Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 30 || Perjalanan

Rindu adalah bahasa dari jumpa yang terjeda, kata yang tak dapat dimakna dan cinta yang mengangkasa.

Di dalam mobil yang tengah melaju menuju Bandara Soekarna Hatta, Albania terus-terusan mengarahkan pandangannya ke arah jendela. Ada ragu dan rancu yang betah bersemayam dalam benak. Ia enggan terusir karena lemahnya sebuah keyakinan.

Di sebelahnya, Asyas sedari tadi membaca buku milik Cak Nun. Sejak pertama masuk ke mobil, baik Albania mau pun pemuda bersarung di sebelahnya tak mencoba membuka percakapan. Andai Gus Nabil dan Ning Ayas di depannya tak melakukan konser, barangkali dalam kendara roda empat itu sepi. Namun, kedua pasangan di depannya tak henti-henti menyanyikan dari satu lagu ke lagu lain mencoba meramaikan suasana yang beku.

Harum lemon dari dalam mobil semakin membuat Albania betah dengan kegiatan merenungnya. Memperhatikan lalu lalang kendaraan dari balik kaca mobil barangkali memiliki esensi tersendiri.

"Albania, kamu nggak bawa buku?" tanya Ning Ayas yang tiba-tiba menghadapnya.

"Eh, nggak Ning. Soalnya tadi buru-buru," dustanya. Sesungguhnya Albania memang sengaja tak membawa. Auto fokusnya tak akan terpasang bila dalam keadaan cemas yang berlebihan.

"Mau cokelat? Saya bawa cokelat untuk kalian." Ning Ayas membuka tasnya dan mengulurkan dua batang cokelat yang terbalut bungkus yang sangat manis.

"Dimakan, ya," ucapnya lembut setelah Asyas dan Albania mengambilnya.

"Makasih, Ning," ucap mereka bersamaan.

"Sama-sama." Ning Ayas kemudian kemudian kembali duduk. Gus Nabil di sebelahnya tampak tersenyum.

"Mau cokelat, Gus?" Ning Ayas mengulurkan cokelat pada laki-laki di sebelahnya.

"Buat apa? Lihat kamu aja serasa kayak makan cokelat dari tadi," jawabnya.

Albania dan Asyas kompak berpandangan saat tak sengaja mendengar gombalan yang keluar dari Gus-nya, lalu keduanya langsung berpaling ke arah kaca masing-masing. Ah, ternyata benar kata banyak santri putri. Gus Nabil semanis itu.

🍁🍁

Sekitar dua jam kemudian, mobil mulai mengarah pada jalan menuju Bandara Soekarno Hatta terminal tiga di mana katanya keluarga ndalem dan para calon Maba yang se-mediator berkumpul di sana.

Gus Nabil mengarahkan mobilnya menuju parkir yang berada di dalam bagian atas, lalu setelah mengamankan kendaranya, mereka langsung turun untuk segera menuju lift yang akan mengantarnya pada keluarga yang telah berkumpul.

Albania semakin cemas. Akan melakukan apa dia di sana? Asyas akan bertemu dengan orang tuanya dan dia? Apa yang nanti akan dia lakukan? Sungguh ini benar-benar mimpi buruk. Tak seharusnya ia menuruti ego yang akan membawanya pada penyesalan hingga beberapa waktu ke depan.

Setelah sampai, mereka terus berjalan hingga menemui keluarga ndalem dan keluarga Kafa yang berkumpul di sana. Beberapa Maba pun tampak sedang menunggu bersama keluarga masing-masing. Barangkali satu atau dua jam lagi mereka harus sudah check-in dan kemudian masuk ke ruang tunggu.

Kini, tatapan Albania jatuh pada pemuda ber-hoodie putih serta bercelana hitam, sedang berbincang dengan sepasang suami istri yang duduk di kursi. Ingin rasanya berbalik arah tetapi ia tak mau Gus Nabil dan Ning Ayas curiga. Tetapi demikian apa yang hendak ia lakukan?

"Kafa," panggil Gus Nabil.

Remaja berusia 18 tahun itu menoleh. Namun, tatapannya tak tertuju pada Gus-nya melainkan pada Albania yang berjalan di sebelah Asyas. Perempuan itu merasakan debaran maha dahsyat yang tak dapat ditoleransi. Ya Allah bagaimana agar rasa cemas terhentikan? Dia membaca banyak salawat menghapus gundah tetapi semua memiliki proses. Cemas kerapkali menghantui dengan penuh misteri.

Buru-buru dia pemuda itu mengalihkan pandangan pada Gus-nya. Dia tersenyum lebar, wajahnya seketika berubah sumringah. "Gus Nabil. Ah, Gus akhirnya saya bisa menepati janji dengan diberinya kesempatan oleh Allah untuk saya menginjakkan kaki di negeri para Nabi," ujar Kafa setelah berdiri di depan laki-laki berjaket hitam itu.

"Saya senang, Fa, ketika mendengar kamu lolos tes. Saya percaya kamu bisa. Dan tunggu saya satu setengah tahun lagi. Kita bertemu di sana insya Allah." Gus Nabil memegang pundak Kafa. Beliau juga tampak tersenyum kepada kedua orang tua Kafa, barangkali mereka telah mengetahui kedekatan anaknya dengan sang Gus.

"Ah ya, Fa, kamu tahu Albania juga sebenarnya lolos tes. Kalau dia ambil tahun sekarang bisa berangkat. Tapi segala sesuatu kan Allah yang berkehendak, ya. Manusia hanya bisa merencanakan," lanjutnya. Seperti ada nada kecewa.

Kafa menoleh lagi ke arah Albania, lalu tersenyum kecil pada Gus-nya.

Mau mengucapkan selamat tinggal bagaimana sedangkan keadaan ramai. Namun dapat dipastikan bahwa keluarga ndalem sedang tidak fokus pada mereka karena sepertinya ada topik sendiri yang tengah diperbincangkan oleh mereka.

"Ikut gue!" pinta Asyas pelan pada Albania.

Laki-laki itu berjalan ke arah Kafa. Ia tersenyum pada kedua orang tua Kafa yang duduk tak jauh dari anaknya yang tengah berbincang dengan Gus Nabil. "Om Rafa, tante Mila," sapa Asyas.

"Al, kamu di sini? Papamu nggak jadi ke sini. Kak Fahri tiba-tiba ada jadwal bedah dan dia menitipkan permintaan maaf untukmu. Abi dan Bunda ada di rumah tante," ucap wanita bernama Kamila itu.

"Sudah biasa, Tan."

"Dia siapa, Al?" tanya lelaki berambut pirang di sebelah Kamila. Bisa dikenali bahwa dia merupakan ayah Kafa.

Albania menelan saliva. Demi Allah, sebanarnya ingin membebaskan diri dari keadaan yang awkward seperti ini. Namun di mana pintu doraemon terpasang? Musatahil bila dia berbalik arah dan lari tiba-tiba karena bagaimana nanti ketika keluarga ndalem melihatnya.

"Teman Al, Om. Namanya Albania. Dia mondok di Umar juga."

"Salam kenal Albania," ucap lelaki itu.

Albania tersenyum.

Asyas berbalik memandang Kafa yang sepertinya masih berbincang seru dengan Gus-nya sedangkan Ning Ayas berkumpul dengan keluarga ndalem. Dia tampak berbicara dengan Hilya, adik iparnya.

"Bil, sini dulu!" panggil Hamdan dari jarak beberapa meter.

Gus Nabil menoleh, lalu meninggalkan Kafa dan segera berjalan menghampiri keluarga ndalem, berkumpul dengan mereka. Dan saat ini jangan tanya bagaimana keadaan Albania. Perasaannya semakin berantakan saat kemudian Kafa mengarahkan mata hazelnya menatap perempuan itu.

"Good luck, Fa," ucap Asyas setelah berdiri di depan sepupunya.

Kafa tersenyum. "Thanks," jawabnya. "Jangan lupa libur ke sana. Sebelum ke Yaman."

"Doakan."

"Dan kenapa lo bawa dia ke sini?" tanyanya. Sinis menatap Albania.

Hah? Dia? Albania terperanjat. Apakah laki-laki itu enggan menyebut namanya meski hanya membutuhkan beberapa detik saja? Apakah Kafa benar-benar tak mau lagi melihatnya. Allah, perih. Sakit. Seharusnya dari awal dia memang sadar bahwa keputusannya untuk ke sini memang salah. Laki-laki itu sudah tak lagi membutuhkan ucapan selamat tinggal, sampai jumpa atau apa pun yang keluar dari mulut Albania. Bahkan bila Albania tak hadir pun ia tetap pergi tuk mencapai impiannya.

"Dia mau ngucapin sesuatu sama lo," ucap Asyas.

"Jangan keras-keras, bisa? Nanti papa sama mama gue denger," kata Kafa.

"Ya kali lo pikir kita ngomong pakai toa masjid?" kesal Asyas. Entah sejak kapan Kafa bersikap menyebalkan.

"Ngomong aja sekarang. Bentar lagi check-in," ketusnya.

"E—eh selamat tinggal, Fa."

"Hanya itu?"

Albania menunduk. Ada banyak kosa kata yang ingin dikeluarkan, ada banyak kalimat penyemangat, kalimat ucapan selamat jalan yang ingin disampaikan tetapi lidah terlanjur kelu. Dia tak bisa berkata apa-apa lagi. Dia terlalu astagfirullah untuk mengatakan sesuatu yang masya Allah dan subhanallah.

"Jaga diri baik-baik dan—"

"Baik. Sudah selesai. Sekarang saya mau check-in." Kafa memotong ucapan Albania.

"Papa... Mama...," panggil remaja itu.

Orang tuanya menoleh. "Kenalkan dia masa laluku. Namanya Albania Tirana. Seseorang yang pernah membuat putramu jatuh cinta dan selalu membisu ketika menginjakkan kaki di Yaman. Bukankah Mama dan Papa ingin tahu sebabnya? Dan dia adalah sebab dari kenapa aku berubah sikap di hadapan kalian."

Sepasang suami istri itu tampak kebingungan sekaligus terkejut. Benar, ini sangat tiba-tiba.

"Namun, aku telah berhasil menyembuhkan sebagian luka. Aku akan pergi untuk beberapa tahun ke depan. Tolong doakan putramu agar tak ada luka lain yang menghampiri." Dia, Kafa berjalan ke arah orang tuanya. Memeluk mereka. Sedangkan Albania memeluk segala resahnya yang semakin membuncah. Bagaimana mungkin Kafa mengatakan hal seperti itu pada kedua orang tuanya. Dia mengenalkan Albania sebagai masa lalu. Dia mengenalkan Albania sebagai sesuatu yang telah lampau dan tak memiliki kesempatan untuk berubah kedudukan.

Laki-laki itu menarik koper hitamnya saat para Maba telah berkumpul. Tiba-tiba saja dia memeluk Asyas dan membisikkan sesuatu yang tak bisa Albania dengar. Laki-laki itu tersenyum, lantas mulai melangkah menjauh.

Albania melihat sepatunya yang kemudian mulai menciptakan jarak. Dia tak tahan ingin mengucapkan banyak hal tetapi semesta tak pernah mengizinkan.

"Mas Nabil harus ke sana lagi. Aku tunggu. Kalau nggak balik, aku bakal bilang sesuatu sama Mbak Ayas," ujar Hilya sembari menarik kopernya. Dia pun tampak hendak bersiap-siap.
"Insya Allah kalau Mas punya mood ketemu kamu," jawab Nabil.

"Padahal nanti kangen," ujar Hilya.

"Mas Hamdan sama Mbak Mariyah harus sering-sering libur ke sana pokoknya. Umi sama Abi nggak perlu aku bilang, karena mereka pasti akan ke sana," lanjut anak itu.

"Pasti insya Allah. Doakan, Dik. Jaga diri baik-baik." Hamdan memeluk adiknya.

"Mas Nabil nggak mau terakhiran nih?" goda Hilya.

Gus Nabil tampak tersenyum. Dia memeluk adik satu-satunya. Mencium dahinya lembut. "Hati-hati. Jaga diri selama Mas belum ke sana. Mesir nggak seindah yang kamu bayangkan, tapi padanya kamu akan tahu apa itu kehidupan." Beliau mengelus kepala adiknya pelan.

"Aku pasti kangen Mas Nabil. Di sana nggak ada yang jailin aku," kata Hilya.

Perempuan itu kini beralih berdiri di depan Ning Ayas. "Mbak Ayas, nanti aku pasti kangen banget. Kalau keponakanku udah gede, ajak ke sana, ya." Hilya memeluk kakak iparnya, mencium pipi kanan dan kiri Asyas lalu mulai melangkah menjauh sembari melambaikan tangan pada keluarganya.

Kafa dan Hilya tampak berjalan bersama. Mereka tersenyum dari kejauhan sebelum akhirnya semua telah hilang di perbelokan dan Albania hanya bisa menatap mereka tanpa berbuat apa-apa.

Dan sekarang segalanya telah benar-benar usai. Dia harus kembali menata ulang hidupnya dengan membiarkan yang pergi benar-benar pergi.

Allah, satu hal yang kuminta pada-Mu setelah jutaan harapan yang tak pernah kudapatkan, kali ini aku memaksa pada-Mu untuk diperkenankan. Tolong jangan pernah menghapus memoriku yang telah lalu. Mengingatnya aku tahu luka kembali menganga, namun Allah bukankah itu yang dikatakan cinta? Ketika seorang kekasih menawarkan pisau maka sesungguhnya yang kulihat adalah mawar yang menakjubkan. Bukankah seperti itu cinta bekerja? Batin Albania.

Gila. Barangkali ia telah gila karena cinta yang dimilikinya telah mengambil sebagian kewarasan. Ia tak sadar bahwa Tuhan telah mengambil sesuatu yang amat dicintainya agar ia kembali mengingat Tuhannya. Pulang menuju pelukan paling aman, pundak paling hangat dan genggaman paling mendamaikan. Besok atau nanti ia pasti akan menyadari. Setiap sesuatu memiliki prosesnya dan Albania tengah berporoses bertarung mengalahkan keegoisan.


Update!

Sekarang update terakhir di minggu ini. Insya Allah akan apdet lagi kamis atau jumat depan karena sesungguhnya belum ada liburan hoho ...

Bila ada kesalahan silakan sampaikan dengan baik dan jangan lupa tinggalkan vote dan komentarnya.
Follow dulu gengs, sebelum lanjut ^^

Ah ya, kalau share quotes tolong cantumkan nama penulisnya atau judul dari story-nya ya. Oke nggak?

Salam | Milky Way

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro