Bab 23 || PENSI (2)
Namun, pada akhirnya musim bersamamu telah berlalu. Aku terlalu madhi untukmu yang mudhari'
Tak ada yang mengetahui tentang sebuah rasa yang tersimpan dalam palung terdalam, kecuali Dzat yang telah menciptakan semesta dengan segala isi yang memiliki milyaran rupa.
Begitupun tentang perasaan yang telah lalu. Tentang perasaan yang telah lama tak dikunjungi, tak pernah diziarahi. Entah telah mengering atau pun sama seperti dulu, ia tak tahu. Baginya yang fana memang kerapkali tak dapat dipercaya.
"Albania!" Sebuah panggilan menghentikan langkah kecil gadis berabaya merah maroon itu.
Di samping masjid pusat Nadwatul Ummah, jantung Albania berdebar tak karuan. Ia merasakan detak yang tak biasa. Debar syahdu yang tak telah lama hilang kini kembali muncul dengan seenaknya. Merenggut ketenangan dan menggantinya dengan cemas yang berlebihan. Ia cemas. Ia cemas bila ia harus kembali benar-benar tak mampu melupakan purnamanya.
"Berbaliklah! Aku ingin melihatmu untuk yang terakhir kalinya. Apa kamu tak mau mengucapkan selamat jalan padaku sebelum aku pergi?" tanya Kafa dengan suara lembutnya yang khas.
Perlahan, Albania berbalik. Ia mendongak pada laki-laki yang 15 sentimeter lebih tinggi dari tubuhnya. Kedua mata yang terbalut kaca bening itu bertatapan dengan kedua mata hazel milik laki-laki berhidung mancung di depannya. Pandangan itu seolah saling berkomunikasi meski sang tuan tak mengerti bahasa semesta.
Beberapa detik kemudian, Kafa mengalihkan pandangannya menuju panggung Pensi yang dapat dilihat dari jarak 50 meter, lalu kembali memandang Albania.
"Gimana kabarmu? Kenapa lari ketika semesta menghendaki bertemu? Bukankah seharusnya kamu bersikap biasa saja. Semua sudah berakhir katamu. Semua sudah usai. Episode yang telah kita lalui telah mencapai endingnya. Ending yang bahagia menurutmu.
"Bukankah kamu yang menyuruhku pergi? Kamu yang mengatakan bahwa kamu tak membutuhkanku lagi? Aku sudah pergi. Aku sudah menuruti kemauanmu dan untuk kali ini tolong jangan menghindar. Bukankah ini ijabah dari doa-doa yang kau panjatkan?
"Aku tak akan mengganggumu lagi. Aku sudah memiliki badal. Isim domir yang menjadi penggantimu telah datang dan aku harap kamu bahagia dengan semua yang kamu tata. Kamu bahagia dengan keputusan-keputusan sepihakmu." Kafa menghentikan ucapannya.
Perih. Ada rasa sesak yang tiba-tiba memasuki dada Albania. Sedikit pun, Kafa tak pernah berbicara sekejam ini. Albania telah kehilangan Purnama lembutnya. Sinar bulan itu barangkali telah tenggelam oleh mendung yang menggelapkan. Ingin rasanya dia berlari dan menangis di pojokan kamar, tetapi bukannya ia harus berpura-pura kuat menghadapi semua ini. Segala yang terjadi adalah salahnya dan ia bukan Tuhan yang mampu membalikan waktu. Ia bukan Tuhan yang dapat bertindak sesuai Kun fayakun-Nya.
"Kamu tak perlu mengkhawatirkanku. Aku baik-baik saja," suara Albania bergetar. Ia menunduk. Air matanya menetes. Semenjak kapan ia mulai menangis? Bahkan dengan segala penderitaan yang dilalui tak sedikit pun ia rela membagi air mata untuk semesta. Ia tak pernah lagi menangis sejak kepergian sang ayah. Terakhir kali dia rela menjatuhkan kristal beningnya, ketika dia mengungkap kebohongan pada purnamanya. Mengungkap kalimat-kalimat perpisahan yang menyakiti dirinya sendiri.
"Syukurlah kalau kau baik-baik saja. Kelak, aku hanya ingin kamu tahu, entah beberapa tahun kemudian kau akan sadar bahwa dulu kau pernah memiliki kekasih yang hebat. Kau pernah memiliki kekasih yang peduli dan menyukaimu lebih dari dirinya sendiri, kau pernah memiliki kekasih yang sesungguhnya tak pernah ingin kehilanganmu.
"Aku tak pernah tahu, kamu pernah menyesal atau tidak. Tapi seenggaknya dari kamu aku tahu bahwa tidak semua yang kuanggap baik memang benar-benar baik.
"Kamu tahu, kata Rumi, Tuhan membolak-balikkan perasaanmu dan mengajari hal-hal yang bertolak belakang agar kau punya dua sayap untum terbang, bukan hanya satu.
"Aku harap dua sayap itu cepat tumbuh, agar aku bisa pergi dan menjauhi semua kenangan-kenangan di masa lalu. Aku rasa, aku tak akan pernah membutuhkannya lagi. Biarkan semua pergi sesuai maumu. Biarkan semuanya hilang, bahkan bila saat ini Tuhan mencabut ingatanku pada yang telah lalu, aku telah bersiap untuk itu."
Albania mendongak sekali lagi. Apa yang Kafa katakan padanya. Kenapa suaranya yang lembut melahirkan perkataan yang sangat jahat untuknya. Kenapa dia harus mendengar perkataan kejam itu dari seseorang yang masih sangat dicintainya.
"Lo ngomong apa sih, Fa?" Tiba-tiba seorang laki-laki bersarung cokelat serta berkaus hitam berdiri di samping Albania. Di depan Kafa. Suara mereka samar-samar karena terkalahkan oleh dentum dari panggung sana.
"Ngomong semua yang mau gue katakan sama dia," jawab Kafa.
"Tapi nggak segitunya juga. Cewek lo nangis nggak peduli," cecar Asyas.
"Ngapain ikut campur?" tanya Kafa.
"Sejak kapan sih, lo, kayak gini? Lagian bukannya gue mau ikut campur, tapi lo harus tahu keadaan. Lo masih patah karena kejadian dua tahun lalu dan begini cara lo marah pada semesta?" cecar Asyas.
Kafa tertawa sinis. "Untuk apa marah? Bahkan gue nggak pernah menyesali semuanya. Bukannya ini sudah kehendak. Bawa tuh cewek lo pergi." Laki-laki itu berbalik lantas meninggalkan Asyas dan Albania yang masih berdiam di sana.
Albania menghapus air matanya di antara perih yang masih menggerogoti ulu hati. Ia tak tahu harus berbuat apa. Kenapa ia selalu terlihat lemah di hadapan Kafa. Kenapa ia tak bisa membantah meski hanya sebentar.
"Nggak usah pedulikan dia lagi bisa nggak, sih? Lo bisa bahagia dengan cara lo sendiri, Ban. Gue nggak tahu kalau sepupu gue kayak gitu."
Albania menggeleng cepat. "Nggak. Kafa nggak seperti itu. Kafa baik. Kafa tak pernah menyakitiku, Yas."
"Lalu tadi apa? Batu banget lo kalau diomongin. Jarang-jarang ya gue ngomongin orang, tapi karena ini menyangkut kebejatan sepupu gue, gue harus bertanggung jawab."
Albania terdiam. Ia tak mengerti lagi apa yang harus dilakukan. Ia kira pertemuan dengan Kafa akan berjalan manis atau dia memiliki harapan untuk kembali mengulang yang telah hilang, nyatanya segala hal yang dipikirkan memang kerapkali berlawanan dengan realita yang tak seirama.
"Cepet ikut gue. Lebih baik lo lihat Pensi daripada pedulikan dia," tegas Asyas.
Laki-laki itu berjalan mendekati panggung dari arah samping, disusul Albania yang berjalan di belakangnya. Bahkan mereka tak peduli lagi bila nanti ada keamanan yang tiba-tiba melihat lalu disampaikan pada Gus Ismail atau siapa pun. Albania tak memiliki teman untuk menceritakan semua. Namun, setidaknya ia memiliki seseorang yang dapat mengerti keadaan sekarang dan Asyas adalah orangnya. Setidaknya Asyas melihatkan sifat peduli meski sedikit dan Albania akan menghargai itu.
Mereka berdua menonton dari samping panggung. Di depan para penonton santri yang duduk berbaris di kursi. Namun jelas para penonton tak akan bisa melihatnya, karena di sana gelap. Lampu-lampu hanya menyala di panggung saja. Karena jumlah kursi pun memang terbatas, beberapa santri yang tak dapat duduk memang menonton dari samping panggung, atas pohon, masjid, teras kelas dan gazebo-gazebo. Bagaimana pun, mereka harus lihat penampilan malam ini.
"Penampilan selanjutnya, adalah yang paling dinanti-nantikan oleh para asatiz dan ustazah. Kira-kira siapa yang menampilkan, nih?"
"Nggak tahu," jawab mereka serempak.
"Kepada Gus Nabil dan Ning Ayas, pasangan muda dari pesantren Umar Bin Khattab yang akan menghibur kita malam ini, waktu dan tempat dipersilakan."
Albania terkejut. Ia melihat ke arah penonton. Terlihat Gus Nabil dan sang Kakak yang tengah berdebat sepertinya. Barangkali ini tiba-tiba. Pasalnya penampilan Albania pun sangat tiba-tiba.
"Favorite couple," teriak suara-suara.
"Umar Bin Khattab punya," sambut yang lain.
Gus Nabil terlihat menarik tangan sang istri, lalu dibawanya ke arah panggung. Sebelum naik, sang istri tampak enggan. Ning Ayas tampak menolak.
"Ini kerjaan Mas Hamdan pasti. Udah curiga banget tadi dia ke belakang panggung ngomong sama pembawa acara," ucap Gus Nabil yang dapat didengar oleh Albania.
Sejujurnya Albania pun ingin melabrak Asyas yang bilang pada Gus Nabil bahwa suaranya enak, tapi tidak untuk sekarang. Ia ingin menyembuhkan hatinya terlebih dahulu. Lusa atau kapan, ia pasti akan memarahi laki-laki di sebelahnya.
"Gus Nabil sendiri aja, ya," ucap Ning Ayas pada pria bersarung yang belum menginjak usia 23 tahun itu.
"Nggak bisa. Namamu dipanggil, Sayang. Ntar disangkanya aku nggak punya istri," debat Gus Nabil.
"Tapi Gus—"
"Bukannya kita sering nyanyi bareng? Kamu sering mengirim VN nyanyimu untukku? Aku suka suaramu. Jangan mendebatku. Nanti biar aku yang mendominasi," tegas laki-laki berpeci hitam itu.
Setelah perdebatan pendek itu, akhirnya pasangan muda itu naik juga ke atas panggung. Seketika suara gemuruh tepuk tangan langsung memecah suasana yang tadi sempat hening. Lebih ramai dari penampilan-penampilan sebelumnya. Betapa Gus Nabil telah berhasil menjadi pusat perhatian di pesantren ini. Namun tentu saja Nabilisme di sini tak sebanyak di Umar Bin Khattab, karena katanya Gus Adam memiliki seorang putra yang cerdasnya tak kalah dari Gus Nabil. Tentu rupa dan akhlaknya barangkali mendukung menjadi nilai tambahan untuk masuk ke dalam most wanted pesantren. Namun demikian Albania tak tak pernah sekalipun tahu Gus Muda di pondok ini.
Terlihat Gus Nabil dan Ning Ayas bergandengan tangan di atas panggung.
Ah, sebagai Nabilisme sebenarnya Albania ingin melihatnya dari depan tetapi tak mungkin. Ia tak mungkin tiba-tiba berjalan ke kursi penonton dan memandangnya dari sana. Hatinya belum benar-benar pulih.
"Selamat malam semuanya, tetap semangat kan? Yang mulai ngantuk, sekarang pasti pada bangun." Gus Nabil mulai menyapa para penonton.
"Semangat, Gus kalau lihat njenengan!"
"Gus nyanyi Albi Nadak."
"We Malo, Ning!"
"Saya nggak tahu, nih, kenapa tiba-tiba dipanggil ke atas. Tapi karena ini permintaan, jadi akhirnya kita memutuskan untuk memberikan kenangan buat Angkatan Galaxi malam ini," lanjut Gus Nabil dengan microfon yang sudah dipegangnya.
"Kita nyanyi apa, Ning?" tanya Gus berambut gondrong itu pada istrinya.
"Barangkali dari penonton santri putra dan putri ada yang request?" Ning Ayas bertanya pada mereka.
Ah, melihat mereka berdua menyenangkan sekali. Andai di dunia ini Tuhan menciptakan 100 atau 1000 Nabil, pastilah Albania akan meminta satu saja. Yang baik tutur katanya, sopan perangainya, tinggi ilmunya dan tampan wajahnya. Tak apa bila Nabil lain yang ditemui bukan anak Kyai, tapi kalau ia tak mau merepotkan Tuhan barangkali meminta untuk jadi yang kedua adalah pilihan. Ah, pemikiran macam apa ini. Tolong dimaklumi, karena Albania baru saja disakiti sehingga keinginannya tak mampu terkendali.
"Jangan berharap yang tidak-tidak," celetuk Asyas pada Albania. Entah sejak kapan dia seperti mengerti apa yang Albania pikirkan.
"Sok tahu."
"Biasanya cewek kayak gitu."
"Ayo nyanyi, Gus, Ning." Gemuruh itu kembali menggema.
"Baper banget ya Allah," suara dari santri putri mulai mendominasi.
Seorang santri menyodorkan dua kursi pada pasangan itu dan memberikan gitar pada Gus Nabil.
Mereka kemudian duduk di kursi yang berbeda, namun saling berhadapan. Di depannya telah berdiri stand mic. Pasangan itu menghadap ke arah penonton. Gemuruh tepuk tangan tak pernah terhenti. Ramai. Tak aja jeda hening sedikit pun.
Gus Nabil mulai memetik senar gitar menciptakan nada yang sangat dikenal. Mereka berdua akan menyanyikan lagu Syauq milik Ismaeel Mubarak.
"Shooq... qalbi kabir aashq kithir malah akhir alshouq. Houak... ahtag lah atanfusuh
ana aaishwah... houak." Gus Nabil mulai membawakannya dengan suara yang kelewat merdu. Lembutnya berpadu dengan suara dari senar yang dipetiknya dengan syahdu.
Ning Ayas memejamkan kedua matanya, mulai mengulangi bait pertama yang dinyanyikan sang suami.
"Shooq... qalbi kabir aashq kithir malah akhir alshouq .... houak... ahtag lah atanfusuh ana aaishwah... houak." Gus Nabil memandang perempuannya seraya tersenyum sembari terus memetik gitar. Suaranya yang sedikit serak, terdengar manis. Ah, bukankah kata Albania serak-serak basah itu seperti Dewi Persik?
Lalu, mereka berdua mulai berkolaborasi bersama.
"Ma aqdir aala baadak daqiqa ma aqdir ana ma aqdir... khaiali enti haqiqa oua alhob lak iakbur...
"Ahabak iyh... min ghir kif... min ghir laiah... ahabak iyh ghirak tara mahma gara la ma ara la ma abi."
Suara mereka tehenti, kembali hanya terdengar nada syahdu dari senar gitar. Paduan yang benar-benar menyatu. Apakah sebelumnya sudah sering berlatih? Sembari terus memetik senar mencipta jeda, mereka saling berpandangan, tersenyum. Seolah Pensi sengaja didesain untuk pasangan muda itu. Seakan malam dicipta hanya untuk keduanya. Seakan panggung ini didesain untuk mereka. Ah, siapa yang tidak mau. Albania ingin berada di sana. Menggantikan posisi Ning Ayas. Astagfirullah.
"Hanan madri aysh balai gharq tarai la mou bahouai .... hanan ... kalam iagaz iaqoul... ilqa houloul... mahma iataouil... kalam."
"Sakanti qalbi oua ouaridouh... ouaalnabd oua alanfas... oua alhob aasa allah iaziduh... oua alshouq oua alihsas."
"Ahabak iyh... min ghir kif... min ghir laiah... ahabak iyh ghirak tara mahma gara la ma ara la ma abi."
Gus Nabil dan Ning Ayas benar-benar berhasil mendalami setiap lirik lagunya. Mereka tersenyum saat petikan gitar berakhir. Keduanya kembali bergandengan tangan seraya berdiri di depan penonton. Tepuk tangan langsung membanjiri. Gemuruh teriakan dari para santri mendominasi malam itu. Kecuali mereka, siapa yang kali ini menjadi pusat perhatian? Tidak ada. Bahkan Albania dengan jelas melihat bahwa keluarga Ndalem tersenyum melihat kebersamaan mereka.
"Lagi, Gus, Ning."
"Lagi! Lagi! Lagi!" Euforia itu tak terhenti. Bahkan semakin malam semakin ramai.
"Terima kasih sudah mendengarkan dan menyanyi bersama kita. Karena waktu menunjukkan semakin malam alangkah lebih baik langsung berpindah ke penampilan selanjutnya. Sekali lagi terima kasih, assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuhu." Laki-laki itu melambaikan tangannya.
"Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuhu," sahut para penonton. Laki-laki itu menggandenga perempuannya lalu turun panggung.
"Gus," panggil Albania.
Kedua pasangan itu menoleh. "Albania," sapa Gus Nabil.
"Suara Gus Nabil merdu. Ning Ayas juga," pujinya.
Nabil tersenyum.
"Kamu juga, Albania," ucap Ning Ayas.
"Kalau nanti Pensi udah selesai langsung tidur, besok pulang. Dan Asyas tolong agak beri jarak dari Albania. Jangan cari kesempatan dalam kesempitan," ujarnya.
"Maaf, Gus. Nggak sengaja. Malem soalnya nggak kelihatan," kata Asyas.
Gus Nabil menarik tangan istrinya lalu mereka pergi diikuti pandangan Albania yang masih menatap keduanya. Setiap sesuatu memiliki kekurangan dan kelebihan, lalu apa kekurangan mereka? Ah, hidup memang kerapkali tak adil. Bagi Albania.
*Arti lagu Syauq
Kerinduan... hatiku hebat. Cintaku padamu luar biasa... Kerinduan ini tidak memiliki batas
Cintamu, aku harus menghirupnya. Aku suka itu, cintamu.
Aku tidak tahan dengan ketidakhadiranmu selama satu menit. Aku tidak bisa. Aku tidak bisa.
Kamu adalah fantasi dan realitasku. Cintaku padamu semakin besar.
Aku mencintaimu.
Jangan tanya padaku bagaimana bisa. Jangan tanya kenapa. Aku mencintaimu.
Apa pun yang terjadi, aku tidak melihat siapa pun
kecuali kamu. Aku tidak menginginkan siapa pun kecuali kamu.
Kelembutan.
Aku tidak tahu apa yang salah denganku... Aku benar-benar tenggelam dalam kelembutan ini. Aku tidak punya kendali atas ini. Kelembutan.
Kata-kata... Itu tidak bisa diungkapkan. Juga tidak menemukan solusi, tidak peduli berapa banyak mereka. Kata-kata
Kamu tinggal di hatiku, pembuluh darah, Jantungku berdetak dan bernapas. Semoga Allah meningkatkan cinta ini. Kerinduan dan perasaan.
Update!!!
Ahhh~ pokoknya ini lagunya kayak Gus Nabil sama Ayas banget. Jadi, ini kejutannya. Bagi kalian Nabilisme bisa lihat mereka di part Pensi kali ini.
Masih romantis juga ternyata.
Bila ada kesalahan, sampaikan dengan baik. Jangan lupa tinggalkan vote dan komentarnya, manteman 💙
Yang ngefans sama Kafa, masih ngefans nggak nih?
Yang belum follow, sebelum lanjut nggak ada cita-cita follow dulu, Mbak, Mas?
Salam 💙💙
Malang, 27 Maret 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro