Bab 22 || PENSI (1)
Di antara banyaknya hari, aku menyukai hari di mana kita bertemu untuk membebaskan rindu.
Suasana lapangan asrama pusat An-Nadwah bak menjelma jadi lautan manusia. Ribuan kursi yang berbaris telah terisi oleh para santri putra dan putri dengan letak yang terpisah. Lampu dari panggung menyala indah, bahkan sepertinya langit di atas sana sedang dapat dikompromi. Terlihat bintang bertabur dan bulan sabit yang muncul ikut serta menyaksikan Pentas Seni malam ini.
Acara yang dipanitiai oleh kelas dua aliyah ini terlihat betul-betul mewah. Barangkali mereka tengah sibuk, terlebih angkatan Galaxi, kelas tiga Aliyah yang di penghujung acara akan tampil bersama-sama menyanyikan lagu yang khusus diciptakan untuk para guru.
Albania dan Madinah duduk di kursi deret kedua. Dekat perbatasan santri putra. Ia bersyukur menjadi seorang tamu di Nadwatul Ummah sehingga mendapat tempat di baris kedua. Tempat paling depan ditempati oleh keluarga ndalem, termasuk Gus Ismail, Umi Hanin, Gus Nabil, Ning Ayas dan keluarga pak Kyai semua berkumpul di sana.
Setelah pembacaan qira'ah dan sari tilawahnya yang menandakan acara akan dimulai, dua pembawa acara mulai naik ke atas panggung. Laki-laki dan perempuan. Mereka menggunakan pakaian adat khas Jogja. Lelaki itu menggunakan surjan yang dilengkapi jarik, tak lupa blankon pun terpasang di kepala sebagai keharusan ketika memakai baju adat tersebut. Sedangkan yang perempuan tampak menggunakan kebaya biru muda dengan bawahan batik cokelat serta jilbab yang senada dengan pakaiannya.
Setelah penyambutan oleh Gus Adam—pengasuh Nadwatul Ummah, selanjutnya diperlihatkan beberapa kelompok secara bergantian dari macam-macam daerah yang mempersembahkan karya seninya masing. Ada yang menari adat, drama, lalaran imrithy, pidato dan masih banyak lagi hiburan yang akan ditampilkan.
Albania menikmati makanan ringan dari bagian konsumsi sembari memperhatikan hiburan demi hiburan yang diperlihatkan pada para penonton. Tepuk tangan tak pernah usai. Gemuruh antusias para santri seakan tak pernah padam, memecah malam yang tenang.
Angkatan Galaxi benar-benar telah berhasil mempersembahkan hiburan yang tak membosankan.
Hingga sampai di pertengahan acara, dua pembawa acara tersebut tampak berdialog di atas panggung.
"Tiba di acara yang dinanti-nantikan, nih. Kira-kira ada yang bisa nebak nggak?" Pembawa acara putra mengajak berdialog para penonton. Terlihat sekali bahwa dia melakukan tugasnya dengan sangat baik.
"Nggak tahu," sahut para santri.
"Langsung aja, Kang, nggak usah basa-basi," teriak salah seorang santri putra.
"Baiklah, acara selanjutnya penampilan dari perwakilan komplek tujuh putri darul Maqamah yang akan mempersembahkan sebuah salawat di malam yang syahdu ini. Kepada perwakilan dari komplek darul Maqamah, waktu dan tempat dipersilahkan," kata pembawa acara putri.
"Wuuuhhh, santri putri lagi, Rek." Seketika di barisan duduk santri putra langsung riuh.
"Nyanyi, Rek. Nyanyi."
"Nyanyi apa salawatan."
"Apa aja yang penting santri putri ini langsung melek."
Tiga santri putra mulai menaiki panggung. Salah satu dari mereka memegang gitar, lainnya berdiri di depan piano dan yang terakhir sebagai drumer. Lama tak muncul sang vokalis yang katanya mbak dari santri putri itu.
Satu menit.
Dua menit.
Lima menit.
"Mana nih?"
"Kok lama. Ayo dong, mana nih?"
"Lah, kosong?"
Gus Nabil tampak berdiri, lalu beliau berjalan ke belakang panggung disusul Ning Ayas yang kemudian ikut serta ke sana. Ada apa sebenarnya? Sembari menunggu, Albania masih terus makan snack miliknya. Snack yang dibawanya dari kamar, karena makanan dari bagian konsumsi sudah tandas sejak Gus Adam baru menyampaikan sambutan.
"Albania, ikut saya!" Tiba-tiba Gus Nabil berdiri di depan perempuan.
Albania terkejut. Mau bertanya pun Gus Nabil langsung berbalik. Buru-buru ia menarik tangan Madinah untuk memintanya menemani mengikuti langkah sang Gus yang berjalan ke belakang panggung. Albania menunduk. Dia tak mau bila Purnama Nadwahnya melihat dari posisi yang tidak ia ketahui. Ia tak tahu di mana Kafa duduk dan berada.
Di belakang panggung tampak ramai. Panitia yang berpakaian seragam batik itu tampak menampilkan wajah-wajah cemas. Albania tak paham.
"Kamu bisa salawatan?" tanya Gus Nabil tiba-tiba.
"Hah?" Albania langsung menggeleng cepat. "Nggak bisa, Gus. Saya cuma hafal salawat nariyah," katanya.
"Albania, kamu bisa menggantikan vokalis kali ini yang berhalangan, kan? Katanya dia tiba-tiba demam. Nggak bisa tampil. Kamu bisa, kan?"
"Gus, demi Allah suara saya kayak kripik. Yang ada nanti jadi bahan tertawaan," dalih Albania.
"Kata Asyas kamu bisa nyanyi," debat Gus Nabil.
"Asyas? Kapan bilang? Nggak sama sekali, Gus. Dia pasti ngarang. Jangan, Gus. Jangan saya. Saya mohon." Albania memohon.
"Albania, kalaupun nggak salawat nggak apa nyanyikan lagu apa pun yang kamu bisa. Tapi kalau bisa bahasa arab. Ini udah mepet waktunya." Istri sang Gus angkat bicara.
"Tapi Ning—"
"Saya percaya sama kamu. Cepet naik. Saya yakin kamu bisa," tegas Gus Nabil.
"Tapi suara saya—"
"Ya entah itu kayak kripik, daun kering, kerupuk kemarin sore, itu nggak masalah. Saya tahu Asyas nggak pernah bohong." Gus Nabil memotong perkataan Albania.
Asyas, awas ya kalau aku balik lagi, aku jitak kepalamu. batin Albania.
Mau tak mau, akhirnya Albania menaiki tangga belakang panggung juga. Kakinya bergetar. Sungguh, siapa yang mengatakan bahwa Albania tak punya malu? Jelas dia masih manusia biasa yang memiliki fitrah itu. Ah, apa yang akan dia nyanyikan di atas panggung nanti dan parahnya sang purnama Nadwah pasti akan melihatnya, kan? Untuk kali ini dia ingin mengatakan bahwa Asyas itu sialan. Kapan dia mendengar Albania bernyanyi?
Saat kakinya baru saja sampai di atas panggung, kedua matanya langsung menatap lautan manusia di bawah sana. Dihadiri para asatiz, ustazah, perwakilan dari banyak pesantren, dan dia dengan percaya dirinya berdiri di atas mereka. Andai bukan perintah dari sang Gus, barangkali kabur adalah pilihan.
"Mbak, cadangan ya?" tanya seorang drumer.
Albania mengangguk.
"Mau nyanyi apa?"
Albania menjawabnya, berbisik pelan. Drumer itu tersenyum.
Gadis itu menarik napas pelan, mencoba menenangkan diri. Melangkah menuju microfon yang telah tegak berdiri, terpasang di depan. Dari banyaknya manusia di depan, ia ingin mencari purnama-nya, tetapi ia belum berhasil menemukan. Di mana dia duduk? Apakah laki-laki itu melihatnya sekarang?
Albania berdiri di depan stand mic ketika nada-nada yang berkolaborasi dengan embusan angin mulai terdengar mengisi malam yang semakin pekat. Malam ini ia akan menyanyikan lagu Al-Hubb Fi Shomti milik Veve Zulfikar. Barangkali itulah satu-satunya lagu yang sangat cocok menjadi soundtrack kehidupan Albania. Toh, lagu itu sangat viral di pesantrennya. Teman-teman sering mendendangkan lagu itu dan barangkali mereka semua yang di sini tahu. Bahkan menghafalnya.
Perlahan, ia mulai menyanyikan lagu itu. Mencoba menyatukan suaranya dengan desau malam ini yang membuat hatinya benar-benar kelabu. Suaranya lembut. Bahkan sebenarnya suara Albania terdengar merdu.
ان في حبك فوق مستوى الكلام
فقررت لساني ان اسكت عن الكلام
شوقي اليك فوق من حسيها
حتى اقوى من الم اثرها
بالصمت في ضيق العبارة عما اعاني
اشتاق اليك بفرد لانك قريبا مني
حبي لا لماذا ولا كيف
لم احتاج سبب اشتاق اليك
ماوجدت سبب فرح قلبي الا بك
ماوجدت موجودي الا لك
ان فى الحب لقد مات كل الايضاح
Nada-nada kembali mengalun syahdu. Sesaat, ia mendapati Kafa-nya. Ia berhasil menemukan remaja berkulit putih dalam luasnya lautan manusia Nadwatul Ummah. Laki-laki bersarung hitam serta berkemeja putih panjang itu berdiri di antara kursi penonton pada deret ketiga. Mata hazel itu memandangnya. Kedua mata itu menatap Albania dari kejauhan.
Albania langsung memalingkan wajah. Sungguh, ia tak sanggup. Ia tak bisa berlama-lama memandang purnamanya. Semua ini sudah berakhir.
Ia kembali mengulang lagunya. Memejamkan mata. Memegang erat microfon-nya. Air mata berhasil menetes, mengingat pilu yang telah lalu. Menatap seseorang yang tak akan pernah mampu dimiliki, mengingat kepergian yang telah usai. Seseorang yang amat dicintai, melihatnya dari kejauhan, mendengar suaranya dan rela berdiri untuknya.
ان في حبك فوق مستوى الكلام
فقررت لساني ان اسكت عن الكلام
بالصمت في ضيق العبارة عما اعاني
اشتاق اليك بفرد لانك قريبا مني
حبي لا لماذا ولا كيف
لم احتاج سبب اشتاق اليك
ماوجدت سبب فرح قلبي الا بك
ماوجدت موجودي الا لك
ان فى الحب لقد مات كل الايضاح
Setelai usai, dia tersenyum. Menghapus kristal beningnya. "Terima kasih," ucapnya, lalu berbalik dan segera menuruni tangga panggung. Tepuk tangan terdengar gempar. Albania berhasil melakukannya dengan baik.
Namun, ia harus cepat menjauh tuk menghindari kerumunan-kerumunan itu. Namun nahas, sang Gus memanggilnya. "Albania."
"Iya, Gus?" Dia menunduk. Ia malu.
"Suaramu bagus. Terima kasih sudah menggantikan vokalis aslinya," ucap Gus Nabil lembut.
"Nggeh, Gus. Saya pergi dulu."
Albania langsung berbalik, dia berlari kecil entah ke mana. Dia hanya harus menghindari Kafa. Ia tahu bahwa Kafa akan mencarinya karena bagaimana pun di antara mereka belum benar-benar usai, atau mungkin hanya Albania yang menganggapnya seperti itu?
Allah, ini terlalu sulit kulalui. Namun, Rabbi aku tak meminta apa pun kecuali Engkau yang selalu bersedia menemani kesendirianku. Apakah aku egois ketika mengingingankan-Mu setiap hari, jam, bahkan setiap detik? Aku menginginkan-Mu hingga aku tak lagi mampu menginjakkan kakiku di bumi-Mu.
Rabbi, ampuni aku. Temani aku. Batin Albania.
Malam ini, ia tak lagi peduli dengan penampilan selanjutnya. Ia tak peduli dengan tepuk tangan yang masih menggema untuknya. Segala hal yang fana tak akan pernah menghentikan harapannya.
Yay, apdet!
Nanti ada Pensi (2) tapi entah kapan nih apdetnya. Ayo tinggalkan vote dan komen yang banyak 💕
Bila ada kesalahan, sampaikan saja, ya!
Salam ❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro