Bab 15 || Jiwa Para Pencinta
Karena kau terlalu mencintainya, itu sebabnya Tuhan ciptakan perpisahan untuk menyampaikan bahwa yang abadi bukan cintanya, melainkan cinta-Nya.
"Dunia adalah ladang bagi kehidupan di akhirat."
Isa as banyak tertawa sementara Yahya as banyak menangis. Yahya kemudian berkata pada Isa, "Kau percaya pada semua tipu muslihat halus ini sehingga kau banyak tertawa?"
Isa menjawab, "Sementara kau telah menutup matamu dari pertolongan dan cinta kasih Tuhan yang subtil, misterius, dan agung sehingga kau banyak menangis?"
Seorang wali Allah hadir dalam percakapan tersebut, ia kemudian bertanya kepada Allah: "Di antara keduanya, manakah yang memiliki martabat lebih tinggi?" Allah menjawab, "Yang paling baik prasangkanya kepada-Ku." Artinya "Aku menurut prasangka hamba-Ku terhadap-Ku."
Semua hamba memiliki imajinasi dan gambaran tentang diri-Ku. Dalam bentuk apa pun ia mengimajinasikan-Ku, aku tepat sesuai bentuk itu. Aku adalah hamba bagi khayalan yang memiliki Tuhan, dan aku tidak memikirkan hakikat yang tak memiliki Tuhanq. Sucikanlah imajinasi kalian wahai hamba-hamba-Ku, karena itu adalah tempat kediaman-Ku dan tempat bersemayam-Ku.
Begitu kata Rumi dalam kitabnya, Fihi Ma Fihi. Albania membuka lembar selanjutnya dalam buku terjemahan yang sekarang tengah di pegang. Terlihat sebuah kertas yang terlipat di antara lembar-lembar kuning itu.
Ini untukmu....
Kalau semesta udah mempertemukan, aku mau nanti kita ngaji Rumi bersama. Di Ma'had-ku—Nadwatul Ummah, kitab-kitab Rumi dikaji, Na. Kalau kamu tahu, Gus-ku itu mengidolakan sosok Rumi sejak dikenalkan oleh ayahnya ketika beliau umur lima tahun.
Kelak, aku ingin mengenalkan Rumi pada anak kita juga.
-KNS
Albania tersenyum pahit, lalu kembali menaruhnya di sana. Seperti biasa, usai mengaji pagi dia tak langsung meninggalkan tempat. Ditutupnya buku, lalu menaruh kepala di atas meja. Beberapa tahun lalu, mereka sering berdiskusi tentang Rumi, berbicara banyak tentang Rumi, membisikkan kata-kata manis dari Rumi yang ditunjukkan pada Tuhannya.
Berdiskusi tentang satu sufi yang diidolakan memiliki kesan tersendiri dan Albania tentu menyukai kata-kata lembut Purnama Nadwah-nya yang manis saat memberitahu tentang beberapa hal yang belum diketahui. Dan sekarang dia hanya mampu membaca terjemahan dari buku yang didapatnya dari sang Purnama Nadwah. Dari salah satu santri Nadwatul Ummah. Rubaiyat, Diwan Syams Tabrizi, Fihi Ma Fihi dan beberapa kitab yang ditulis Rumi barangkali telah dikajinya di asrama.
Perempuan itu menarik napas, mendongak melihat jam dinding yang tertempel di tembok aula. Pukul 08.00, ia harus segera ke ndalem menemani Umi Hanin belanja. Entah mengapa Gus Nabil tidak menyuruh santri ndalem untuk menamani ibunya, tetapi dengan begini Albania bahagia. Ia bisa keluar asrama meski sebentar.
Gadis itu berjalan cepat menuju rumah keluarga sembari membawa buku Fihi Ma Fihi-nya. Rasa malas ke kamar mengharuskan perempuan itu kesulitan saat harus membawa dua kitab sekaligus. Namun bila ke asrama, pertemuan dengan Madinah hanya membuatnya sedikit kesal. Ya, Albania masih kesal dengan perkataan demi perkataan yang keluar dari mulut Madinah saat kemarin.
Sekitar enam menit kemudian, ia mulai memasuki asrama pusat Umar Bin Khattab, di mana rumah ndalem berada di sana. Mobil hitam terparkir di halaman depan bangunan bernuansa hijau. Kemungkinan, kendara roda empat itu akan dipakai Umi Hanin untuk belanja.
Dilepasnya sandal jepit. Albania mulai menginjakkan kaki di teras, lalu mendekat ke arah pintu kayu cokelat yang terbuka begitu saja. Suara berisik dari dalam tampak terdengar, barangkali keluarga sedang berkumpul.
"Assalamualaikum," ucap Albania.
Lama tak ada jawaban. Dia masih menunggu di depan. "Assalamualaikum." Kembali diulang salam tersebut.
"Waalaikumussalam." Seorang perempuan berbaya cokelat muda keluar. Dia menatap Albania sebentar, lalu mendekat seraya tersenyum.
"Ayo masuk, mau ketemu Umi, ya?" tanyanya lembut.
Albania mengangguk. Gadis berkulit putih yang tampak seusianya itu menarik tangan Albania dan mendudukannya di sofa. Dia menyodorkan air mineral. "Diminum dulu, ya. Umi masih di kamar mandi."
"Iya, Fa, nanti aku ikut ke bandara. Janji, ya, harus pulang." Sebuah suara terdengar keras dari ruang keluarga. Seperti membaca sebuah pesan.
"Tapi kamu kenapa balik lagi ke Nadwatul Ummah?" Sambungnya lagi.
"Astaga perhatian banget ini cewek," komentar suara itu.
"Ish, Mas Nabil!" Gadis itu merajuk. Ia langsung berbalik meninggalkan Albania yang masih di ruang tamu. Terlihat bahwa dia hendak mengambil ponsel dari tangan sang kakak. Tetapi Gus Nabil langsung mengangkatnya ke atas, dan perawakannya yang tinggi benar-benar sukses menggagalkan rencana perempuan itu untuk mengambil ponselnya.
"Kembaliin, nggak!" Gadis itu masih berusaha meraih. Pipinya memerah menahan malu sekaligus kesal pada kakaknya.
Albania yang duduk di ruang tamu dan kebetulan pintu ruang keluarga terbuka sehingga bisa melihat drama di dalam, hanya bisa terdiam. Yang diyakini perempuan itu merupakan adik Gus Nabil, yang katanya bernama Hilyatul Aulia. Albania hanya mengerti bahwa Gus Ismail memiliki tiga orang anak dan yang terakhir adalah perempuan.
"Sek, kamu bahas apa aja sama dia?" Nabil masih terus menggulir layar gawai adiknya.
"Ish nggak suka, ya, Mas Nabil kepo banget, sih. Ini kan privasi. Kembaliin ponselku, Mas."
"Umi, Mas Nabil jahat banget Mi," teriak gadis itu.
"Cih, yang ada ntar kamulah yang dimarahin chat-an sama yang bukan mahram." Laki-laki bersarung hijau bergaris hitam itu tertawa.
"Suka gitu dih, siniin nggak? Aku bilang mas Hamdan nih," ancam Hilya.
"Sana ke kamar, dia lagi sama istrinya." Nabil menjulurkan lidahnya membuat Hilya semakin kesal.
"Balikin, Mas. Sana chat-an sama Mbak Ayas. Nggak dibales, ya? Istrinya banyak tugas dari kampus, ya? Nggak ada kerjaan, ya?" cecar Hilya.
"Yee apaan sih. Lain kali dipola ponselmu, Sayang." Gus Nabil mengembalikan gawai adiknya, lalu sedetik kemudian pandangannya terjatuh pada Albania.
"Albania udah dari tadi? Tunggu sebentar, ya. Umi lagi siap-siap," ucap Gus Nabil.
"Nggeh, Gus."
Keluarga ndalem memang sangat ramai ketika berkumpul. Keluarga. Bahkan tadi Albania sempat berpikir bahwa sepertinya sangat asik memiliki keluarga yang lengkap, perhatian dan saling respect satu sama lain. Melihat adik Gus Nabil yang dijailin oleh sang kakak, ingin rasanya dia berada di posisi seperti itu barang sebentar. Namun, bukankah ia sedang berusaha menerima kehendak-Nya. Ia tak boleh berandai-andai lagi tentang sesuatu yang tidak mungkin. Bukankah dengan memiliki ibu, kakek dan nenek saja sudah cukup? Orang ahli agama bilang, bahwa kita semua harus bersyukur terhadap segala skenario-Nya dan ternyata yang dijalankan tak semudah ucapan belaka.
Untuk saat ini bahkan Albania tak pernah lagi mendengar kabar kakaknya yang kuliah di Yaman. Tujuh bulan lalu, dia mengabari sang ibu bahwa seseorang telah datang memintanya. Mungkin ia telah menikah dan Albania tak pernah peduli lagi. Ia hanya yakin ketika nanti kakak kembali ke Indonesia, pasti mereka akan bertemu. Entah kapan.
"Albania, maaf ya sudah menunggu. Ayo ke mobil," ajak seorang wanita bergamis ungu muda sembari mencangklong tas.
"Iya, Umi." Albania bangkit setelah meletakan kitabnya di atas etalase dekat sofa ruang tamu. Dia akan menaruhnya di sana sementara. Bagaimana pun juga, ia tak mungkin membawanya ke pasar.
"Gus Nabil, Umi tunggu di mobil," ujar Umi Hanin.
"Iya Mi, Nabil udah siap dari tadi." Laki-laki berkaus hitam sileut Cak Nun itu menyabet kunci mobil dari meja ruang tamu, lalu mereka mulai keluar.
Albania duduk di kursi belakang, sedangkan Umi Hanin di depan bersama Gus Nabil yang mengendarai mobil hitamnya. Perlahan, kendaraan itu mulai keluar melalui gerbang depan. Ah, pergi bersama keluarga ndalem berhasil membuat Albania sedikit canggung. Dia masih tak mengerti kenapa kemarin tidak minta ditemani Nisa, setidaknya ia memiliki teman berbincang saat di jalan.
"Albania betah mondok di sini?" tanya Umi Hanin.
"Insya Allah, Umi," sahut Albania lembut.
"Nanti Bahtsul Masail, Albania temani Umi ya ke Nadwatul Ummah. Ada Madinah juga yang nanti nemenin.
"Nggeh, itu kira-kira kapan ya, Umi?"
"Kapan ya, Gus?" Umi Hanin bertanya pada Nabil.
"Dua minggu lagi insya Allah."
"Gus Nabil itu betah di Jogja, Na. Dia itu kalau udah di sana susah disuruh pulang. Apalagi sekarang udah ada istrinya di sana."
Nabil terlihat tersenyum.
"Saya mau tahu istri Gus Nabil, Umi," ucap Albania. Percayalah, dia hanya tengah berusaha mencairkan suasana. Tidak enak juga bila hanya menjawab nggeh-nggeh saja.
"Nanti di Jogja pasti ketemu. Ning Ayas masih kuliah semester empat. Dia masih di Nadwatul Ummah."
Istrinya masih muda banget ternyata. Batin Albania.
"Wah, berarti lama Gus Nabil belum bertemu Ning Ayas," komentar Albania.
"Banget itu." Nabil tertawa renyah.
"Rindu ya, Gus," kata Umi Hanin.
Nabil terkikik. Albania hanya tersenyum menyaksikan bagaimana manisnya hubungan kedua orang di depannya.
🍁🍁
Setelah sekitar hampir satu jam perjalanan, akhirnya sampai di pasar swalayan. Setelah Nabil memarkirkan mobilnya, mereka berjalan menuju keramaian untuk mencari bahan-bahan perlengkapan yang Umi Hanin butuhkan.
Albania berjalan di sebelah Umi Hanin, sedangkan di belakangnya laki-laki bersarung mengikuti langkah mereka.
"Albania, kalau mau buah ambil aja, ya. Nanti taruh di ranjang," ucap Umi Hanin.
"Iya, Umi." Albania merasa segan. Kenapa ibu ndalem sangat baik padanya. Padahal yang dilakukan gadis itu di asrama hanya melanggar banyak peraturan saja.
Albania membantu Umi Hanin memilih sayur dan buah. Beliau pun memesan beberapa karung sayur untuk persediaan para santri hingga beberapa hari ke depan. Baik santri maupun keluarga, makan dari lauk yang sama dan bahan yang diperoleh dari pasar yang sama. Katanya, Gus Ismail paling tidak suka saat beliau makan dengan lauk yang enak sedangkan para santri makan dengan lauk apa adanya.
Padahal menurut Umi Hanin, tak apa bila hanya sekali dua kali. Namun begitulah Gus Ismail yang selalu menganggap santri-santri sebagai anaknya sendiri. Bagi beliau mereka adalah sebagian dari dirinya yang harus dijaga, dididik dan diberi cinta.
Albania memperhatikan diam-diam Gus-nya yang sedang memilih buah pear. Setelah dimasukkan ke plastik, ditimbangnya buah tersebut lalu Gus Nabil mulai mengambil uang dari dompetnya untuk membayar buah tersebut.
Perempuan itu segera memfokuskan kembali dirinya menemani Umi Hanin yang tengah membeli daging segar. Beberapa kresek sayur khusus ndalem, dibawa oleh Albania karena ia sendirilah yang meminta.
"Sinikan sayurnya biar saya yang bawa," pinta Nabil.
"Nggak perlu, Gus. Ini ringan kok. Lagian nanti ditaruh di mobil, kan?"
"Iya biar saya yang naruh. Sini." Kali ini nada suara Gus Nabil agak memaksa.
Albania memberikan kresek itu pada Gus-nya, lalu diambil oleh Nabil. "Ini untukmu. Nanti kasihkan sama temen-temen kamarmu juga." Pemuda itu mengulurkan buah pear tadi pada Albania.
"Nggak perlu, Gus. Ini ngerepotin."
"Nggak, kok. Kamu udah nemenin Umi. Ambil cepet, saya mau ke mobil. Saya pengen ngerokok."
Albania akhirnya mengambil buah tersebut sebelum akhirnya Gus Nabil melangkah pergi meninggalkan dia dan Umi Hanin. Ah, berdekatan lama-lama dengan Nabil membuat perasaannya repot juga. Akhirnya dia benar-benar mengidolakan sosok laki-laki itu. Barangkali beginilah perasaan santri putri lain saat berhadapan dengan seseorang yang sangat dihormati sekaligus dikagumi.
"Mbak, Gus Nabil mau ke asrama Mbak."
"Ah, Gus Nabil mau mengunjungi komplek, ya?"
"Ayo ke kantor. Di sana ada Gus Nabil."
Dulu, Albania merasa risih dengan perkataan-perkataan santri putri. Menurutnya keterlaluan.
"Ish apaan sih kalian. Padahal beliau biasa aja," desisnya suatu ketika.
Hingga sekarang mulai sadar bahwa dia telah menjadi bagian dari mereka. Kebaikan-kebaikan Nabil, kelembutan laki-laki itu, beberapa sifat yang dimiliki agak sama dengan seseorang di masa lalunya. Namun ia sadar bahwa Purnama Nadwah tak akan pernah mendapat ganti. Bagaimana mungkin laki-laki itu berhasil mencuri hatinya ketika dia selalu awas pada pencuri-pencuri di luar sana. Cinta kerapkali bersikap segila itu. Ia menjadi Tuan bagi budak yang mendambakan sebuah pertemuan, kerinduan dan keindahan.
Update 😊
Bila ada kesalahan, sila sampaikan dengan baik. Jangan lupa untuk tinggalkan vote dan komentarnya, ya! 💚
Salam
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro