Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 24 || Sepatah Kata

Pada fajar yang terbit di langit Jakarta, harapan kerapkali hadir bersama ijabah yang tak senada.

Jarum jam tepat menunjuk pukul 06.00, para santri barangkali masih berada di kelas-kelas. Albania yang baru saja turun dari travel langsung menuju asrama untuk menemui teman-temannya. Seraya membawa bakpia khas Jogja, ia melangkah pasti sembari memamerkan senyum di sepanjang asrama. Bagaimana pun situasinya, dia harus mampu menyimpan kesedihan kemarin. Ia harus bangkit. Ia tahu Allah bersama hamba-hamba-Nya yang terluka. Semua yang fana pasti akan sirna.

Anak Ulya di kamarnya barangkali sudah pulang dari kelas-kelas. Pasalnya hari ini jadwal setoran Alfiyah dan sejak dua hari lalu, ustazah sedang izin pulang kampung. Entah bila ada pengganti.

"Assalamualaikum," ucap Albania ketika melangkahkan kaki ke dalam kamar.

"Waalaikumussalam," sahut para santri putri dari dalam.

"Wih, artis dateng!" ucap salah satu dari mereka.

"Bawa oleh-oleh apa, Na?"

"Bawa makanan pasti."

"Aku bawa Bakpia, Nih." Albania meletakkan totebag berisi tiga kotak bakpia pada teman-teman kamarnya yang berisi lima belas orang. Mereka langsung membuat lingkaran dan makan bersama kemudian.

"Eh, Gus Nabil ikutan balik lagi ke sini nggak?" tanya Nisa sembari mengunyah bakpia-nya.

Albania yang baru saja duduk di depan lemari hendak membuka pintu, menoleh. Dia mengangguk cepat. "Kebetulan, Ning Ayas udah libur sejak dua hari yang lalu jadi mereka berdua balik ke sini."

"Wah, Ning Ayas udah datang ternyata."

Albania membuka pintu lemari. Ia memasukkan box yang masih berisi banyak susu di rak paling bawah. Beberapa baju kotor yang tadi dibingkus dalam plastik akan dipindah ke ember setelah nanti mendapat semangat untuk mencuci.

"Eh cerita dong, Na, di sana gimana?"

"Wuh seru banget dong. Di sana bertepatan sama Pensi jadi kita lihat pensi dulu. Pokoknya seru. Dan asal kalian tahu, Gus Nabil sama istrinya duet bareng di atas panggung."

"Hah? Yakin? Astaga. Pengen lihat juga."

"Banyak loh asatiz dan ustazah yang videoin. Ntar juga kesebar. Atau nanti lihat di channel pesantrennya aja. Barangkali aja ada yang upload."

"Astaga emang kita bawa hp."

"Ya kan nanti bisa numpang sama ustazah sini."

Setelah sedikit cerita-cerita perihal Nadwatul Ummah dan segala apa yang dilakukan selama di Jogja, gadis itu membawa totebag berbahan katun yang berisi beberapa makanan yang ia bawa dari Jogja. Gadis itu keluar kamar, memakai sandal lantas berjalan menuju keluar asrama.

Entah sudah beberapa hari ia tak mengunjungi kediaman sang ibu. Ia rindu dengan senyum kakek dan kesabaran sang nenek. Rindu cerita-cerita mereka dan tawa bersama keluarga kecil itu. Karena hari ini ia tak memiliki kegiatan berarti karena dipinta istirahat oleh Gus Ismail dan Umi Hanin, maka lebih baik ia gunakan waktu istirahatnya untuk mendatangi rumah ibu.

Gadis itu berhenti di depan pos asrama pesantren ketika melihat dua santri putra yang sedang menjaga di sana. Sebenarnya ia ingin lewat jalur belakang saja, tetapi tidak mungkin. Ketika pagi begini jalur belakang asrama sudah tak aman.

"Kak, saya boleh izin keluar sebentar?" tanya Albania pada santri putra itu.

"Izin sama keamanan putri, Kak. Setelah bawa surat izinnya baru akan kami perbolehkan keluar," jawab salah satu dari mereka.

Ribet banget. Batin Albania.

Dia menoleh ke kantor, mencari cara agar bisa keluar tanpa harus izin pada pengurus. Ia yakin sekali bagian keamanan akan memberi banyak pertanyaan dan batas waktu keluar bila harus izin terlebih dahulu dan ia tak suka dengan peraturan tersebut. Dia hanya ingin keluar tanpa diikat oleh waktu untuk cepat-cepat pulang ke asrama.

"Albania!" panggil sebuah suara.

Albania langsung menoleh ke arah pintu gerbang mencaritahu asal suara yang memanggilnya. Lantas, kedua bibir tipisnya mengembang ketika mendapati pria lansia yang berjalan ke arahnya sembari memakai sarung hijau kotak-kotak dan kaus putih polos.

"Kakek," seru Albania sembari mendekat ke arah Rasyid. Gadis itu langsung menyalami tangan keriput tersebut dan menggandengnya kemudian.

"Kemarin kakek ke sini, tapi katanya kamu pergi sama keluarga Kyai ke Jogja. Ada apa di sana?" tanya Rasyid.

"Ah, Alban cuma nemenin Umi Hanin, Kek. Kakek, Alban mau ketemu mama. Izinin sama bagian keamanan, ya," bisik Albania.

"Buat apa? Sudah nggak usah. Kamu belajar saja yang benar. Mamamu baik-baik saja."

"Bentar aja, Kek," rengek Albania. Sungguh, ia ingin memandang wajah surganya. Ingin memandang wajah teduh seseorang yang telah melahirkan dirinya. Meski hanya satu menit pun, itu sudah sangat berarti.

"Albania," sapa seseorang.

Albania menoleh. Dia mendapati perempuan berabaya cokelat muda serta berjilbab hitam yang entah sejak kapan berdiri di belakangnya. Perempuan itu tampak tersenyum ke arah Kakek Albania, dan Albania menatap istri Gusnya itu.

"Ning Ayas, Alban izin keluar sebentar, ya. Alban pengen lihat mama," ucap Albania tak menghiraukan ucapan Ning-nya.

"Maksudnya, mau pulang?" tanyanya.

Albania menggeleng. "Nggak. Rumah mama saya di dekat sini. Abis itu Alban balik lagi. Bentar." Albania memohon.

"Sayang, dompetku udah dibawa?" Seorang laki-laki yang baru saja keluar dari kantor bertanya. Dia yang baru saja memakai sandal tampak terkejut melihat ketiga orang di depan pos asrama yang tak jauh dari kantor.

"Udah kubawa. Gus, Albania mau izin keluar," jawab Ning Ayas.

Gus Nabil langsung mendekat. Dia tersenyum, menyalami Kakek Albania lembut. "Bapak, monggo duduk di kantor," ucap Gus Nabil lembut.

"Tidak perlu, Gus. Terima kasih. Ini sudah mau pulang," kata sang Kakek.

"Albania mau pulang?" tanya Gus Nabil.

"Tidak, Gus. Saya mau bertemu mama sebentar. Rumahnya dekat sini. Saya janji nanti balik asrama lagi sebelum ngaji siang," jelas Albania.

"Mama?" Gus Nabil tampak tak paham dan Albania mengerti. Ketika awal pendafatran dia datang sendirian dan tak mengenalkan satu pun orang tuanya pada Gus Nabil. Albania mengatakan bahwa ia tak memiliki ayah dan ibunya tak bisa bertanggung jawab lebih untuk kehidupannya.

"Iya. Alban masih punya mama," ucap Albania.

"Kalau begitu, saya boleh ikut ke rumahmu? Bapak, apakah saya boleh ikut ke sana?" tanya Gus Nabil pada Kakek Albania.

"Gus, ngapunten tapi rumah kami nggak layak untuk dihampiri njenengan. Rumah kami gubuk dan kami sangat seneng bila Gus Nabil memang tak keberatan untuk menginjakkan kakinya di gubuk kami. Itu adalah suatu kehormatan," jawab Rasyid berkaca-kaca.

"Nggeh, tidak masalah, Pak. Monggo kita keluar," ajak Gus Nabil.

Kakek Albania tampak sungkan berjalan di depan putra dari seseorang yang sangat dihormati, tetapi karena Gus Nabil tak mengerti jalan ke arah rumahnya, akhirnya mau tak mau tetap berjalan di depan bersama Albania. Di sepanjang jalan Albania terus berpikir kenapa Gus dan Ning-nya itu mau mengunjungi rumahnya. Apakah beliau tak percaya bahwa Albania akan cepat kembali asrama? Ah, sudahlah. Ia tak mau memikirkan apa pun. Ia hanya ingin bertemu ibunya saja.

🍁🍁

Di dalam rumah yang sangat sederhana, Gus Nabil dan Ning Ayas duduk di dalam ruang tamu bersama kakek, dan ibu Albania.

Di dapur, Albania membuat kopi hitam untuk Gus dan Ning-nya. Rumah mereka tak memiliki banyak camilan untuk tamu kecuali singkong rebus yang kemarin nenek buat. Barusan sekali wanita 55 tahun itu keluar untuk membeli makanan ringan yang lebih layak dimakan Gus Muda itu.

"Na, ini kasihkan pada ustazmu," ucap Nenek yang baru saja masuk dari pintu belakang membawa seplastik makanan ringan dan roti lapis yang entah dapat dari mana.

"Makasih, Nek." Albania mengambil nampan dari rak. Menaruh dua gelas kopi dan banyak makanan untuk Gus-nya. Detik berikutnya ia membawa makanan itu menuju ruang tamu.

Albania tersenyum sembari menaruh dua gelas kopi di atas meja. Roti lapis, pie susu dan makanan ringan pun tersedia di sana. Bahkan nenek sengaja membeli apel dan pear yang disediakan di atas meja.

"Jadi, benar Albania daftar ke pondok sendirian?" tanya sang Kakek. Albania kemudian duduk di samping laki-laki tua itu. Barangkali dia terkejut dengan banyak cerita-cerita yang disampaikan dari Gus Nabil padanya.

"Saya kira Albania benar-benar sudah tak memiliki siapa pun," ucap Gus Nabil.

"Saya tinggal bersama tante saya, Gus. Padanya saya panggil dia ibu. Dia ingin menjodohkan saya dengan seseorang yang saya tidak kenal. Tapi untunglah saya bertemu Asyas dan dia menolong saya keluar dari rumah ibu Nia.

"Selama saya tinggal di sana, ibu Nia tak pernah mengizinkan saya untuk menemui mama. Karena jarak dari rumah ibu Nia dan rumah mama memang lumayan jauh, dan saya sering tak punya ongkos, akhirnya saya hanya menghabiskan waktu di perpustakaan. Saya kira cuma di sanalah tempat yang paling nyaman.

"Selama Gap Year itu apa yang kamu lakukan selain di perpus?" tanya Gus Nabil. Dia meraih gelas kopi lalu menyesapnya sedikit demi sedikit. Terlihat sekali bahwa beliau sangat humble dan peduli pada Albania. Santri ayahnya.

"Mendaftar di beberapa universitas timur tengah, tapi setelah lulus saya tak pernah mengambilnya." Albania tersenyum pahit.

Dia mengingat bagaimana saat mengikuti tes di Mesir tahun lalu. Namanya berada pada urutan ke 301 sebagai siswi yang lolos jalur kemenag. Namun, ia tak memiliki cukup uang untuk biaya penerbangan. Andai dia masuk dalam jajaran beasiswa, barangkali akan diambil. Namun nahas, dia melepas impiannya. Dia pernah hendak ikut seleksi melalui salah satu Organisasi Islam yang setiap tahun memberi kesempatan pada 30 santri anggota Organisasi tersebut untuk kuliah di Mesir dengan jalur beasiswa, tetapi beberapa saat sebelum tes, ibu Nia menguncinya di kamar dan dia kembali menggugurkan impian.

Beberapa bulan setelah itu, kembali dibuka pendaftaran ke Yaman. Dia mendaftar. Namanya lolos tetapi lagi-lagi ia tak memiliki biaya penerbangan hingga akhirnya impian demi impian kandas. Ia kehilangan banyak kesempatan yang ditawarkan semesta tetapi semesta pula yang mematahkan semuanya.

Hingga saat itu ia sadar, bahwa sesungguhnya ia membutuhkan kehadiran sang ayah. Ia membutuhkan laki-laki itu. Ia membutuhkan pendukung, membutuhkan bantuan karena sesungguhnya Albania belum benar-benar mampu berjalan sendirian. Ia hanya gadis 18 tahun yang berharap doa-doanya diijabah tetapi ia paham bahwa tidak setiap yang diinginkan memiliki kesempatan untuk dikabulkan.

Dan semuanya, ia ceritakan pada Gus dan Ning di depannya dengan raut wajah yang ceria seperti biasa. Bibirnya terus memberikan cetak bulan sabit yang tak pernah padam. Ia tak mau orang lain memberinya belas kasihan. Ia tak mau dikasihani oleh manusia. Bukankah Allah adalah sebaik-baik tempat berharap, berdoa dan meminta. Kepada-Nya, Albania tak pernah kecewa.

"Apa kamu tidak mengajukan proposal bantuan pada badan penyelenggara beasiswa?" tanya Gus Nabil.

Albania menggeleng. "Waktu itu saya tak mempunyai banyak info. Tidak ada sesiapa pun alumni atau mahasiswa dari Universitas tersebut yang saya kenal untuk ditanyai. Dan masalah terbesarnya saya hanya fokus pada ayah. Hingga akhirnya, semua sudah terlambat dan ayah tak pernah peduli."

"Sebenarnya saya bisa meminta bantuan pesantren, tapi saya tidak mau. Barangkali tahun sekarang atau kapan ada kesempatan lain. Lagian saya tidak terlalu berambisi untuk kuliah di luar negeri. Bagi saya di mana pun instansinya, tugas saya hanya perlu menjadi manusia. Instansi besar dan terkenal bukankah tetap saja tak menjamin akhlak mahasiswanya?" Albania tersenyum. Dia ingin mengakhiri obrolan yang menyedihkan ini. Namun, ia tak tahu harus melakukan penutupan semacam apa.

Gus Nabil tampak tersenyum kecil, sedang Ning Ayas terlihat tengah memikirkan banyak hal. Dan Albania? Dia terdiam. Tak ada kata-kata lagi yang ingin disampaikan. Cerita pagi ini telah usai dan tentang alasan mengapa ia harus tinggal bersama sang tante, apalagi kalau bukan karena perekonomian sang mama yang sulit. Ibu Nia sanggup dititipi Albania dan pada akhirnya semua berakhir tak sesuai rencana. Asa banyak hal yang telah Albania lewati dan biarkan segala menjadi cerita yang telah dituntaskan setiap episode-nya.

Sejak masuk ke pesantren Umar Bin Khattab, dia telah memasuki kehidupan baru dan ia hanya berusaha membuang segala hal pahit yang pernah diterimanya. Ia yakin Allah selalu bersama-Nya. Menemaninya disaat yang lain tengah menjauh.


Apdet 💙

Masih ada yang bangun? Wkwk malem banget, ya. Gapapa ^^

Bila ada kesalahan sila sampaikan dengan baik. Jangan lupa tinggalkan vote dan komentarnya ^^

Salam🍁

Malang, 29 Maret 2020


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro