Bab 13 || Antara Lembaran Fathul Jawad
Kelak, kau akan sadar bahwa bagian terberat dari mencintai adalah sabar.
—Cak Nun
Usai menata kasur di dekat dinding, Albania menyapu lantai kamar. Saat nge-pel nanti bagian Nisa. Setelah semua anak Aliyah berangkat sekolah, asrama menjadi sepi hanya tinggal para santri yang mengabdi. Jadwal ngajar mereka tidak setiap hari karena bergantian dengan santri lain. Itu pun hanya ketika pagi dan malam dan tidak semua manut peraturan. Banyak dari mereka yang tetap memilih mengaji daripada terjun untuk mengajari.
Mengabdi di sini barangkali hanya sebuah nama. Selebihnya mereka mengejar makna pada lembaran-lembaran kitab yang masih kosong dari pegon. Meskipun sudah mondok tujuh tahun, tetapi rasanya masih sungkan bila memang harus terjun menjadi guru. Mereka masih merasa kurang dalam ilmu dan sebisa mungkin satu tahun terakhir digunakan untuk mengejar beberapa ketertinggalan.
"Albania, ada Kakek kamu di depan," ucap seorang santri yang baru saja berdiri di ambang pintu.
Albania yang tengah menyapu, mengangkat kepala. "Hah? Bener?" Dia tampak terkejut. Bagaimana mungkin kakeknya itu ke sini.
"Iya, cepet sana!"
Perempuan itu langsung menyabet jilbab biru yang tadi dutaruh di pintu lemari. Dia memakainya lalu segera keluar untuk menemui sang kakek yang telah berada di asrama depan. Entah mengapa tiba-tiba dia ke sini, bukankah Albania berjanji bahwa dia yang akan selalu mengunjungi rumah itu. Bahkan baru tadi malam mereka bertemu.
Gadis itu menyipitkan matanya saat sudah sampai di asrama depan. Kacamatanya tertinggal di kamar dan ia tak bisa menatap dengan jelas orang-orang yang dilihatnya bila benar-benar tak didekati. Semua yang ditatap terlihat blur. Minus 4,3 membuat pandangannya benar-benar terganggu.
Perempuan itu terus berjalan, memperhatikan dengan detail seorang laki-laki bersarung hitam serta berkoko putih tulang yang berdiri di depan poa sembari membawa kresek hitam. Dari rambutny yang terlihat putih sangat mudah dikenali. Ya, dia Rasyid.
"Kakek!" teriak Albania.
Lelaki itu menoleh. "Na, ini nasi goreng buatan ibumu. Di dalamnya ada roti dan susu. Kamu makan, ya," ucap sang Kakek setelah Albania berdiri di depannya.
Albania menarik tangan keriput lelaki itu, lalu membawanya duduk di depan pos tak peduli siapa yang tengah menjaga di dalamnya. Setahu dia bila pagi sampai zuhur nanti adalah jadwalnya santri putri, sedangkan nanti setelahnya digilir santri putra.
"Kakek nggak perlu repot-repot ke sini, biar Alban yang ke sana. Alban mau ketemu mama dan nenek. Kalau kakek ke sini, Alban nggak ada alesan buat manjat dinding asrama," ucapnya.
"Nggak usah kabur-kabur, Na. Tenang di sini. Kakek yang akan sering ke sini jengukin kamu. Belajar yang bener biar kamu bisa kuliah di Yaman atau Mesir. Kamu harus berhasil menjadi manusia." Sang Kakek memberi nasihat. Albania mendengarnya. Selalu ini yang diucapkan berulang-ulang. Kuliah di luar negeri, memperbaiki akhlak, kemudian jadilah manusia.
"Kakek denger selama kamu tinggal dengan ibu Nia, kamu nggak pernah lagi keluar pakai jilbab. Kenapa, Na? Katanya kamu bukan seperti anak pesantren?"
"Ah itu, nggak kok. Alban cuma lagi males aja, Kek. Kan sekarang Alban udah bener lagi." Gadis itu tertawa renyah.
"Ya udah Alban belajar yang bener. Kakek pulang," pamitnya.
"Kek, Alban mau tanya. Apa menurut kakek semua akan baik-baik aja walaupun Alban tak lagi memiliki ayah?"
Wajah tua Rasyid tampak semakin berkerut mendengar pertanyaan cucunya. Barangkali dia pun berpikir, pria bejat mana yang tega meninggalkan anaknya yang baik. Dia pergi tanpa memberi dan mengucapkan apa pun. Dia meninggalkan Albania begitu saja.
"Dia itu bajingan sekali, kan, Kek, bahkan aku nggak mau bertemu dia walau aku mengakui, kehidupan terasa semakin berat setelah kepergiannya. Impianku dihancurkan olehnya dan cita-citaku dibiarkan terbuang karenanya, menurut Kakek apa aku bisa meski tanpa dia?"
"Na, yang harus Alban ingat bahwa Alban masih punya Allah dan jadilah tuan atas diri Alban sendiri. Kamu harus punya keyakinan untuk mimpi-mimpimu dan jangan pernah mau dikalahkan oleh nasib. Kakek tau kamu lebih bisa, kamu lebih mampu. Jangan menyerah, Na."
"Bahkan Alban nggak pernah mau lagi menatap poto pria menjijikan itu yang masih mama simpan," desis Albania.
"Sudah, jangan terlalu membenci. Tenangkan diri kamu, kakek pulang dulu."
Albania mencium pucuk tangan keriput itu, lalu membiarkan kakeknya melangkah menuju gerbang keluar asrama, sedangkan dia masih duduk mencengkram kresek pemberian sang kakek dengan semakin kuat. Keluarga hanyalah omong kosong. Mereka hanya ilusi bagi yang tak memilki.
"Albania," seseorang dari dalam pos memanggil.
Gadis itu menoleh. Dia mendapati Madinah yang kemudian langsung duduk di sebelahnya. "Na, maaf ya kalau tadi aku tak sengaja mendengar obrolanmu dengan Kakek. Tapi ada satu hal yang ingin aku sampaikan, aku memang tak mengerti seperti apa keadaan keluargamu tapi bukankah tidak baik membenci ayah sendiri?" katanya lembut.
"Tidak baik bagi mereka yang memiliki ayah yang bertanggung jawab. Kamu nggak akan pernah paham sebelum benar-benar berada di posisiku, Medina."
"Tapi bagaimana pun juga dia yang udah mengurusi kamu sejak kecil."
"Hah? Sejak kecil? Jangan sok tahu, ya. Bahkan aku yang tinggal serumah dengan dia saja tak pernah tahu ke mana dia saat berangkat pagi pulang pagi. Lalu ketika sampai rumah dia hanya membuat keributan dengan mama, dan menurutmu siapa yang mengasuhku kalau bukan mama yang banting tulang untuk aku dan kakak?" Suara Albania naik beberapa oktaf. Wajahnya menyimpan kesal luar biasa.
"Dengarkan aku, ya, nggak semua orang diberi kesempatan oleh Tuhan memiliki ayah yang baik. Dan buktinya aku. Tolong, jangan pernah menasihati masalah yang kamu tidak pahami situasinya, karena aku sudah tidak bisa dinasihati." Albania menekankan perkataannya lalu bangkit untuk segera pergi. Namun, langkahnya sempat terhenti sedikit mendapati remaja bersarung cokelat serta berkaus merah yang entah sejak kapan berdiri di dekat pos.
Asyas. Bila sejak tadi dia hadir di antara perdebatan Albania dan Madinah, kenapa dia hanya diam dan enggan merelai.
🍁🍁
Kata Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, sang ulama penulis kitab Miftah Daaris Sa'adah, beliau berkata dalam lembaran ke 824, katanya "Allah memberitahu tentang keluasan kasih sayang dan karunia-Nya dengan menutupi dosa-dosa hamba-Nya. Jika ingin, Tuhan bisa saja memperlihatkan dosa seorang hamba hingga ia malu kepada yang lain. Tetapi Tuhan tidak sejahat itu.
Tuhan tutupi dosa-dosa hamba-Nya dengan kasih sayang-Nya yang meski Dia menyaksikan hamba-Nya bermaksiat melakukan dosa. Firman-Nya dalam sebuah atsar, "Hamba-hamba-Ku terang-terangan berbuat dosa di depanKu tetapi Aku tetap memberinya makan."
Adakah rasa kasih sayang yang melebihi kasih sayang ini? Adakah kemurahan yang melebihi kemurahan-Nya?
Beberapa kutipan penting hasil penjelasan guru itu dicatat di antara sisi-sisi kitab dan selebihnya pada beberapa carik kertas yang kemudian diselipkan antara lembaran-lembaran kitab.
Albania mendesah pelan. Perempuan berjilbab biru itu menaruh kepalanya di atas meja setelah pengajian usai. Semua santri telah meninggalkan kelas dan di dalam ruang yang lumayan luas itu hanya tersisa dia sendirian. Kipas angin yang tergantung di atap masih setia berputar berkolaborasi dengan sepoi angin berusaha menerbos jendela yang terbuka. Ingin melanjutkan sketsa yang belum selesai, tapi kertas tertinggal di kamar.
Sesaat, Albania mendapati kitab yang tergelatak di atas kursi. Kepalanya terangkat menatap kitab Fathul Jawad yang ditinggal begitu saja oleh pemiliknya. Albania bangkit, lalu berjalan menuju bangku tersebut untuk melihat sang pemilik. Bagaimana mungkin seseorang tega meninggalkan kitab berharganya di sini.
Perlahan, Albania membuka sampul kitab yang tersebut. Di sana terdapat nama Madinah Al-Munawwarah dengan font arab yang sangat rapi. Pernah sekali Albania duduk dalam satu pengajian Gus Ismail di sebelah Madinah, tetapi tulisan gadis itu tak serapi nama di balik sampul kitabnya.
Kembali dibuka lembar selanjutnya. Dia hanya ingin meminjam untuk memenuhi kitab fiqihnya yang masih kosong beberapa halaman dari makna. Sesaat, ia menatap lembaran kertas berwarna kuning yang terselip di antara halaman 20 dan 21.
Halo pemilik kitab Fathul Jawad ....
Medina, bagaimana kabar? Akhir-akhir ini sulit sekali rasanya bertemu denganmu. Ada banyak yang ingin aku ceritakan, ada banyak yang belum kamu ketahui tentang dia, kan?
Medina, apa pun yang terjadi tolong jangan salah paham. Aku juga tak mengerti kenapa tiba-tiba harus terlibat di antara kerumitan ini.
Apa pun yang terjadi, aku akan tetap menanggalkan janjiku. Setelah selesai dari pengabdian aku akan datang pada orang tuamu. Medina, berjanjilah untuk tetap percaya padaku. Bukankah kamu tahu bahwa aku tak bisa berpaling dari selainmu?
M. Asyas Al-Hasan
Albania tersenyum miring. Dia menaruh kembali kertas tersebut di antara lembaran kitab. Sulitnya berkomunikasi menjadikan para santri sangat kreatif untuk melakukan segala cara asalkan kabar dari mereka dapat menembus dinding asrama.
Namun, surat-suratan masih terdengar lucu oleh telinganya. Albania yang tak pernah melakukan kegiatan seperti itu tampaknya tidak tertarik untuk ikut campur urusan mereka berdua. Dan ia pun tak tertarik untuk melporkannya pada pengasuhan. Kerinduan memang kerapkali tak dapat ditoleransi. Bagaimana mungkin dia menjadi hamba yang jahat dengan melaporkan kedua insan pada yang berwenang dan menghentikan kegiatan yang sebenarnya romantis itu.
Gadis itu membenarkan letak kacamata, lalu kembali menaruh kitab di laci meja, menggugurkan niatnya untuk meminjam barang sebentar.
Sesaat pandangannya teralih pada seseorang yang tiba-tiba berdiri di ambang pintu. Gadis itu lantas menyeringai mendapati remaja berjas hitam almamater serta bersarung hijau muda yang terdiam di sana. "Balik lagi? Bukannya pengajian udah usai, Asyas?"
"Kamu ngapain di bangku Medina?" tanya Asyas tanpa berminat menjawab pertanyaan Albania.
"Ah nggak boleh, ya. Baiklah, lagian aku udah mau pergi." Perempuan itu memeluk kitabnya lalu menyeret langkah menuju pintu keluar.
"Bisa keluar, kan? Aku mau lewat." Albania berkata datar, mendapati Asyas yang masih terdiam di tengah pintu.
Detik berikutnya, Asyas segera masuk ke kelas sedangkan Albania langsung keluar meninggalkan lelaki itu sendirian. Masih banyak pertanyaan tentang perempuan bermata sendu itu. Namun, Asyas tak memiliki keluasan tuk mencari sebuah jawaban di antara banyak kesulitan. Asrama yang ketat tak memberi sedikit pun ruang kebebasan tuk mencaritahu tentang sebenarnya dia.
Apdet lagi 💚
Jangan lupa tinggalkan vote dan komentarnya, ya! Bila ada kesalahan sila sampaikan dengan baik.
Salam
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro