Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 16 || Untuk Laki-Laki Bernama Asyas

Yang lebih rumit dari Tijandarori adalah mencintai yang tak pernah dapat dimiliki.

Setelah menyelasaikan menambal kitab Tafsirnya yang kosong, Albania langsung mengambil buku sketsa di lemari. Sarung dan kaos yang dipakai sore tadi sudah digantinya dengan baju tidur panjang dan menit berikutnya, ia memakai jilbab, meraih cangkir kopi hitam dan membawanya menuju rooftop. Bagian keamanan yang sepertinya sudah tidur tak akan tahu bahwa ia keluar kamar menggunakan celana.

Tepat esok hari, Asyas ulang tahun yang ke sembilan belas. Setidaknya Albania akan memberikan kado terbaik untuk laki-laki itu. Bagaimana pun juga, Asyas pernah menolong Albania. Langkah Asyas selalu berhenti saat Albania memanggilnya. Dia ada saat Albania benar-benar membutuhkan bantuan sebulan lalu. Asyas hadir saat Albania benar-benar membutuhkan teman untuk menggugurkan niat ibu yang ingin menikahkannya.

Gadis itu duduk di kursi, memandangi langit malam dari kegelapan. Kartika bertabur menemani sepinya kali ini. Berteman dengan kesenyapan kerapkali dibutuhkan demi sebuah ketenangan yang jarang didapatkan. Namun, ia sering dibunuh oleh kesepian karena hati yang enggan berpaling dari lampau yang menyakitkan.

"Kamu pulang? Nanti kita nggak bisa ketemu lagi," ucap Albania pada laki-laki berkaus putih pendek di depannya.

"Ketemulah. Setiap tanggal satu, tujuh, sembilan, tiga belas, lima belas, dua puluh satu dan dua puluh tujuh keluarlah dari kamar. Kita lihat bintang. Karena waktu di Mesir dan Indonesia berbeda lima jam, kamu lihat ke langit pukul sepuluh dan aku lihat pukul tiga. Gimana?"

"Janji, ya. Jam segitu dan tanggal segitu aku usahakan untuk tidak tidur dulu sebelum lihat ke langit."

"Ya. Hanya disaat tanggal-tanggal itu."

Lagi-lagi sebuah percakapan manis itu dengan sangat otomatis diingatnya kendati menyakitkan ia egois, bukan? Laki-laki itu mengatakannya saat pertama kali mereka berjumpa, saat dia mengembalikan buku sketsa milik Albania. Dan konyolnya hingga sekarang, perempuan itu masih melakukan kegiatan yang entah sang Purnama Nadwah masih melakukannya atau tidak.

Perempuan itu menyesap kopi hitam dari cangkir, lalu meletakannya kembali di sebelah. Ditekan tombol lampu belajar kecil berbentuk kucing dan detik berikutnya cahaya kekuningan mulai menyinari sketsa putih itu.

Dia tersenyum, mulai mengingat-ingat wajah Asyas yang pernah dilihat saat mereka berdekatan. Pensil di tangan mulai menari di atas lembar polos menciptakan garis-garis indah yang membutuhkan ketelitian menciptakan kesempurnaan pada sebuah gambar.

Membentuk mata Asyas yang sangat sipit membutuhkan kepiawan lebih. Diam-diam Albania berpikir bahwa barangkali laki-laki itu memiliki ras Tionghoa. Putih dan sipit. Sebentar pun, Albania tak pernah tahu wajah ibu Asyas, mungkin anak itu mirip ibunya. Setahu Albania ayah Asyas sangat ketimuran.

Ia mengambil penghapus, tuk menghilangkan bagian yang salah saat mulai membentuk bulu mata. Padahal bisa dikatakan bahwa bulu mata Asyas tak benar-benar terlihat.

Langit sudah sangat pekat. Bintang-bintang di atas sana masih setia menemani Albania yang belum menyelesaikan tugasnya hingga kini. Dilihat jam dari arloji yang ditaruh di sebelah lampu, tepat pukul 01.11. Sebentar lagi jam setengah dua dan dia masih harus merapikan beberapa bagian yang berantakan.

Albania paling suka menggambar saat malam. Dua tahun lalu, sebelum Purnama Nadwah kembali ke Indonesia pun, ia sengaja tak tidur semalaman demi memberikan hasil terbaik untuk dibawanya pulang. Albania tak bisa memberi lebih. Ia tak memiliki banyak harta untuk diberikan sebagai kejutan yang mahal pada remaja itu. Namun, saat Purnama Nadwah-nya tersenyum, ia merasa sangat bahagia. Ia merasa sangat dihargai. Ia merasa memiliki tujuan saat dicipta ke dunia. Dulu, bahagia memang sesederhana itu, tetapi tidak untuk sekarang. Ia tak tahu lagi apa itu pengertian bahagia.

Tepat pukul 02.31, dia menyelesaikan gambarnya. Wajah tampan Asyas sudah terpampang di atas kertas putih berukuran A4. Albania tersenyum. Ia tak menjamin Asyas akan menerima hadiah darinya, mengingat bahwa laki-laki itu hanya pantas diberi nilai 5 dalam hal menghargai. Namun biarkan saja. Walaupun nanti hanya berakhir di tempat sampah, setidaknya Asyas tahu bahwa Albania pernah memberinya kado terbaik.

Gadis itu segera turun. Sebelum pukul tiga nanti, ia harus sudah selesai membungkus. Dia masuk ke kamar pelan-pelan, mengambil kertas kado bergaris dan mengambil giftbox kuning tua.

Di dekat pintu, dia membuka giftbox yang sudah berisi syal berwarna merah tua. Yang Albania tahu Asyas akan melanjutkan kuliah di Yaman dan barangkali syal itu akan dibutuhkan saat musim dingin tiba.

Setelah sketsa tadi digulung, ia memasukkan ke dalam gifbox yang kemudian dilapisi kertas kado. Gadis itu tersenyum. Setelah selesai, dimasukkan ke lemari. Kado itu akan diberinya hari ini. Saat ia bertemu Asyas.

🍁🍁

"Sekarang jadwal ngaji apa, sih?" Setelah jamaah subuh, Albania menatap jadwal ngaji di kamar. Sebenarnya dia tak bisa menahan kantuk yang luar biasa. Barangkali saat ustaz sedang menjelasakan, ia akan tidur barang sebentar.

"Tafsir Munir ternyata." Gadis itu berbalik lemas.

Hah? Tafsir Munir? Tafsir? Dia langsung teringat sesuatu. Bukankah setiap ngaji tafsir selalu dicampur dengan santri putra tingkat pengabdian. Seketika, rasa kantuk itu hilang. Dia langsung bergegas mengambil kitab dari atas lemari.

"Kenapa sih, Na? Kayak kerasupan," komentar teman di sebelah.

"Iya nih, kerasupan cintanya Mas Asyas."

"Astaghfirullah, subuh-subuh udah kambuh aja. Apotik masih tutup lagi."

"Sembuhnya nggak pakai obat ya, Guys. Tapi pakai kasih sayang." Albania mengambil kresek, lalu mulai melangkah keluar.

"Udah ejleg emang."

"Tapi kalau nggak ada Alban, kamer sepi kayak perumahan orang kaya."

"Aneh emang sih, Alban."

Gadis itu memakai sandal jepitnya. Dia harus segera meluncur ke aula. Tetapi Asyas yang biasanya selalu telat hadir, sangat tidak mungkin bertemu Albania disaat para santri belum tiba. Namun, gadis itu masih tetap berjalan cepat. Ia harus sampai ke kelas dan menemui Asyas bagaimana pun caranya.

Dari kejauhan, lampu kelas sudah menyala. Albania memelankan langkah. Kemungkinan besar ada santri yang sudah datang. Gadis itu berpikir sebentar, kemudian melanjutkan jalannya. Bisa ditebak bahwa yang sudah hadir pasti Madinah karena sang ketua asrama itu selalu menaati peraturan dan selama Albania di sini tak pernah sekalipun mendapati Madinah terlambat ngaji atau ngajar santri Ula.

Gadis itu berhenti di ambang pintu, menyipitkan matanya melihat pemandangan di dalam kelas. Salah seorang santri putra tidur dengan menenggelamkan kepala di antara tangan tertekuk di atas meja. Peci hitamnya terletak di sebelah.

Asyas!

Albania tersenyum lega. Dia berjalan ke arah bangku tersebut, mendekati laki-laki bertubuh tinggi itu. "Asyas," panggil Albania pelan.

"Muhammad Asy'as Al-Hasan!" teriak Albania tepat di telinga Asyas.

Pemuda itu terkejut. Ia terbangun, mengangkat kepalanya dan menatap kesal ke arah Albania. "Bisa nggak sehari aja nggak ganggu gue?" sentak Asyas.

"Happy Birthday." Albania menyodorkan kadonya ke depan laki-laki itu seraya memamerkan senyum manisnya.

Asyas terdiam. Wajahnya yang semula kesal perlahan luntur menatap kotak yang dipegang Albania untuknya. Beberapa detik laki-laki itu tak menanggapi, kemudian bangkit berdiri. "Sekarang tanggal berapa?" tanya Asyas. Suaranya terdengar lembut.

"Tanggal dua. Benar, kan? Sembilan belas tahun yang lalu kamu lahir," ucap Albania.

Bahkan Asyas melupakan tanggal lahirnya sendiri. Andai Albania tak memberinya kejutan seperti sekarang, barangkali dia tak akan mengingat hari spesialnya. Setiap hari ulang tahunnya selalu sama seperti hari-hari biasa. Tak ada yang istimewa. Orang tuanya masih tetap sibuk seperti biasa.

"Mabruk alfa mabruk... 'alaika mabruk... Mabruk alfa mabruk... 'alaika mabruk... Mabruuk alfa mabruuk yawm miiladik mabruuk...."

Seketika suara berisik terdengar.

Albania berbalik sembari memeluk kadonya. Asyas menoleh. Keduanya tersentak mendapati banyak teman-teman santri putra yang kemudian masuk ke kelas sembari mendendangkan alfa mabruk yang diramaikan oleh suara dari ember, panci, gayung, wajan dan segala macam perlatan yang diperoleh dari dapur.

Terakhir, seorang santri putri yang sangat Albania kenali hadir di antara mereka dengan membawa kue tart berwarna cokelat yang lumayan besar. Lilin ulang tahun yang ke-19 menyala manis di tengah kue tersebut.

Albania merekatkan pelukannya pada kado itu. Asyas seolah tak peduli lagi terhadap perempuan di sebalahnya. Dia tersenyum saat Madinah mendekat ke arahnya.

"Sanah Helwah, Asyas," ucap Madinah lembut.

"Makasih, Medina."

"Tiup lilinnya... tiup liliinnya lalu makan kuenya... makan kuenya... makan kuenya sekarang juga!" Para santri putra sangat berisik. Albania merasa sedang berada di antara kesalahan. Tidak seharusnya dia memberi kejutan Asyas sekarang, disaat yang tidak tepat.

Asyas meniup lilin ulang tahunnya, lalu kembali tersenyum pada Madinah. Bahkan baru kali ini Albania melihat lekukan senyum manis itu yang didedikasikan untuk seseorang yang sangat spesial. Begitulah sebuah rasa ketika tengah bekerja.

"Habede, Bro!" Hilmi menepuk pundak Asyas.

"Nggak lucu, ya. Saya nggak boleh masuk kamar," kata Asyas.

"Nggak usah marah, Al. Biasanya kamu tidur di perpustakaan kok," sahut yang lain.

"Harapannya apa, Yas? Cepet nikah sama Madinah?" tanya sebuah suara.

Asyas tertawa kecil.

Albania memejamkan matanya sebentar, lalu berpura untuk tetap kuat. Ingin rasanya menghilang saat ini juga tetapi dia terlanjur malu. Bergerak dari tempatnya saat ini hanya akan membuat orang lain tersadar dengan kehadirannya yang sama sekali tak dihargai oleh Asyas.

"Ini untukmu." Madinah memberikan sebuah kotak pada Asyas.

Laki-laki itu langsung menerimanya. "Sekali lagi makasih. Makasih untuk kejutannya."

"Ada apa ramai-ramai?" tanya seseorang tiba-tiba.

Semua santri yang berada di dalam kelas menoleh. Mereka semua langsung mundur beberapa langkah dan menunduk saat pria berpeci hitam serta membawa kitab Tafsir mulai memasuki kelas. Kedua matanya menatap tajam anak-anak di depan.

"Begini cara kalian merayakan ulang tahun? Laki-laki dan perempuan bercampur jadi satu? Kang Zaki. Teman Gus Nabil bertanya.

Sungguh, seharusnya hari ini bukan jadwal Kang Zaki. Melainkan Gus Nabil. Tetapi mereka tidak paham, kenapa guru muda yang terkenal galak itu harus menggantikan jadwal tanpa ada pengumuman terlebih dahulu. Guru yang sangat dipercaya oleh Gus Ismail itu akan sangat berbahaya bila melaporkan kejadian ini pada Gus Ismail.

"Lalu apa bedanya asrama dengan di luar? Bagaimana kalau Gus Ismail melihat ini? Dan kamu Madinah sebagai ketua di asrama putri, saya memang terlihat tak memperhatikan tapi saya tahu tentang surat-suratmu yang ditulis untuk Asyas dan sebaliknya. Berhenti sekarang atau kami membuat surat pengeluaran kalian dari ma'had.

"Silakan rayakan ulang tahun teman kalian, tapi tidak dengan cara bercampur seperti ini. Ini pesantren. Ini bukan tempat kalian bebas-bebasan tanpa peraturan. Kalian santri."

"Silakan duduk di tempat masing-masing dan buka kitabnya.

Kang Zaki duduk di kursi depan. Para santri mulai berjalan ke bangku masing-masing.

"Eh, kadomu gimana?" bisik Nisa setelah Albania duduk di depannya.

"Ini masih kubawa. Allahu a'lam gimana ini," kata Albania.

"Mending ngado aku yang jelas diterima."

"Iya ntar kukado bom atom."

"Astaga itu mulut."

Albania membuka kitab tafsirnya. Baru kali ini dia mendengar suara marah Kang Zaki yang sebenarnya lumayan seram.

🍁🍁

Usai mengaji kitab, seperti biasa Albania tak pernah meninggalkan kelas terlebih dahulu. Salah satu alasannya, karena dia enggan piket. Albania paling tidak suka dengan yang namanya piket kecuali piket halaman depan yang ringan.

Dia meletakkan kepalanya di atas meja. Memejamkan mata sebentar mencoba mencari ketenangan.

"Woi," sapa seseorang.

Gadis itu menoleh. Dia terkejut mendapati Asyas yang berdiri di depannya.

"Mana kadonya?"

"Hah?"

"Gue nggak punya banyak waktu."

"Kamu bilang apa tadi?"

"Ya udah kalau nggak jadi." Asyas berbalik.

"Astaga ini orang kaku banget kayak kanebo kering." Albania berdiri.

Asyas menghentikan langkah, menghadap perempuan itu.

"Terserah sih suka atau nggak. Yang penting selain kado, ini adalah hadiah karena kamu udah bantuin aku."

"Apa pun itu bakal gue jaga." Asyas langsung mengambil kotak dari tangan Albania, lalu pergi tanpa mengucapkan terima kasih terlebih dahulu.

Albania tersenyum, setidaknya dia sudah berhasil menjalankan satu misi ini. Ia kira Asyas enggan menerima, tetapi dia malah meminta. Ah, pikirannya memang kerapkali sulit ditebak. Bagai kedalaman samudera yang tak diketahui, Asyas bagian dari misteri.

Apdet 💙

Bila ada kesalahan, sila sampaikan dengan baik. Jangan lupa tinggalkan vote dan komentar.

Jangan lupa tinggalkan vote dan komentarnya, manteman 💙💙

Salam

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro