macam ujian.

"Ning, boleh saya memeluk Ning Ayas?" tanya Albania polos. Sungguh, saat ini dia membutuhkan seorang teman. Dia membutuhkan banyak dorongan-dorongan tetapi sayangnya dia tak mendapatkan dari seseorang yang amat diinginkan ucapannya. Ayah. Lagi-lagi dia harus mengingat laki-laki menyebalkan itu.

Ning Ayas tersenyum, kemudian langsung menarik Albania dalam dekap. Di dalam hangat itu, Albania merasakan bahwa sosok kakak hadir menghangatkan. Untuk saat ini, Albania tak bisa menahan air mata agar tak jatuh. Kebaikan Ning Ayas padanya sukses membuat diri Albania benar-benar tersadar tentang banyak sisa kepedulian yang diberi semesta untuknya.

Sekarang, Albania mulai paham dengan keputusan yang akan diambil. Secepatnya ia akan mengatakan pada Gus Nabil. Ia tak lagi memiliki banyak waktu. Dia harus memiliki tujuan dan membangun kembali harapan.

"Ning, makasih untuk nasihatnya. Tetaplah menjadi Ning yang paling baik untuk kami," ungkap Albania setelah melepas pelan pelukan Ning Ayas. Dia segera menghapus air mata, menghilangkan kesedihan lalu mulai menuangkan banyak harapan.

"Nasihat itu sejatinya untuk diri saya sendiri. Kamu semangat, ya. Kamu beruntung berada di sini. Lihatlah keluar, masih banyak yang peduli padamu. Saya juga.

"Dan hei, Albania bukannya Asyas mengajakmu untuk hidup bersama?" Ning Ayas menurunkan volume suaranya. Kedua mata hijaunya menatap Albania yang tak memakai kacamata.

Albania menggeleng sembari tersenyum samar. "Saya nggak peduli, Ning. Pernikah itu bukan untuk main-main. Saya belum siap dan saya masih takut untuk menikah. Bahkan untuk membicarakan saja, sesungguhnya saya tidak nyaman."

"Tetapi Na, kalau kamu terus menutup hati kamu seperti ini, barangkali kamu akan sulit menyembuhkan luka dari masa lalu. Berdoa selalu, meminta ketenangan dan kekuatan. Kelak, kamu harus mendapatkan laki-laki yang mencintaimu lebih dari apa pun, yang memperlakukanmu seperti ratu, yang benar-benar meyayangimu dan menganggapmu seperti dirinya sendiri."

"Apakah itu yang didapatkan Ning Ayas setelah menikah?"

Ning Ayas mengangguk. "Sekalipun Gus Nabil nggak pernah meninggikan suaranya saat berbicara dengan saya. Kami sering berbeda pendapat, tapi entah saya atau Gus Nabil selalu berusaha menurunkan ego agar jangan pernah berakhir dalam pertengkaran. Bahkan untuk masalah kecil ketika dia hendak merokok, Gus Nabil selalu menghindar. Dia pergi menjauhi saya yang tak pernah menyukai asapnya. Katanya, dia nggak mau membuat saya kesal bila tak sengaja menghirup aromanya.

"Tapi meski demikian saya tak pernah melarangnya untuk berhenti. Kerapkali dia lebih paham apa yang dia kehendaki. Bahkan untuk hal-hal kecil semacam itu beliau memperhatikan. Itulah jawabannya kenapa saya tak mau kehilangan. Di dunia ini, cuma beliau yang menjadi teman saya, Na. Yang tak pernah membuat saya kecewa. Dari beliau saya tahu bahwa Tuhan memang pemilik Ar-rahman dan Ar-rahim. Dia membuktikannya melalui kasih sayang Gus Nabil yang tak pernah berakhir."

Albania tersenyum. Bahkan kali ini dia mendengarnya sendiri melalui bibir dari istri seorang Gus. Albania melihat kejujuran dari mata hijaunya dan betapa dia selalu menampilkan bulan sabit tanda bersyukur bahwa Tuhan telah menciptakan sosok manis seperti Gus Nabil.

"Di luar sana, Na, masih banyak laki-laki dengan empati yang tinggi. Berdoalah, agar kamu mendapatkannya satu." Ning Ayas tersenyum.

Albania mengangguk. Barangkali memang ia harus mulai menyembuhkan diri perihal masa lalu, tetapi biarkan proses yang bekerja. Tugasnya hanya berdoa dan berusaha. Untuk saat ini, ia benar-benar belum mampu meyakinkan hati tentang seseorang yang berusaha masuk ke dalam hidupnya.

Wahai seseorang yang memaksa ingin mengisi ruang kosong di sudut paling dalam, bersabarlah. Aku akan berusaha menyembuhkan luka masa lalu dan membersihkan banyak duri, hingga ketika kau berhasil masuk, kau nyaman dengan tempatnya yang telah bersih dari segala macam kebencian dan dendam. Bersabarlah, hati. Batin Albania.




Apdet 😊

Bila ada kesalahan, sila sampaikan dengan baik. Jangan lupa untuk tinggalkan vote dan komentarnya, manteman 💚

Salam

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro