Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 28 || Fana

Ketika kau telah bersabar dari perihnya perpisahan, sesungguhnya kau telah menyempurnakan salah satu rukun dari kemanusiaanmu.

Satu dari banyaknya ujian yang paling menyakitkan barangkali adalah ujian perpisahan. Karena setiap jiwa yang bernyawa, pasti akan menemui sebuah tembok yang menghalangi. Antara ditinggal dan meninggalkan barangkali menjadi bagian dari sebuah pilihan yang kerapkali menjadi pendukung sebuah ketidakpastian dari beberapa bagian kehidupan. Dan hari ini Asyas telah menunaikan sifat manusianya dengan mengadakan sebuah perpisahan yang cukup berakhir menyakitkan bagi satu pihak yang tak ia sadari.

Begitulah ketika dia ingin menyampaikan bahwa manusia bukan dicipta untuk menyimpan sebuah harap, bukan untuk dipercaya seluruhnya dan bukan untuk diikuti setiap kehendaknya. Hingga akhirnya ia menyadarkan Madinah tentang siapa yang tak pernah meninggalakan, tentang siapa yang tak pernah lari dan pergi.

Asyas, begitulah alasannya ketika dia melakukan sebuah kesalahan besar. Dia mencari dalil untuk membenarkan keputusan dan perbuatannya.

"Kamu gila, Al. Udah beberapa kali kamu bilang sama Madinah kalau kamu bakal nikahin dia? Hah?" sentak Hilmi di antara sepinya komplek Darul Irsyad Putra yang sangat sepi. Di depan koridor kamar, keduanya duduk di sana membiarkan malam menyaksikan segala kebodohan yang telah Asyas lakukan.

Remaja berambut hitam pekat itu terdiam. Ia lupa. Entah sekali atau dua kali Asyas pernah meyakinkan Madinah bahwa dia akan menikahinya bila semesta memang berkehendak. Entah beberapa kali juga Madinah selalu meminta kepastian dari hubungan yang kerapkali tak Asyas hiraukan.

"Albania. Apakah semua ini gara-gara Albania?" tanya Hilmi.

"Jangan ada yang menyalahkan dia. Albania nggak seharusnya dibawa dalam keputusan yang telah saya buat," jawab Asyas.

"Tapi kamu nggak seharusnya membuat keputusan yang bikin dia patah, Al. Dia itu perempuan yang mudah sekali kecewa. Apa kamu berpikir sebelummya bagaimana kalau nanti dia nggak akan pernah percaya lagi pada laki-laki?" tanya Hilmi.

Asyas menoleh. "Secemas itu kamu padanya? Bahkan kamu nggak memedulikan gimana bila berada di posisi saya. Hibur dia dan nggak seharusnya saya ceritakan semuanya padamu." Dia mengambil senter yang sempat ditaruhnya di sebelah, lalu melangkahkan kakinya menelusuri koridor menuju kamar 15 yang berada di lantai dua. Ia akan istirahat dan melupakan semuanya.

Sekarang tepat pukul 02.30. Sebentar lagi para santri akan terbangun untuk tahajud berjamaah dan ia akan tidur barang sebentar. Tidur bila memang bisa. Bila kembali gagal, cukup dengan memejamkan mata untuk menghindari tahajud berjamaah. Entah, ia tak ingin melakukannya malam ini.

🍁🍁

Albania mengambil kitab Fathul Jawad-nya dari atas lemari usai melaksanakan dua rakaat subuh berjamaah di masjid. Pagi ini pengajian dengan salah satu ustaz di kelas Ulya. Gadis itu mengambil sekotak susu putih lalu berjalan keluar sembari menghirup udara pagi yang masih sangat sejuk.

"Na, bareng dong," teriak Nisa dari dalam kamar yang sepertinya masih sibuk merapikan jilbab.

Albania yang baru saja memakai sandal jepit kemudian berdiri di depan kamar menunggu Nisa. "Tiga detik dari sekarang nggak keluar, dihukum bersihin dosa santri se-asrama," balas Albania dari luar.

"Astaga itu mulut emang asal ceplos," ucap Nisa yang baru saja keluar dari kamar. Gadis bersarung kuning itu lalu memakai sandal dan mereka berdua berjalan menuju kelas yang berada di gedung belakang.

Ah, hari ini barangkali Albania libur bertemu Asyas. Pasalnya mereka memang tidak seangakatan. Albania masih di Ulya, sedangkan Asyas sesungguhnya adalah guru yang masih harus diajari. Namun demikian Albania mengakui bahwa anak yang sering tidur ketika mengaji itu memanglah sangat cerdas.

Beberapa kelas yang berderet telah diisi oleh para santri untuk bandongan. Albania dan Nisa membuka pintu kelas yang akan ditempati. Anak Ulya memang kerapkali datang lebih akhir daripada santri Ula. Entah karena sudah lama tinggal di pesantren kemudian merasa senior dan bebas atau karena antri di kamar mandi yang kerapkali lebih lama dan sesungguhnya waktu yang terbuang sia-sia itu dapat digunakan untuk menyediakan visi dan misi kelak untuk menjadi Presiden.

"Madinah." Gadis bersarung cokelat itu terkesiap mendapati perempuan yang sangat dikenalnya, tidur di salah satu bangku.

"Madinah tidur di sini? Nggak boleh masuk kamar, ya?" tanya Nisa saat Albania memutuskan mendekat.

"Ngarang," balas Albania.

Gadis bertubuh semampai itu mendekat sembari terus memeluk kitabnya. Dia menepuk-nepuk bahu Madinah. Perempuan yang menenggelamkan kepalanya di meja itu memang sangat Albania kenali. "Madinah, bangun. Udah waktunya ngaji. Kamu pasti belum salat," ujar Albania.

"Madinah, bangun!" Kali ini suara Albania lebih keras.

Perlahan, tubuh Madinah bergerak. Kepalanya terangkat lalu terkejut saat mendapati dua orang di depannya. Mata yang terlihat sembab itu menatap tajam Albania, lalu bangkit dan segera pergi meninggalkan mereka tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Albania dan Nisa memperhatikan langkah Madinah yang terlihat buru-buru, keduanya saling berpandangan berusaha meminta penjelasan, lalu sama-sama menggeleng karena tak paham.

"Nge-lihat aku sinis banget, kayak lihat Fir'aun," desis Albania.

"Kamu punya hutang kali," kata Nisa.

"Dih enak aja. Cewek emang sering aneh, ya!" desis Albania sembari duduk di tempat yang tadi Madinah duduki. Kursinya masih terasa hangat.

"Gender kamu emang apa?" tanya Nisa sembari meletakkan kitabnya di atas meja samping Albania.

Albania tertawa nyaring. Dia meletakkan kitab lalu kedua matanya mendapati sobekan kertas di atas meja. Barangkali Madinah yang sengaja meninggalkannya di sana.

Gadis itu meraih kertas tersebut, melihat coretan asal yang sepertinya dilakukan saat kesal. Kertas tersebut seakan menyimpan sebuah kata, lalu sang penulis berusaha menghilangkan kata tersebut dengan pena yang dicoretnya tetapi jelas Albania masih melihat dari balik kacamatanya. Di sana tertulis beberapa kosa kata aneh, seperti broken, hate, akhir, janji, mimpi buruk dan Asyas?

Albania menautkan kedua alisnya tak paham. Dia memberitahukan Nisa dengan menyodorkan kertas tersebut pada perempuan itu. Tak lama beberapa menit kemudian, beberapa santri mulai masuk dan mengambil posisi duduknya masing-masing.

"Maksudnya apa sih?" tanya Nisa tak paham.

"Itu tulisan Madinah, kan? Yang dicoret-coret pakai pulpen itu," tanya Albania memastikan.

Nisa mengangguk. Mungkin iya. Pasalnya mereka memang tak seakangatan. Madinah satu tahu di atas Nisa dan perempuan itu tak benar-benar paham bagaimana tulisan Madinah.

"Tapi kayak ada yang aneh, ya," gumam Nisa.

"Entah deh, ngurusin banget." Albania mulai membuka kitab dan buku tulis yang digunakan sebagai catatan untuk menulis keterangan-keterangan yang disampaikan sang ustazah nanti.

Sesungguhnya ia masih memikirkan arti tatapan Madinah padanya. Mengapa tiba-tiba? Pasalnya dia tak pernah berbuat kesalahan akhir-akhir ini. Bahkan entah sudah beberapa jam mereka tak bertemu karena selain beda kamar, kerapkali hanya ngaji lah yang mempersatukan. Buru-buru Albania membuang pikiran anehnya saat sang ustazah mulai memasuki kelas dan kalamun qadim mulai terdengar. Ia tak mau memikirkan sesuatu yang tidak jelas dan Madinah sekalipun tak pernah masuk dalam list yang harus diprioritaskan untuk dipahami. Pagi ini dia akan fokus memberi makna pada kitabnya yang masih kosong, lalu mencatat banyak hal penting kemudian.

🍁🍁

"Eh tahu nggak, Mbak Madinah sama Kang Asyas putus katanya," ucap salah seorang santri saat Albania tengah piket halaman depan kantor.

Nisa yang sedang menyapu di sebelah, menoleh. Mereka menggeleng, mencoba memastikan kembali perkataan mereka.

"Emang aslinya mereka bener pacaran ya?" tanya salah satu dari mereka.

Albania yang berdiri tiga meter dari mereka itu sebenarnya ingin segera bergabung untuk melakukan kegiatan maha dahsyat yang sering dilakukan teman-temannya. Mencari data lalu memastikan kebenarannya kemudian. Namun, pohon sawo yang berada di dekatnya menahan agar ia tetap di sana. Sinar mentari pagi yang sebenarnya kurang Albania sukai karena ia tak suka panas, telah bersinar dan ia berusaha melindungi dirinya dari cahaya itu.

"Nggak tahu juga sih. Mbak Madinah kalau ditanya cuma bilang hanya dekat. Tapi, kan, Kang Asyas udah janji mau nikahin Mbak Madinah dan mereka juga katanya sering ketemu diem-diem, ya apalagi kalau bukan pacaran? Ta'arufan? Mana ada ta'arufan tanpa pihak ketiga," balas salah satu dari mereka.

"Terus kamu tahu kabar itu dari mana?"

"Aku denger dari Kang Diki waktu subuhan ke dapur ambil air panas."

"Eh, aku nggak niat ghibah nih, ya, tapi emang Kang Asyas nggak pantas buat Mbak Madinah. Kasian Mbak Madinah-nya, Kang Asyas kan sering ngelanggar gitu," ucap salah satu lagi dari mereka. "Nggak niat ghibah" sesungguhnya adalah muqadimah dari perghibahan itu sendiri.

Albania menelan saliva. Dinding asrama memang seakan memiliki mulut. Gosip sangat cepat menyebar di sini. Sesungguhnya Albania ingin mengonfirmasi tentang kebenaran berita itu tetapi dia cukup yakin bahwa yang digosipkan mereka valid terlebih didukung oleh tatapan Madinah padanya pagi tadi. Namun, kenapa Madinah seolah menatapnya penuh kebencian? Apakah ada sangkut pautnya dengan Albania? Ah, kenapa juga ia harus memikirkan sesuatu yang tidak penting. Toh bila itu karenanya bukankah ia sudah melakukan hal benar karena telah berhasil memutuskan hubungan yang tidak halal? Namun ia yakin sekali, kandasnya hubungan mereka bukan karenanya karena dia tak pernah ikut campur kecuali hanya berusaha mendekati Asyas dan itu dilakukan karena ia tak memiliki kegiatan lain.

"Aku mau ke kamar duluan, ya," pamit Albania sembari meletakkan sapu lidi di bawah pohon sawo dengan asal.

Perempuan itu mulai masuk ke komplek, hendak menuju kamar. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti saat mendapati dua orang santri yang sekamar dengan Madinah tengah jalan terburu-buru sembari membawa kresek putih yang berisi obat.

"Mbak," panggil Albania pada santri yang tidak diketahui namanya itu.

Dia menoleh. "Ada apa ya, Mbak? Saya buru-buru."

"Di kamar ada yang sakit? Siapa?" tanya Albania.

"Mbak Madinah. Udah dulu ya, Mbak. Saya harus cepat ke kamar." Dia pamit

"Oke, makasih." Albania terbengong sebentar. Jadi, benar mereka memang telah mengakhiri segalanya. Namun apa alasannya? Dan sekarang Madinah sakit karena perpisahan itukah? Apa yang Asyas katakan pada perempuan yang lembut itu hingga berhasil mengoyakkan jiwa halusnya. Laki-laki kerapkali bertindak demikian. Menyaksikan perpisahan ini, Albania menjadi ingat ayahnya. Laki-laki kerapkali pergi tanpa alasan dan ia semakin membenci segala hal yang berkaitan dengannya.

Mereka kerpakali mencari dalih untuk membenarkan perbuatannya yang salah dan merugikan pihak lain tanpa pernah merasa berdosa. Hingga saat ini, selain pada Purnama Nadwah-nya Albania tak pernah menaruh rasa. Itu adalah yang mustahil. Kepergian, patah hati, kekecewaan, telah menjadikannya sebagai perempuan yang tak mau lagi mengenal cinta terhadap yang fana. Semua akan sirna lebur bersama masa yang menjemputnya dalam tepian ketidakpastian dan ketidakjelasan kehidupan.


Update 😊

Bila ada kesalahan, sila sampaikan dengan baik. Jangan lupa untuk tinggalkan vote dan komentarnya, manteman ^^

Bila ada kesalahan, sampaikan dengan baik.

Salam

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro