Bab 11 || Ketika Berjumpa
Wahai pemilik Al-Quds, Syam dan Madinah, renggut bahagiaku bila ia menjadi sebab melupakan-Mu.
Entah yang keempat atau kelima dalam tahun ini Tuhan menghadiahkan perjumpaan dengan wanita yang sangat dikasihi. Wanita yang di bawah telapak kakinya, surga berada di sana.
Gadis itu tersenyum. Ingin meneteskan air mata, tetapi nahasnya dia telah benar-benar lupa kapan terakhir menangis. Setelah menemui kepergian beberapa tahun silam, dia tak telah berevolusi untuk tak pernah meneteskan kristal beningnya.
"Mamah baik-baik aja, kan? Sekarang Albania di sini. Mamah tahu, kan, di dekat sini ada ma'had Umar Bin Khattab dan sekarang Albania tinggal di sana." Albania berjongkok di depan sang ibu. Dia memegang tangan kanan wanita itu lembut.
"Bagaimana dengan biayanya, Nak? Maafkan mama yang nggak bisa membantu apa-apa untuk Albania." Wanita itu tampak berkaca-kaca. Dari kedua mata sayunya terlihat butiran yang tertahan siap untuk ditumpahkan.
"Mama nggak perlu minta maaf. Mama masih bertahan sampai sekarang demi Alban saja itu lebih baik. Mah, Alban janji Alban akan kuliah, Alban akan mengubah kehidupan kita. Alban akan memperbaiki perekonomian kita dan Alban akan membuktikan pada pria bejat itu bahwa Alban mampu meskipun tanpa kehadiran dia," jelas Albania. Sungguh di depan sang mama dia harus terlihat memiliki harapan, dia harus memiliki cita-cita.
Wanita bernama Aruna itu tersenyum tulus. "Tapi Alban masih memegang janji, kan, bahwa Alban nggak akan pernah membencinya?" tanyanya.
Albania menggeleng pelan. Bahkan dia tak perlu berpikir panjang untuk memberikan jawaban mengecewakan itu. "Maaf, Mah, Alban sudah berada pada puncak kebencian paling tinggi. Maafkan Alban yang belum bisa menjadi pemaaf seperti mama. Barangkali komposisi hati kita memang berbeda. Hati Mama terbuat dari sutra sedangkan hati Alban terbuat dari api. Mah, maafkan Alban yang sampai detik ini belum pernah mampu memaafkan pria bajingan itu."
Remaja itu menunduk. Dia tersenyum kecut tak berani memandang wajah mamanya. Memori yang dapat menampung banyak kejadian itu memaksanya kembali mengulang kejadian empat tahun silam. Tentang kepergian yang menyakitkan, tentang kehilangan yang membuat hatinya patah tak berkesudahan. Bagaimana mungkin seseorang yang selalu disebut dalam doa, seseorang yang dijadikan cinta pertama melangkah menjauh karena tujuan yang tak lagi sama. Meninggalkan sesak yang menusuk, pertanyaan tanpa jawaban dan luka yang sangat mendera.
Dia sama sekali tak menoleh. Dia pergi menuju tujuan barunya yang sangat Albania benci.
"Albania Qur'annya sudah sampai mana?" Tiba-tiba lelaki berusia sekitar 70 tahun keluar dari salah satu kamar. Terlihat rambutnya yang sudah memutih, tatapannya tak lagi tajam seperti dulu. Ya, namanya Rasyid. Dia kakek Albania yang tinggal bersama Aruna di gubuk kecil ini.
"Sebentar lagi, Kek."
"Sudah bisa kalau kuliah di Timur Tengah, Nak?" tanyanya.
Albania terdiam. "Albania janji akan mencari beasiswa untuk ke sana." Dia tersenyum melihatkan semangatnya. Bagaimana pun ia tak mau terlihat sedih. Baginya penghuni gubuk ini adalah jiwa dari setengah nyawanya.
"Ah ya, Alban pamit dulu, ya. Alban janji akan sering-sering ke sini. Mama harus terus sehat, ya, untuk Alban." Gadis itu berdiri. Ia membenarkan letak mukena, mencium tangan sang mama, Kakek, lantas pergi untuk segera pulang ke pesantren.
Dari dulu dia memang tahu bahwa pesantren Umar Bin Khattab memang sangat dekat dengan rumah sang mama. Tepatnya, rumah Aruna ada di seberang jalan setapak pesantren itu, tetapi Albania baru menyadari saat ini bahwa ternyata gedung belakang pesantren bisa menjadi jalan singkat menuju rumahnya. Bukankah dengan seperti ini menjadi lebih baik, ia tak perlu repot-repot keluar melalui pintu depan bila tangga dari gedung belakang memang selalu tersedia. Selama bagian keamanan tak memergoki aksinya, barangkali dia akan terus mengulangi hingga kerinduan pergi membawa banyak harapan masa depan.
Ah, mengingat pertanyaan sang Kakek membuat Albania menjadi dilema luar biasa. Di sepanjang jalan menuju asrama, dia terus memikirkan cita-cita sang Kakek yang ditaruh pada pundaknya. Bahkan sebenarnya ada banyak cucu-cucu yang dimiliki, tetapi Albania lah yang harus menanggung harapan itu. Bagaimana jadinya bila mereka mengetahui bahwa Albania sebenarnya tak lagi memiliki harapan apa pun. Dia berjuang hingga sekarang hanya karena tak ada pekerjaan lain yang dilakukan selain mewujudkan harapan sang mama.
🍁🍁
"Al, tadi loh kamu abis ke mana?" bisik Nisa saat jamaah lain tengah berzikir di antara syahdunya subuh.
"Ketemu mama," sahutnya enteng.
"Hah? Mama? Kamu sambang?" tanya Nisa.
"Mbak Nisa, Mbak Alban, zikir, Mbak! Ngobrolnya bisa lain waktu," ujar salah satu pengurus yang berada di belakang mereka. Yang diketahui dia adalah bagian pengajaran.
Albania menoleh. "Biasa aja kali," sahutnya.
"Ish, nggak usah dijawab kali." Nisa menepuk paha sahabatnya.
"Biar. Sok banget," katanya. Dia terdiam, menunduk menggambar-gambar bulu halus sajadahnya dengan jari telunjuk sedangkan pikirannya telah terbang ke mana-mana. Pada perkataan mamanya, pada semua yang telah dilakukannya terhadap banyak alur yang telah dijalankan.
Tebersit suara dari salah satu ustaz saat menerangkan ngaji kitab kemarin. Katanya Asy-Sya'by "Aku iri kepada Abdul Malik dengan satu kalimat yang diucapkannya. Yaitu, "Ya Allah, sesungguhnya dosa-dosaku tak terhitung banyaknya, tapi (aku yakin) semua dosaku sangat kecil di sisi ampunan-Mu. Maka, maafkanlah aku."
Yang Albania ketahui gurunya itu mengutip dari kitab Rabi'ul Abrar yang sebenarnya kemarin bukan mengaji kitab itu. Beliau hanya menerangkan bagaimana luasnya ampunan Allah terhadap hamba-Nya. Dia sang Maha itu tak pernah sekalipun menutup ruang bagi hamba-Nya yang ingin mendekat, berharap dan berkesah. Dia yang merajai semesta ini dengan lembutnya memeluk hamba hina dina yang ingin lebih mengenal-Nya. Maka sesungguhnya tak ada kasih sayang yang seluas kasih sayang Allah terhadap ciptaan-Nya.
Mendengar penuturan dari gurunya, barangkali membenci pria itu memang sebuah dosa. Perkara yang mungkin sulit diampuni. Tetapi Allah, bagaimana dengan hatinya yang telah patah menatap kepergian yang tak memiliki harapan untuk sebuah kepulangan. Kembali hanyalah ilusi, pertemuan hanyalah angan dan harapan itu telah sirna. Segalanya telah hilang meninggalkan banyak luka yang tak pernah dapat disembuhkan.
🍁🍁
Usai melaksanakan subuh berjamaah, Albania langsung kembali ke kamar bersama Nisa untuk mengambil Tafsir Ibnu Katsir yang akan dikajinya pagi ini. Jadwal tingkat Ulya memang sangat padat, pembahasannya tak lagi santai. Namun demikian, mengaji adalah hobi. Bagi Albania mengaji adalah obat dari kebosanan yang seringkali melanda.
Ngaji Tafsir adalah hal yang paling disukai sejak dulu. Dia yang memegang hafalan, mewajibkan dirinya sendiri untuk memahami substansi yang terkandung dalam banyak ayat-ayat yang diturunkan kepada Rasul Muhammad.
Albania tak pernah sekalipun memahami Al-Quran hanya lewat terjemahan, karena ia sadar bahwa dia yang bodoh sangat membutuhkan bantuan Mufassir untuk memahami kalam yang tak memiliki bandingan dalam hal keindahannya. Sastra tertinggi yang tak akan pernah mampu bila hanya ditafsirkan oleh otak kerdilnya saja. Maka demikian, baginya mengaji Tafsir adalah wajib. Cita-citanya memang ingin mengaji semua kitab Tafsir. Apa pun itu. Di pesantren Umar Bin Khattab ini barangkali akan menjadi jalan untuk meneguk lebih banyak pengetahuan dari para guru yang mengajarkan.
Di jalan setapak menuju kelas Ulya putri yang berada di paling belakang asrama, gadis itu berjalan bersama Nisa. Memeluk erat kitabnya.
Setelah sampai di kelas, Albania menaruh kitab di atas meja sembari menunggu kedatangan sang ustaz. Menikmati angin subuh yang damai, dia keluar berjalan menyusuri koridor-koridor kelas yang mulai ramai dengan lalaran. Alfiyah mereka harus akan disetor saat matahari terbit nanti. Berapa bait pun. Karema katanya, khataman Alfiyah akan dilaksanakan akhir tahun.
Gadis itu menghentikan langkah saat sudah sampai di ujung kelas Ulya. Dia menatap gerbang pembatas yang tak terlalu tinggi. Bibirnya membentuk senyum licik. Begitu ide telah didapatkan, kakinya langsung menaiki gerbang tersebut untuk melihat anak-anak putra yang tengah berlalu lalang menuju kelas mereka masing-masing.
Sebenarnya bukan para santri itu yang ingin dilihat, melainkan ia tengah menunggu seseorang yang pagi ini memiliki jadwal mengajar Imrithi di kelas wustha. Albania sempat tersentak dengan pembagian jadwal bagi mahasantri yang mengabdi itu. Bagaimana mungkin mereka-mereka sudah mampu menerangkan imrithi pada yang lain, tetapi demikian barangkali itu hanyalah program sementara yang diyakini akan berakhir bila memang telah sampai pada batas satu tahun.
"Hei, Mas Asyas!" sapa Albania ketika kedua matanya menangkap sosok remaja bersarung cokelat serta berkoko putih, berjalan sembari memeluk kitab kuning yang tak begitu tipis.
Laki-laki itu menghentikan langkahnya tetapi tak menjawab sapaan Albania.
"Asyas, kamu tahu nggak kalau membahagiakan orang lain itu termasuk ibadah?" tanya Albania bisik-bisik. Sesekali dia menoleh ke belakang untuk memastikan bahwa belum ada ustaz atau pun ustazah yang datang ke kelas-kelas.
"Tahu," sahutnya, dingin.
"Ya kalau tahu balas perasaanku, dong, buat nambahin pahalamu," kata Albania.
"Banyak kerjaan yang lebih penting daripada membalas cintamu itu," tegas Asyas. Jelas dan berhasil menusuk hingga ulu hati. Setelahnya, dia langsung pergi tak peduli bagaimana perasaan Albania kini.
"Aku nggak tanggung jawab loh, kalau nanti kamu suka sama aku." Albania setengah berteriak, meski begitu ia menahan suaranya agar tak terdengar siapa pun kecuali Asyasnya. Ah, sejujurnya dia pun tak yakin bahwa Asyas mendengarnya.
Hidup memang kerapkali sebercanda ini.
Setidak bisa dijelaskan seperti ini.
Yay, akhirnya apdet 😊
Jangan lupa tinggalkan vote dan komennya, ya. Kalau ada typo atau kesalahan apa pun tolong sampaikan dengan baik.
Ini nggak diedit, jadi maaf kalau banyak yang salah ketik huhu ...
Salam
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro