Bab 35 || Mencoba Memulai
Suatu saat kau akan mengerti, bahwa kedudukanmu adalah cinta di atas cinta.
Yang telah berlalu semakin terlihat jauh, yang telah pergi, telah benar-benar hilang dari pengelihatan dan itu pasti. Setiap hari para manusia menjalani segalanya dari awal, dari sebuah kesalahan lampau hingga pada titik di mana kerapkali rancu menjadi racun mematikan dalam sempitnya sebuah pilihan. Dan barangkali Albania tengah berada pada posisi di mana ia merasa bersalah dengan segala hal yang telah dilakukan.
"Aku minta maaf bila ma'lumat Asyas yang kemarin itu menyinggungmu. Aku tahu Asyas tak akan pernah meminta maaf tentang kesalahan ini, dia tak akan merasa bersalah," ucap Albania pada perempuan bersarung hijau serta berkemeja putih di sebelahnya. Kedua gadis itu duduk di koridor kamar ketika mentari hampir berada tepat di atas kepala.
Para santri sedang istirahat siang usai sekolah dan mereka akan melanjutkan diniyah-nya setelah zuhur berjamaah nanti.
"Kenapa harus minta maaf padaku? Aku dan Al tak lagi memiliki hubungan apa pun. Kamu sudah berhasil mendapatkannya, kan, Albania? Jadi, tak perlu ada yang diperdebatkan atau diobrolkan lagi," sahut Madinah. Suaranya terdengar dingin. Albania tahu Madinah belum benar-benar bisa menerima kenyataan bahwa ia ditinggalkan oleh seorang Asyas. Betapa Albania sejujurnya paham bagaimana keadaan hati ketika pertama kali dihadapkan dengan sebuah perpisahan.
"Aku tak mengerti kau telah benar-benar memaafkan atau tidak, tapi kau harus tahu bahwa aku dan Asyas tak memiliki hubungan apa pun. Ma'lumat kemarin dikumandangkan hanya karena Asyas mendapat tantangan permainan. Kamu masih memiliki banyak kesempatan bila mau kembali mendapatkan Asyas." Albania berkata dengan sejujur-jujurnya. Ia tahu bahwa Madinah masih sangat berharap banyak tetapi dia pun tak bisa membantu tuk menyatukan. Albania takut bila perasaannya nanti benar-benar berbelok dan tak bisa melupakan. Akan sangat plot twist bila akhir dari kehidupannya, dia harus bersanding dengan laki-laki sedingin kutub itu.
"Sudah selesai, kah? Aku harus kembali ke kamar," kata Madinah.
Albania mengangguk. Bahkan sebanyak apa pun perkataan yang disampaikan pada Madinah, seolah sia-sia. Perempuan itu benar-benar tak mau lagi mendengar penjelasan Albania.
Madinah bangkit, kemudian pergi meninggalkan Albania yang masih termenung di tengah sepinya siang ini. Apa yang hendak dilakukannya nanti. Jujur, ia sangat merasa bersalah. Benar, ternyata berbuat kesalahan terhadap sesama manusia lebih mengerikan daripada memiliki kesalahan terhadap Tuhan. Allah memiliki sifat welas asih tanpa batas, sedangkan seorang hamba tak dijamin memiliki sifat-sifat kasih sayang.
"Albania," panggil seseorang.
Gadis itu menoleh. Dia mendapati perempuan bersarung cokelat muda serta berkaus putih polos yang berjalan ke arahnya dengan wajah yang ceria seperti biasa.
"Ning Ayas." Albania langsung berdiri.
"Gus Nabil mencari kamu. Dia di depan kantor sama Asyas juga. Ayo ke sana." Ning Ayas langsung menggandeng tangan Albania.
Gadis itu tak paham, hanya saja tugasnya sekarang adalah menuruti perintah Ning-nya.
"Wajahmu kenapa? Nggak ceria seperti biasanya?" tanya Ning Ayas di tengah jalan.
"Ah, nggak apa kok, Ning. Emang mukaku kayak gini, kan?" Albania tertawa nyaring berusaha menutupi kerancuannya. Demi Allah ia tak mau sampai Gus Nabil atau Ning Ayas mengerti rumitnya jalan hidup yang tengah ditempuhnya.
Setelah beberapa menit berjalan ke kantor, akhirnya mereka berdua sampai. Kedua mata Albania mendapati laki-laki bermata sipit yang tengah duduk di teras depan bangunan hijau itu. Dia terdiam di sana sendirian. Ya, Asyas.
"Al, Gus Nabil mana?" tanya Ning Ayas setelah duduk dengan memberi jarak di antara mereka.
"Ke warung, Ning. Beliau ngerokok dulu katanya."
"Barusan?"
"Udah lima menit yang lalu, sih. Mungkin bentar lagi ke sini," kata Asyas mencoba jelaskan.
"Ya sudah kita tunggu Gus Nabil dulu, ya. Beliau katanya mau ngomong sama kalian," ucap Ning Ayas.
Katanya meski perokok, beliau adalah perokok yang santun. Albania pernah mendengar cerita dari para golongan Nabilisme bahwa Gus Nabil tak akan pernah menyalakan rokoknya bila sedang di tempat umum, di dekat anak kecil, ibu hamil, atau beberapa tempat yang tidak membolehkan. Ah, ternyata beliau memang benar-benar memahami segala peraturan dalam hidupnya.
Sekitar tujuh menit kemudian, seorang lelaki belum genap 23 tahun mulai memasuki gerbang asrama. Pria bersarung putih serta berkaus biru muda itu tampak membawa kresek putih, sebelum akhirnya beliau tampak tersenyum dan mulai melepas sandal saat sampai di koridor kantor.
Beliau duduk di sebelah istrinya seraya mengangkat kresek tersebut. "Sayang, tahu nggak, aku bawa apa?" tanya Gus Nabil pada istrinya.
Albania yang menyaksikan hanya mampu tersenyum dalam diam melihat pasangan yang romantis tiada habisnya itu. Entah di mana pun tempatnya, semua terasa manis bila mereka berdua hadir.
"Apa itu, Gus?" Ning Ayas terlihat sangat antusias.
"Pie susu." Gus Nabil memberikan kresek tersebut pada wanita itu seraya tersenyum.
Kedua mata hijau Ning Ayas tampak berbinar sembari membuka kresek tersebut. "Gus Nabil abis dari mana, sih? Emang di depan ada yang jual pie?"
"Aku abis ngerokok di warung depan. Pie susu itu dari Mas Zaki, beliau abis keluar dan tadi udah balik."
"Makasih, Gus." Ning Ayas tersenyum lebar.
Gus Nabil mengusap kepala istrinya. "Habisin. Nanti kita makan siang di luar aja, ya. Tadi Mas Hadi ngajak ketemu juga."
Ning Ayas mengangguk cepat. "Sekalian ke toko buku, ya," katanya, pelan.
"Iya."
"Ah ya, Al, Albania barusan saya dapat info dari salah satu teman saya yang sedang melanjutkan studinya di Yaman. Katanya pendaftaran S1 sudah mulai dibuka. Saya belum cek website-nya akan dibuka selama beberapa hari, tapi nanti saya akan infokan pada angkatan Perfecta bagi yang mau mendaftar tahun sekarang, silakan.
"Saya memanggilmu, Asyas, karena saya tahu bahwa tujuanmu setelah lulus dari sini ingin kuliah di negeri para wali, bukan? Dan Albania, mau mendaftar? Saya yakin kamu bisa melewati tesnya. Kamu pintar," jelas Gus Nabil.
Albania menggeleng pelan. Kendati tes bisa dilewati tetapi bagaimana dengan biaya penerbangan dan segala hal-hal yang akan dibayar setelah lolos nanti. Sejak tahun kemarin pun, bukannya Albania memang memimpikan banyak universitas-universitas di Timur Tengah, tetapi sayangnya selalu gagal bila sudah dihadapkan dengan nominal biaya.
"Kenapa?"
"Ada beberapa nol yang harus dikeluarkan, Gus. Ibu saya nggak akan mampu."
"Mau coba dulu? Tentang biaya, insya Allah pesantren bisa membantumu. Tak perlu memikirkan bagaimana rezeki itu datang padamu, bukankah adanya air zam-zam tercipta dari entakkan kaki Ismail dan keteguhan Hajar?"
"Saya nggak akan memaksa. Kalian mau kuliah di mana pun, itu adalah pilihan. Silakan ke Mesir, Maroko, Turki, Albania, Swiss, Australia, China, atau tetap di Indonesia adalah pilihan. Yang lebih penting dari sebuah tempat menuntut ilmu adalah bagaimana cara kalian menyetir akhlak. Silakan pikirkan matang-matang dan nanti saya akan menemui Perfecta mengabarkan berita ini," jelas Gus Nabil.
"Tapi Gus, bukannya kita baru diizinkan kuliah tahun depan? Dari tahun ke tahun pun pesantren mewajibkan wajib belajar 8 tahun," kata Asyas.
"Memang, cuma untuk sekarang saya sudah katakan pada Abi bahwa bagi kalian yang mendaftar dan lolos, bila dalam kurun waktu kurang dari lima bulan sudah diberi jadwal penerbangan, maka kami akan tetap mengizinkan kalian pergi. Asal selama menunggu, kalian tetap di sini menghabiskan waktu lima bulan masa pengabdian ini, paham?"
Asyas mengangguk.
Namun demi Tuhan, dia belum mempersiapkan semuanya. Tetapi yang ia tahu ini adalah kesempatan. Yaman adalah negeri impian dan keelokan Tarim yang tak ditemui keindahannya oleh negeri mana pun adalah tujuan yang ingin Asyas kunjungi. Tinggal di sana, menuntut ilmu dari para ulama hebat siapa yang tak mau. Ah, sekarang ia telah dibingungkan oleh banyak pilihan.
"Albania," panggil Gus Nabil menyadarkan perempuan yang sedari tadi tampak berpikir itu.
Albania mendongak refleks, "Eh, saya akan pikir lagi, Gus. Saya izin dulu sama mama," ungkapnya.
Asyas menatap Albania sekilas, lalu menunduk. Jutaan pilihan baru seakan masuk, menerobos ketenangan. Sungguh, ia harus berpikir dari sekarang bahwa sebagai manusia, dia harus membuat sebuah pilihan. Ia ingin membuat lembaran baru dan membuktikan bahwa dia mampu menjadi yang lebih mampu diharapkan orang tuanya. Namun, ada hal yang mengganjal sejak tadi. Dia harus membawa seseorang ke sana. Dia merasa harus bersamanya ketika berada di sana. Ada rasa enggan kehilangan yang perlahan mengusik ketenangan.
Batinnya mulai bergejolak. Allah apakah itu sebuah rasa yang kembali kau tanamkan? Ah, ia masih tak paham. Namun yang jelas ia harus merencanakan segalanya dari awal. Ia tak akan pernah lagi mengulangi perpisahan untuk kedua kali. Asyas tak mau menyesal.
Apdet!
Udah pada bangun? Wkwk
Insya Allah part-nya mungkin nggak sampai 40 atau paling banyak 40 kali, ya. Banyak banget ya haha 😂 Semoga jangan bosen, ya, kalian 💙
Bila ada kesalahan sila sampaikan dengan baik dan jangan lupa tinggalkan vote dan komentarnya, Kakak ❤
Salam ❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro