Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 25 || Jakarta Pagi Hari

Adalah sebuah kemustahilan ketika manusia hidup tanpa memiliki harapan.

Selepas bertukar cerita tentang banyak hal yang menyangkut Albania dan perjalanannya, Gus Nabil dan Ning Ayas langsung pamit. Ibu Albania pun mengucapkan banyak terima kasih pada mereka berdua karena telah membebaskan biaya hidup Albania dan telah menjaganya saat di pesantren.

Albania keluar setelah pamit dengan sang kakek dan mama. Ia berjanji akan belajar dengan benar dan mencari beasiswa untuk tahun sekarang. Demi orang-orang yang peduli padanya. Agar mereka tersenyum ketika melihat keinginan tercapai. Ia telah melepas harapan, tetapi sang ibu dan kakek selalu percaya diri bahwa Albania mampu dan ia hanya akan mengabulkan harapan mereka.

"Gus Nabil sebenarnya mau ke mana?" tanya Albania ketika mereka bertiga keluar dari gubuk kakeknya. Pasalnya tadi itu pasangan tersebut seperti hendak pergi.

"Mau jalan pagi. Tapi sekarang mau pulang. Barangkali Ayas mau istirahat," jawab Gus Nabil.

"Emang Gus Nabil mau ke mana? Aku nggak papa ikut. Aku pengen jalan-jalan juga. Pengen beli martabak di deket taman kota itu," kata Ning Ayas.

"Albania ikut, yuk," ajak Ning Ayas.

Albania tertawa kecil. "Ah, sepertinya saya harus balik ke asrama, Ning. Mau istirahat dan persiapan ngaji siang juga," tolaknya lembut. Sebenarnya dia ingin ikut tetapi hati kecil menolak mengganggu keromantisan pasangan muda tersebut. Dia tak bisa membayangkan bila nanti menjadi obat nyamuk di antara mereka.

"Ya sudah, ayo jalan ke depan nanti segera balik ke asrama," ajak Gus Nabil.

Mereka bertiga berjalan menjauhi rumah tersebut, menuju jalan raya Jakarta yang belum terlalu padat. Masih ada sekat di antara satu kendara dengan kendara lain. Sepertinya udara pagi ini masih terlihat aman untuk berjalan kaki.

Tepat di tepian jalan, mereka melihat seorang santri putra bercelana training serta berkaus pendek hitam. Laki-laki bermata sipit itu berjalan dengan tatapan fokus ke depan.

"Al!" panggil Nabil.

Sang empunya nama menoleh. "Gus Nabil."

"Kamu mau ke mana?" tanya Gus Nabil ketika berdiri di depan laki-laki itu.

"Mau jalan ke depan sebentar, Gus. Sudah izin sama bagian pengasuhan."

"Ayo ikut kami. Albania juga," putus Gus Nabil.

"Hah? Nggak bisa, Gus. Saya mau mandi dan-"

"Sebentar. Ada Al kok."

Setelah sedikit berpikir, akhirnya Albania mengiyakan juga. Asyas menatap datar perempuan itu lalu berjalan di sebelah Albania dengan memberi jarak sekitar setengah meter. Di depannya sang Gus dan Ning tak pernah sekalipun lepas bergandengan.

"Kamu bilang Gus Nabil kalau suaraku enak, ya?" bisik Albania pada laki-laki di sebelahnya. Ingin sekali menjitak kepala Asyas, tapi digugurkan karena tak mungkin melakukannya ketika berada di dekat sang Gus.

Asyas melirik sekilas, lalu kembali menatap jalanan. "Keceplosan."

"Kapan kamu denger aku nyanyi sampai bisa memfitnah begitu?" cecar Albania dengan suara yang masih tertahan.

"Nggak pernah, emang hobi aja fitnah lo."

"Dih dasar."

"Tapi kan lo suka bisa ketemu Kafa lo."

"Mimpi buruk."

"Cie patah hati."

"Nggak usah ngeledek."

Asyas lalu tak menanggapi kembali ocehan perempuan di sebelahnya. Sejak tadi laki-laki itu sedang berusaha mengerti tentang maunya. Sejak malam di Nadwatul Ummah menyaksikan perpisahan Albania dan Kafa yang kembali terulang seperti ada sebuah frasa yang masuk tanpa izin memenuhi segala rongga jiwa. Dia mendobrak tanpa izin dan berhasil membuat rasanya tak beraturan dan berantakan.

Sesungguhnya apa yang Asyas inginkan dari banyak hal yang telah terjadi. Tentang Madinah yang sesungguhnya belum ia pelajari kedalaman samuderanya dan tentang Albania yang berhasil merusak tembok pertahanannya untuk tak pernah jatuh cinta.

Setelah beberapa menit sampai di taman yang tak terlalu ramai, Albania langsung menjauh dari mereka. Bunga-bunga terhampar berwarna-warni, kursi-kursi berderet sedangkan ada banyak pohon tumbuh yang tidak banyak diketahui namanya. Albania berjalan ke arah gerobak bakso yang berada di jalan setapak taman. Segera saja mendekat dan membeli makanan tersebut. Sesungguhnya sejak keluar dari travel dia belum sempat sarapan.

Dari kejauhan, diperhatikannya Asyas yang duduk di dekat Gus Nabil dan Ning Ayas di kursi taman. Mereka tampak berbincang. Sedang Albania tak lagi peduli, ia lebih memedulikan perutnya daripada mereka. Sesekali gadis itu mengajak berbicara penjual tersebut.

"Gus, Albania itu pinter banget nutupin masalahnya, ya? Bahkan aku nggak sekuat dia." Asyas yang sedang mengunyah keripik kentang mendengar ucapan Ning Ayas yang ditunjukkan untuk Gus Nabil.

Remaja itu memandang Albania dari jarak sekitar 40 meter. Dia tampak duduk di kursi memakan baksonya bersama anak kecil laki-laki berusia sekitar 5 tahun yang kemudian mengajaknya bercanda.

"Menurut siapa?" tanya Gus Nabil.

"Aku. Tentu Gus Nabil tahu bagaimana keadaanku waktu pertama bertemu." Ning Ayas mengunyah martabak manis kesukaannya yang barusan dibeli dari penjual yang biasa menjajakkan makanan di dekat taman.

"Aku sudah beberapa kali bilang padamu bahwa aku nggak suka saat kamu membandingkan dirimu dengan orang lain. Dari setiap kita memiliki kadar dalam menerima ujian. Aku, kamu, Albania, siapa pun bukankah ujian kita nggak pernah sama? Hanya saja kerapkali kita harus bersyukur karena bagaimana pun, di luar sana ada banyak yang tidak seberuntung kita."

Wanita itu tampak tersenyum. Asyas jelas masih mendengar percakapan manis itu. Ingin rasanya bertanya pada pasangan itu kenapa mereka sangat menyayangi Albania, tetapi keripik kentang jauh lebih menggoda. Barangkali dia akan bertanya setelah menghabiskan makanannya.

"Aku suka cara Albania menyikapi semuanya. Dia itu berbeda," komentar Ning Ayas. "Ah, Gus, aku pengen ajak Albania ngobrol di sana, ya. Tapi nanti Gus Nabil jangan pulang duluan. Aku nggak mau ditinggal." Ayas berdiri.

Gus Nabil tersenyum. "Nggak akan."

Asyas memperhatikan kepergian istri sang Gus-nya sekilas, lalu kembali memperhatikan hamparan bunga di depan. Sesekali kedua matanya mengarah pada Albania yang selalu berhasil menyembunyikan probelmatika. Bukankah seharusnya pikiran dia masih kacau karena malam di Nadwatul Ummah kemarin? Bukankah kosa kata perpisahan selalu berhasil membuat hati manusia terkoyak saat tengah mempraktikannya?

Gus Nabil mengeluarkan korek dan rokok dari saku celana training, lalu mulai menyalakan ujung rokok dan diselipkan di antara bibir merahnya kemudian.

"Gus Nabil itu kenapa peduli sekali pada Albania? Sejauh saya memperhatikan, Gus Nabil sepertinya respect sekali pada anak itu," tanya Asyas akhirnya. Dia mengunyah kripik kentang terakhirnya, lalu memasukkan bungkus tersebut pada kantong plastik yang akan dibuangnya saat pulang nanti.

"Pertama kali saya bertemu Albania datang sendirian ke ma'had itu saya mengingat waktu pertama kali saya bertemu istri saya. Mereka sama-sama tak memiliki siapa pun, sama-sama tak tahu harus ke mana, sama-sama tak mengerti tujuan. Hanya saja dalam diri Ayas masih ada cita-cita sedangkan Albania telah mengosongkan semuanya.

"Saya ingat kolom cita-cita dia tak ditulis ketika mengisi form pendaftaran, katanya dia tak lagi memiliki mimpi. Dia hanya akan berjalan sebagaimana mau semesta. Tapi sesungguhnya saya melihat ada banyak harapan yang ingin dia wujudkan. Manusia mustahil menjalani kehidupan di dunia ini tanpa memegang harapan, hanya saja dia menyamarkan keinginannya agar tak kecewa saat pada akhirnya impian itu kandas tak terijabah semesta.

"Albania bahkan pintar memanipulasi emosi dan saya melihat itu pada istri saya ketika saya hendak menikahi perempuan dan itu bukan dia. Bagaimana mungkin dia nekat akan menyaksikan akad seseorang yang dicintainya dengan sahabatnya sendiri.

"Perempuan itu kadang hanya dapat dipahami saat kita telah masuk dalam kehidupannya, Al. Mereka bukan hal rumit seperti yang kamu pikirkan, mereka kerapkali terlahir dari pusi-puisi yang kamu buat. Jika kamu tak pernah belajar untuk memahaminya sekali, maka kau tak akan pernah paham selamanya."

Asyas merenung. Dia tak memberi bantahan sedikit pun untuk laki-laki di sebelahnya. Setelah mengetahui segala alasan Gus-nya mengapa peduli pada Albania, dia hanya cukup menyetujui segala hal yang dikatakan gurunya. Barangkali benar sesungguhnya Albania masih memegang banyak harapan, begitu pun dia. Namun apa? Ia kerapkali tak mengerti tentang semua yang dilakukan. Kerapkali tak paham dengan skenario yang cukup merumitkan.

Barangkali mulai sekarang dia harus memutuskan tentang banyak ketidakjelasan dan memulai segala hal dari awal, sebelum terlambat. Toh ia hanya beberapa bulan lagi berada di Umar bin Khattab lalu melanjutkan kuliahnya di negeri yang dia dambakan. Di mana keadamaian berpusat di sana.

Albania dan Ning Ayas tampak bergandengan tangan menuju ke arah mereka. Semesta seakan tengah menampilkan dua wanita kuat, dua wanita yang dilahirkan dari bait-bait puisi yang bertemakan rindu.

"Gus, ayo pulang," ajak Ayas.

"Eh, Ning tapi kalau mau pulang duluan aja, ya. Saya mau izin beli gorengan dulu." Albania melepas gandengan tangan Ning Ayas.

"Ngurusin perut terus," komentar Asyas.

"Ya karena makanan itu nomor satu."

"Otak kali yang nomor satu," debat Asyas.

"Otak itu nomor dua."

"Hah?"

"Iya lah, kalau punya otak, kan, harus mikir dan aku males mikir. Jangan debat lagi, kalau mau ikut tinggal ikut. Aku masih laper," oceh Albania.

"Silakan beli, kami tungguin. Asrama mau ada kumpulan," ucap Gus Nabil yang masih menyesap rokoknya.

Albania menjulurkan lidahnya ke arah Asyas, sebelum akhirnya dia kembali pergi menuju gerobak gorengan yang tak jauh dari tukang bakso tadi. Ah, sebenarnya ia tak mau ditunggu. Ia ingin berlama-lama di taman ini, setidaknya sampai ia tak mengingat lagi obrolan-obrolan bersama Gus-nya saat di rumah kakek. Jujur, ia rindu ayahnya. Ia rindu kehadiran pria itu. Andai perceraian di antara mama dan papanya tak pernah terjadi, barangkali Albania mengerti arti dari sebuah pelukan dan kasih sayang yang tak pernah didapatkan.

Ah, katanya keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia tetapi nyatanya hanya pihak-pihak tertentu saja yang merasakan. Keadilan kerapkali tak berlaku untuk semua umat manusia. Keadilan seperti barang mahal yang kerapkali hanya didapat oleh pihak-pihak tertentu saja.

Apdet!! 💚

Bila ada kesalahan, sila sampaikan dengan baik. Jangan lupa tinggalkan vote dan komentarnya, manteman. Luv 💙

Sebelum lanjut, nggak ada rasa pengen follow dulu, Gan?

Btw mau nanya, di sini ada yang punya noveltoon nggak?

Salam

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro