Bab 19 || Sketsa dan Rahasia
Di antara banyaknya Isim, aku hanya isim domir untukmu. Menjadi pengganti ketika dia pergi.
Bila pesantren umar Bin Khattab dinamakan asrama para perindu, maka Nadwatul Ummah adalah asramanya para pencinta.
Tepat pukul 21.09, asrama yang sering disebut asrama hijau pun sudah berada di depan mata. Kini, kedua kaki Asyas yang terbalut sandal hitam itu sudah berada di pelataran Nadwatul Ummah atau kerapkali disebut An-Nadwah. Seingatnya, ini adalah kali kelima ke sini dan ia selalu berhasil dibuat terpana dengan bangunannya yang semakin megah dan santrinya yang semakin padat. Suasananya yang masih sangat asri benar-benar menggambarkan wajah Jogja yang sebenarnya.
Terlihat Gus Ismail dan keluarga yang mulai masuk menuju rumah ndalem. Sedangkan para santri ditunjukkan kamar tamu untuk menginap malam ini.
Menuju kamar kamar tamu yang berada di komplek pusat Nadwatul Ummah, Asyas menghentikan langkah sebentar ketika tatapannya jatuh pada sebuah panggung megah yang berdiri kokoh di tengah lapangan nan luas. Panggung itu terbuat dari susunan-susunan papan yang telah dilukis meyerupai gambaran masjid Faisal Mosque di Islamabad sehingga ia terlihat betul-betul seperti bangunan mewah tersebut. Bahkan menaranya terlihat sempurna, menyala dengan lampu-lampu yang terpasang di sana.
Pada latar panggung itu terdapat tulisan yang sangat jelas. "PENTAS SENI PONDOK PESANTREN NADWATUL UMMAH" Sedangkan di bawahnya, terdapat tulisan "GALAXI GENERATION" menyala dengan lampu yang berubah-ubah.
Para santri putra terlihat masih sibuk, gotong royong menyempurnakan panggung tersebut dan beberapa menata pot-pot bunga di dekat tangga depan yang digunakan untuk naik ke atas.
"Gile, mau ada Pensi, ya?" tanya Hilmi entah pada siapa.
"Panggungnya loh mirip sama angkatan bawah kita waktu tahun kemarin," kata yang lain.
"Pensinya anak Galaxi, adik kelas Kafa," gumam Asyas.
"Al!" panggil seseorang.
Asyas menoleh ke belakang ketika mendengar suara yang tak asing di telinga. Sesaat dia tersenyum ketika pandangannya jatuh pada remaja bersarung hijau tua serta kaos hitam bertuliskan "Nyantri, Ngaji, Ngopi"
"Baru datang?" tanya Kafa.
"Iya. Ini kapan mau ada pensi, Fa?"
"Abis Bahtsul Masail."
"Galaxi angkatan bawah lo, kan?"
"Iya. Granada udah tahun kemarin."
"Mepet banget acaranya, Fa," komentar Hilmi. Sesungguhnya teman-teman Asyas, teman Kafa juga. Karena setiap pertemuan antar pesantren mereka sering bertemu dan bila ada acara saat liburan di rumah, mereka juga sering berkumpul. Kafa yang mudah bersosialisasi itu sangat mudah mendapatkan banyak teman, tetapi teman-teman Kafa bukan teman-teman Asyas. Laki-laki dingin itu tak membutuhkan banyak kawan. Asyas sudah nyaman dengan keadaannya yang seperti ini.
"Bahtsul Masail ini dadakan. Jadwalnya tiba-tiba dimajukan, jadi akhirnya besok pagi jadwal musyawarah di aula, malamnya insya Allah langsung pensi."
"Kita lihat dong, Al," kata Hilmi.
"Kalau nggak langsung pulang. Semoga aja sih."
"Dan ini lima masalah yang dijadikan bahasan untuk besok pagi." Kafa memberikan lembaran putih A4 pada Asyas. Terlihat lima nomor yang nanti akan dimusyawarahkan. Memilih pemimpin dari non Muslim, hukum mengunjungi tempat ibadah agama lain, tentang haid, jual beli dan endorsment. Terlihat pula para Musahih yang terdiri dari para Kyai, perumus, moderator dan Notulen.
"Siapkan, ya, gue mau ada kumpulan."
Setelah Kafa pergi, Asyas dan kawan-kawan langsung menuju kamar tamu yang sudah disediakan Nadwatul Ummah untuk beberapa pesantren lain juga. Nadwatul Ummah memiliki beberapa pesantren kerabat yang memang kerapkali mengadakan banyak agenda bersama.
Mereka kembali berjalan menuju kamar tamu. Lima menit kemudian, sampai dalam ruang berukuran cukup luas didominasi warna hijau dengan dilengkapi tujuh kasur berderet. Asyas meletakkan ransel hitam di atas ranjang, sedangkan keadaan dalam kamar sudah gaduh oleh teman-temannya yang berebut kamar mandi untuk ambil wudhu melaksanakan salat Isya. Ah, ia akan salat saat nanti di waktu sepertiga malam.
Remaja 19 tahun itu bangkit menuju pintu, membuka lantas keluar hendak menuju perpustakaan utama asrama yang berada di area kelas, belakang komplek tujuh Nadwatul Ummah. Langkahnya terseret, sedangkan kedua mata sipitnya memperhatikan para santri yang baru saja membubarkan diri dari kelas-kelas. Kitab-kitab kuning dipeluknya, suara lalaran-lalaran masih terdengar dari kelas yang masih belajar. Dia mulai memasuki komplek tujuh, memperhatikan luasnya lapangan yang terhampar.
Beberapa santri tampak belajar di sana, bila sore katanya lapangan itu di-pel agar bisa diduduki ketika belajar malam.
Asyas berjalan menuju tangga yang berada di sudut koridor kelas, menaikinya lantas berjalan menuju ruang yang tak lagi asing. Beberapa mata para santri memperhatikan, tetapi ia enggan untuk peduli. Baginya perpus adalah tujuan.
Beberapa ruang Organisasi berderet, tak lama dari itu Asyas memasuki ruang yang kerapkali dinamai surga dunia. Rak-rak buku berbaris, sedangkan rak-rak kitab menjulang ke atas. Bila hendak mengambil salah satunya, maka seorang santri harus naik melalui tangga kayu yang terpasang di ujung rak-rak buku. Asyas menyapukan pandangannya, menatap luas perpustakaan yang belum terlalu ramai oleh santri.
Asyas menaiki tangga kayu, lalu berjalan di depan deretan kitab untuk meminjam beberapa kitab yang akan dijadikan referensi besok pagi.
Laki-laki itu meraih kitab Tafsir Al-Misbah jilid 1 yang ditulis oleh Mufassir Indonesia, Quraish Shihab, lalu mengambil beberapa kitab lain yang akan dijadikan rujukan nanti. Setelah mendapat beberapa kitab, dibawanya ke bawah.
Melihat banyak kursi kosong, dia duduk di salah satu meja di sana. Mulai membuka dan mencatat beberapa bagian penting.
"Tadi Cak Kafa ngaji di sini, ya?" tanya sebuah suara.
"Udah semingguan loh ngaji di perpus terus sama Gus Adam."
"Tafsir Ar-Razinya ketinggalan."
"Sengaja ditinggal. Nanti mau lanjut makna lagi."
Asyas menoleh. Kitab yang tadi dipegangnya itu ditinggal, lalu mendekat menuju santri-santri yang sedang duduk di kursi dekat meja keluar.
"Tafsirnya Kafa mana, ya?" tanya Asyas.
"Njenengan sopo, Cak?"
"Saya sepupu Kafa. Dari Umar Bin Khattab."
"Oh peserta Bahtsul Masail toh."
"Iya."
"Ini kitabnya Cak Kafa. Dijaga, yo, Cak." Salah seorang dari mereka mengulurkan kitab kuning karangan Fakhruddin Ar-Razi itu. Asyas tersenyum, lalu dibawanya kitab itu ke tempat duduk. Lembar demi lembar dibuka, bahkan tak ada satu pun halaman yang kosong dari makna. Pegonnya terlihat rapi dan mudah sekali dibaca. Barangkali sepupunya itu akan membawa serta kitab ini untuk dijadikan rujukan.
Sesaat Asyas menghentikan membuka lembaran ketika menemukan sketsa wajah Kafa yang digambar sangat rapi dengan pensil. Garis wajahnya terlihat tegas, bahkan jika diperhatikan bagian rambutnya sang pembuat terlihat sudah profesional melakukannya. Gambar hitam itu andai diberi warna sedikit saja bisa menyerupai potret berwarna. Potret berwarna? Asyas membelalakkan matanya saat menyadari ciri khas dari gambar tersebut. Tanda tangan di bawah gambar itu sama dengan yang dipunya. Yang ia peroleh dari Albania.
Asyas membelalakkan matanya saat di sana terlihat tanggal ketika dibuat. Egypt, 07 juli. Albania? Namun bagaimana mungkin Albania mengenal Kafa? Hubungan apa yang mereka miliki dan kenapa Asyas tak mengetahuinya. Jadi, apakah potret perempuan di tepi Nil yang masih Kafa simpan di meja belajar itu adalah Albania?
Jadi, benar bahwa Kafa memang lebih tertarik pada perempuan berkulit sawo matang dan Albania adalah orangnya? Dia tak benar-benar mampu melupakan masa lalunya dan dia adalah orangnya? Perempuan yang menurut Asyas tidak tahu malu itu bagaimana mungkin Kafa menyukainya. Ada apa sebenarnya? Semenjak kapan mereka bertemu?
Seketika, ribuan pertanyaan masuk memenuhi benak. Milyaran tanda tanya bahkan serasa tak bisa ditampungnya dalam logika yang tak senada dengan realita.
Asyas meletakkan kembali sketsa tersebut di antara kitab, lalu ditaruh kembali di rak, ditumpuk bersama kitab-kitab teman Kafa. Sungguh, dia harus mencaritahu tentang benang merah yang rumit ini. Ia ingin tahu tentang semuanya. Tentang semua yang mengganggu pikirannya.
Bukankah ini terlalu tak masuk akal. Di antara jutaan perempuan berkulit sawo matang, kenapa sepupunya itu malah menjatuhkan pilihan pada Albania yang tidak ada alim-alimnya sedikit pun. Bukankah Kafa menyukai perempuan yang lembut? Bukankah dia selalu menomor satukan akhlak? Bahkan kadang-kadang Albania lebih mengutamakan perutnya daripada malu yang jadi fitrahnya.
Hubungan mereka terlihat rumit. Lebih rumit dari mantiq. Lebih membingungkan daripada ushul Fiqh. Dan parahnya Asyas ingin mempelajari dan menyelam ke dalam pusat kajian cinta yang terlihat gelap itu.
Apdet lagi 💚
Tumben part-nya pendek wkwk
Bila ada kesalahan, sila sampaikan dengan baik. Jangan lupa untuk tinggalkan vote dan komentarnya, manteman 💚
Beneran ya, kalau ada salah langsung bilang. Sampaikan dengan bahasa yang baik.
Oh ya, ntar di Pensi bakal ada kejutan. Duh, nggak sabar, wkwk
Salam Sayang
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro