Bab 17 || Dari Seseorang Bernama Albania
Pada batas yang kerapkali sulit digapai, doa mempertemukan pada titik yang sangat diinginkan.
Hai Asyas, sanah helwah untukmu.
Di usiamu yang ke sembilan belas tahun ini semoga poinmu dalam menghargai orang lain bertambah, ya. Aku tau kamu pinter, kamu cerdas, bahkan katanya mereka bilang tanpa belajar pun kamu dapat menjawab dengan mudah pertanyaan guru-gurumu. Bukankah hal seperti itu kadang banyak yang mengirikan.
Ah, ya, Asyas terima kasih untuk peristiwa beberapa minggu lalu. Tanpamu mungkin aku tak pernah tahu bagaimana asyiknya mondok di sini. Pertemuan kita di perpustakaan barangkali memang menjadikan hari-harimu seperti kiamat, kehadiranku barangkali mengganggu dan aku tahu itu tapi maaf juga aku nggak bisa sadar diri.
Oh ya Asyas, usiamu semakin bertambah apa tidak punya cita-cita untuk menjadikanku sebagai tujuanmu? Nggak usah malu-malu, kalau kamu udah mulai suka aku bilang aja. Ntar aku follback perasaanmu.
Ya sudah aku gatau nulis apalagi. Semoga kamu suka gambarku dan nanti kalau kamu butuh syal, dipakai tuh. Ah ya, lihat di dalam syal-nya ada sesuatu. Dadah Asyas ganteng ^^
Dari seseorang bernama Albania.
Asyas tersenyum membaca tulisan tangan Albania yang tak terlalu rapi. Tepat pukul 00.30, di dalam kamar, remaja itu duduk sendirian di depan lemari sembari menyalakan senter kecil untuk menerangi sekitar karena gelapnya kamar. Teman-teman sudah terlelap tidur sedangkan Asyas yang memiliki insomnia memang sangat jarang menghabiskan malamnya untuk istirahat. Seberapa pun dia berusaha untuk tertidur, lelap itu enggan menyapa. Dia telah bersahabat dengan malam. Dia telah berteman dengan kesepian.
Laki-laki itu membuka gulungan HVS putih yang diambil dari giftbox. Ia terbengong saat pandangannya menatap potret dirinya di sana. Kemiripan gambar dengan keaslian bahkan bisa dikatakan nyaris 99%. Namun kenapa Asyas menjadi tak percaya bahwa itu benar-benar hasil tangan Albania. Hitam putih yang dilihatnya kini seolah berbicara tentang banyak hal yang tak benar-benar ia ketahui. Tentang sebuah masa lalu, tentang sebuah ikatan pilu dan berlalunya waktu ketika itu.
Asyas memperhatikan dengan jelas. Gambar itu benar-benar nyaris sempurna. Bagaimana cara Albania membuatnya? Lagi-lagi dia tersenyum. Selama sembilan belas tahun hidup di dunia, barangkali sekarang adalah yang pertama, seseorang memberinya hadiah luar biasa. Perempuan itu bahkan rela menghabiskan waktunya hanya demi menggambar sesuatu yang menurut Asyas tidak penting. Namun, ia suka. Ia suka dengan gambar yang sekarang dipegangnya.
Sesaat, ia mengingat paragraf akhir dari surat Albania untuknya. Dia segera membuka syal itu dan ia mendapati buku milik Cak Nun yang berjudul Islam Itu Rahmatan Lil'alamin bukan untuk kamu sendiri. Kali ini seperti mendapat sesuatu yang tak terdefinisikan. Entahlah, Asyas sangat suka bila seseorang memberinya buku.
Yang Asyas tahu kata Al-Jahiz, memiliki definisi sendiri untuk 'buku'. Ia bilang, "Buku adalah wadah yang penuh dengan ilmu, yang melimpah dengan gurauan dan kesungguhan. Jika kau mau, ia bisa lebih jelas nan terang daripada awan putih yang berjalan. Jika kau mau, ia bisa lebih pelik daripada rambut kusut. Jika kau mau, kau akan terbahak karena humornya. Jika kau mau, kau akan takjub dengan keanehan tiap-tiap fragmennya. Jika kau mau, kau akan terbuai dengan keindahannya. Dan jika kau mau, kau akan menangis sedu karena nasihat-nasihatnya."
Begitulah buku dan segala macam isinya yang tak akan pernah terpuaskan ketika hanya membaca satu macam saja.
Satu hal yang dilupakan, Asyas tak membuka terlebih dahulu kado dari Madinah. Laki-laki itu lebih penasaran terhadap kotak dari Albania dan sekarang ia tak pernah menyesal karena telah membukanya di awal. Ditaruhnya di lemari beberapa box kado-kado yang diberi dari teman-teman, beberapa santri putri yang merupakan fans-nya dan beberapa guru yang dekat dengan Asyas.
Laki-laki itu meraih kitab Tafsir milik Hilmi dan miliknya, kemudian dibawa ke ranjang untuk memaknai beberapa lembar yang masih kosong. Ia memberi banyak catatan pada samping-samping kitabnya, dirangkum pengertian yang penting lalu mengambil kitab Tafsir lain untuk membandingkan beberapa perbedaan dan ditulisnya pada buku catatan. Begitulah Asyas bekerja untuk ilmu ketika malam. Ia menghafal Ihya Ulumuddin pun sebenarnya hanya karena ketidaksengajaan.
Malam tak dapat dikompromi. Sejak masuk Aliyah ia diberi kitab Ihya oleh Kang Zaki dan Asyas mencoba membaca-baca tiap halaman yang telah dimaknai. Ia tak pernah tahu kenapa Kang Zaki memberi kitab itu padanya hingga setiap malam, ia menghafal demi mencari kesibukan. Hingga nyaris dua tahun kemudian, ia tak sengaja menghafal semuanya. Begitulah Asyas ketika belajar. Beberapa kitab lain yang dihafalnya memang kerapkali karena ketika malam ia tak memiliki kegiatan. Asyas terkenal pemalas, troublemaker, tetapi pihak pondok masih enggan memberi surat pengeluaran karena pemahannya yang sangat baik dalam setiap pelajaran.
Namun demikian, Asyas tak pernah membanggakan kehebatannya. Dia lebih banyak mendengar daripada berbicara. Bahkan ketika teman-teman terkadang berdebat, Asyas lebih memilih pergi. Menurutnya, ilmu agama tak ada yang harus didebatkan. Ada pun kekeliruan haruslah dimusyawarahkan untuk diluruskan. Berdebat hanya melahirkan ketidakjelasan dan kekosongan yang pada akhirnya merugikan.
Asyas selalu mengingat perkataan gurunya yang pernah mengutip dari kitab Rabi'ul Abrar. Katanya suatu ketika, Luqman Al-Hakim menasihati puteranya. Beliau berkata, "Apabila orang-orang saling membanggakan kehebatan kata-kata mereka, maka berbanggalah engkau dengan indahnya keheninganmu."
Begitulah Asyas menutup diri dari keramaian di luar sana. Ia memberi batas dari hiruk pikuk yang tidak jelas. Baginya hening adalah jawaban dari rumitnya pelik akan takdir yang termaktubkan. Keheningan adalah bahasa dari sulitnya pengungkapan yang kerapkali tak dapat dijelaskan secara mendetail, lebih dari itu keheningan adalah cara mencintai Tuhan dalam diam yang tak mampu tergambarkan.
Tentu sifat ini sangat bertolak belakang dengan Albania dan Asyas menyadari itu. Setiap kali mendengar suara Albania, ia seperti dibawa pada lingkaran keramaian. Di mana di sana tak ada kesyahduan sedikit pun kecuali nestapa yang tak bermuara.
Asyas mengerutkan kening ketika tiba-tiba pintu kamar terbuka. Dia menoleh. Mengubah posisi tengkurapnya menjadi duduk, memastikan siapa yang membuka pintu kamar itu.
"Al," panggil seseorang.
Asyas langsung berdiri, dia berjalan mendekati pintu dan mendapati Gus-nya yang berada di sana.
"Gus Nabil." Asyas memastikan.
"Benar, ternyata kamu nggak tidur," ucap Nabil.
Asyas tersenyum kecil, "Ada apa ya, Gus?"
"Ayo keluar sebentar, tutup pintunya," pinta Nabil.
Asyas langsung menutup pintu kamar, lalu mengikuti langkah Gus Nabil yang berjalan ke depan. Bagaimana mungkin Gus-nya itu malam-malam ke kamar. Asyas menatap kaki sang Gus, ia bernapas lega saat kaki beliau benar-benar menyentuh lantai.
Tiba-tiba Gus Nabil duduk di kursi bawah tangga. Setelah dipinta, akhirnya Asyas duduk juga di samping sang Gus.
"Tadi kalian dimarahin Kang Zaki?" tanya Gus Nabil membuka percakapan.
Asyas menunduk. "Iya, Gus. Ini salah kami."
"Bukannya kamu nggak tahu rencana mereka yang merayakan ultahmu? Jadi itu bukan kesalahanmu. Al, saya tahu sebentar lagi kalian keluar dari ma'had. Hanya menghitung bulan. Dan kalau boleh saya minta pada kalian, tinggalkan kesan baik setelahnya, terutama di mata Gus Ismail."
"Tujuh tahun lamanya, Madinah itu selalu dipandang baik oleh Abi dan Umi. Kamu tahu bahwa ndalem sangat mempercayai Madinah, para santri putri memberi voting banyak pada Madinah sampai akhirnya dia terpilih menjadi ketua dan diakhir-akhir seperti ini kang Zaki membongkar semua kesalahan yang Madinah lakukan. Bertukar surat denganmu selama dua tahun lamanya, pernah membawa ponsel, bertemu denganmu di kelas, izin ke pasar tetapi bertemu denganmu dan kalian jalan-jalan berdua."
Asyas terkejut. Bagaimana mungkin Gus Nabil mengetahui semuanya. Bahkan kejadian-kejadian yang disebutkan itu telah berlalu beberapa tahun silam. Berakhir ketika mereka naik ke kelas sebelas Aliyah. Asyas menghentikan kegiatan-kegiatan konyol itu dan fokus pada kitab-kitabnya, mungkin kecuali surat-suratan. Ia masih melakukannya, bahkan kerapkali hingga sekarang.
"Tentu kabar ini belum sampai pada Abi dan Umi. Kang Zaki memberitahu saya sejak pertama saya pulang dari Mesir dan saya nggak kaget sebenarnya. Hal itu sudah sering terjadi di pondok-pondok. Tapi bukannya segala hal buruk harus dihentikan? Bukannya keluar dari ma'had dengan Khusnul Khatimah itu lebih baik, Al?"
Asyas menunduk. Ia berpikir dalam. Selalu banyak kesalahan yang dilakukan hingga Gus-nya itu selalu mengeluarkan banyak nasihat untuk didengarkan. Hingga Asyas tak pernah tahu lagi hendak memberi jawaban apa. Dia memang salah dan dia tak mempunyai keberanian membantah.
"Sekarang bisa menghentikan semuanya? Hanya untuk beberapa bulan sampai kalian benar-benar lulus?" tanya Nabil.
"Saya akan melakukan itu," jawab Asyas.
Nabil tersenyum.
Asyas masih tetap terdiam. Toh sekarang dia memang sudah tak melakukan hal-hal yang disebutkan Nabil tadi. Untuk bertukar surat dengan Madinah, dia akan menghentikannya. Di usianya yang bertambah, memang seharusnya ia berubah.
Update terakhir hari ini 💚
Insya Allah besok lanjut huhu mumpung libur nih ^^
Bila ada kesalahan, sila sampaikan. Jangan lupa untuk tinggalkan vote dan komentarnya, ya ^^
Salam
Malang, 20 Maret 2020.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro