Bab 10 || Tak Lagi Fathah
Malam mengajarkanku cara menyepi dari keramaian, sedangkan kau mengajarkanku cara merindu tanpa perlu dikatakan.
Allah telah memproklamasikan tentang kebesarannya melalui banyak tanda yang dapat terlihat. Luasnya langit malam yang selalu identik dengan kesepian sekalipun adalah tanda bagian dari cinta-Nya pada hamba, memberi waktu tuk rehat dari banyak rasa yang selalu terikat.
Albania, perempuan bersarung putih serta berkaus cokelat muda itu menghabiskan malamnya di rooftop asrama yang baru ditemui kemarin ketika tak sengaja melihatnya dari gedung asrama pusat. Di bagian gedung belakang asrama ini sangat sepi. Tak terdengar apa pun selain embusan angin kota Jakarta.
Buku milik Cak Nun yang berjudul Anggukan Ritmis Kaki pak Kiai, dibacanya dengan khusyuk, membiarkan embusan lembut menera jilbab putihnya yang perlahan berkibar.
JADI, KENAPAKAH ENGKAU BISA BANGGA BAHWA ENGKAU CENDIKIAWAN, BAHWA ENGKAU MENTERI, KONGLOMERAT, DOSEN, ULAMA, SASTRAWAN, KIAI, BUDAYAWAN, SEMENTARA PUNCAK PELAJARAN DAN UJIAN HIDUP ADALAH BAGAIMANA LULUS MENJADI MANUSIA?
Albania tersenyum. Namun, hari ini banyak manusia-manusia yang sangat bangga dengan gelar yang dipunya. Ketika para manusia berlomba-lomba merebutkan gelar, popularitas, hingga lupa bagaimana menerapkan akhlak dan kemanusiaan yang seharusnya menjadi setir dalam menjalankan roda kehidupan.
"Albania," panggil sebuah suara yang terdengar sangat lembut.
Albania menoleh refleks. "Madinah," desisnya saat melihat perempuan bergamis biru dari balik kaca mata yang membingkainya.
Perempuan itu tersenyum, lalu duduk di sebelah Albania. "Aku mau ngomong, kira-kira ganggu, nggak?" tanyanya.
"Silakan aja, sih. Aku bisa melanjutkan nanti baca bukunya." Albania menutup buku itu lalu dibiarkannya dalam pangkuan. Ia tak tahu kenapa tiba-tiba Madinah datang padanya dan lebih dari itu, dia tahu keberadaan Albania.
"Beberapa santri dari Umar Bin Khattab diminta untuk ikut serta mengikuti Bahtsul Masail di Jogja. Di pesantren Nadwatul Ummah. Dan Gus Ismail meminta beberapa santri putra yang sedang mengabdi dan santri Ulya untuk menghadiri. Gus Ismail dan beberapa ustaz pun ikut serta.
"Dan di sini yang paling penting, Umi Hanin ikut dan meminta dua orang santri putri yang menemani. Ustazah Jihan menunjuk aku, Na. Dan aku diminta mencari teman sendiri. Jadi, kamu mau kan, nemenin aku ke Jogja?"
"Nadwatul Ummah? Aku nggak bisa!" tolak Albania.
Madinah terlihat bingung. Bagaimana mungkin perempuan di depannya menjawab tanpa perlu berpikir terlebih dahulu, "Kenapa? Kamu nggak mau berpikir dulu?"
Albania menggeleng cepat. "Nggak bisa, Din. Aku nggak bisa ke Jogja. Lebih dari itu aku nggak bisa ke Nadwatul Ummah."
"Alasannya?"
Albania terdiam sebentar. "Ada. Dan kamu nggak berhak tahu."
"Aku nggak memaksa, tapi kuberitahu padamu bahwa Asyas ikut."
"Aku nggak peduli."
"Bagaimana mungkin seorang kekasih tak merindukan seseorang yang dicintainya," sindir Madinah.
"Aku bukan kekasih Asyas."
"Albania, aku sudah merangkum cerita kalian berdua. Tak perlu berbohong padaku. Rasa memang kerapkali bertindak semena-mena. Tak mengenal tempat, tak mengenal waktu, tak mengenal suatu objek. Meski begitu aku akan berusaha terus mengerti bahwa kamu tak akan pernah mudah tuk menghapus namanya, kan? Semesta lebih patut diandalkan, bukan?" Madinah tersenyum kecil.
"Aku mau sedikit cerita. Kamu tahu, sebenarnya kamu dan Asyas memiliki banyak kesamaan, Na. Kalian sama-sama tak pernah lagi berharap pada ketidakpastian, kalian nyaris tak memiliki cita-cita, kalian hanya hidup sebagaimana mengikuti alur semesta. Lurus bila jalan di depan tak mencurigakan, belok bila memang melihat tikungan dan berhenti bila memang telah ditetapkan. Bukannya itu yang kamu rasakan sekarang?
"Kalian sama-sama menyukai buku. Tempat favorit kalian sama-sama di perpustakaan. Baik kamu maupun Asyas menjadikannya sebagai tempat pelarian dari banyak ketidakpahaman tentang rumitnya proses kehidupan.
"Bukannya yang kukatakan adalah benar, Albania?" tanya Madinah.
Perempuan berkacamata itu tak menjawab. Dia sedang membenarkan semua ucapan Madinah tentangnya. Benar. Sedikit pun perkataan Madinah tak ada yang melesat dari sebuah kepastian. Bukannya saat ini posisi Albania memang berada pada titik paling ujung sebuah pasrah. Dia tak lagi meminta banyak pada Tuhannya. Doa yang selalu diulangnya setiap kali usai salat, "Ya Rabbi, tolong jangan membuatku berpaling darimu. Bukankah Engkau sudah cukup bagiku?"
Ia tak meminta apa pun lagi. Semua yang berjalan hari ini adalah kehendak Allah sendiri.
"Nanti ikut ke Jogja, ya. Nggak dalam waktu dekat ini, kok. Insya Allah masih sepuluh hari lagi."
"Kenapa harus aku yang diajak? Bukannya kamu punya wakil?" tanya Albania.
Madinah mengangguk. "Aku cuma mau ngajak kamu. Apakah salah?"
"Aku akan berpikir dulu. Ini Nadwatul Ummah. Ada banyak alasan kenapa aku nggak bisa ke sana."
"Apa pun keputusanmu aku mengaggap bahwa kamu mau menemaniku."
Madinah lantas berdiri. "Sepuluh menit lagi jadwal tidur. Jangan lupa nanti kunci pintu kamar kalian. Aku duluan." Dia beranjak pergi meninggalkan Albania yang masih mematung sendiri.
Nadwatul Ummah. Bagaimana mungkin ia akan datang pada tempat di mana seseorang yang ingin dilupakan akan kembali dilihat. Bagaimana mungkin ia akan mendatangi tempat di mana ada sedikit kenangan yang sudah susah payah dilupakan. Namun, bila dia menolak rasanya tidak enak pada Madinah. Kendati mereka berdua tak satu kamar, tetapi Madinah lah yang pertama kali dikenal oleh Albania. Dia yang banyak membantu ketika Albania masih menjadi santri baru.
🍁🍁
Pagi-pagi sekali sebelum subuh, Albania berjalan menuju gedung belakang asrama putri. Di sana terdapat batas dinding setinggi tiga meter yang berdiri kokoh guna melindungi para santri dari area luar.
Perempuan itu berjalan ke arah dapur, mengambil tangga kayu lalu ditariknya menuju dinding tersebut. Dia memasang tangga itu lalu mulai menaiki satu persatu dengan sangat hati-hati dan cekatan. Ia baru tersadar tentang sesuatu yang harus dikerjakannya hari ini.
Satu hal yang pasti, dia tak boleh sampai dipergoki keamanan. Jujur, sebenarnya ini adalah kali kedua dia pergi tanpa pamit pada bagian keamanan.
Setelah sampai di atas, dia menjatuhkan tangganya dengan asal. Bisa diyakini bahwa tak akan ada satu pun santri yang mendengar karena mereka tengah tahajud berjamaah di musalla. Beberapa yang lain sudah sibuk menghafal lalaran yang akan disetorkan pagi nanti. Albania menarik napas, ia melompat ke bawah dengan sangat cepat.
Dilihatnya jalan setapak yang sangat sepi. Tak ada bangunan yang berdiri di sekitar pesantren kecuali beberapa ruko yang hanya akan buka siang nanti.
Perempuan itu berlari cepat membelah jalanan kecil, membiarkan angin subuh berpadu dengan hentakan kakinya. Mukena putih masih terpakai rapi karena bagaimana pun dia harus kembali ke asrama sebelum azan subuh benar-benar berkumandang.
Gadis itu berlarian hingga sekitar 200 meter kemudian, dia berhenti di depan bangunan tua yang sudah cukup lama tak didatanginya. Dia mengatur napas sejenak, lalu mulai melangkah pelan mendekat. Pintu kayu yang sudah terlihat tua dengan beberapa ornamen yang sudah pecah-pecah terlihat menyedihkan. Keramik putih yang terhampar sedikit kotor dan barangkali belum ada yang membersihkan.
Perlahan, tangan kanannya terulur ke depan meraih gagang pintu dan detik berikutnya ia buka kemudian.
Terlihat ruang tamu berukuran sangat kecil dilengkapi kursi kayu yang tak memiliki rasa empuk meski sedikit. Dinding yang didominasi putih itu terlihat lusuh terlebih ruangan itu sangat sepi dari lukisan maupun bingkai. Bahkan sepertinya rumah itu sudah tak layak huni, hanya saja bagi keluarga yang kurang beruntung, memiliki bangunan kecil ini sudah lebih dari cukup.
Sebuah suara terdengar dari salah satu kamar. Kedua mata Albania menyapu seluruh ruangan. Dia terdiam ketika tak lama kemudian, sosok wanita memakai kursi roda keluar dari kamar depan.
"Albania." Kedua mata wanita itu tampak berbinar saat mendapati Albania di ruang tamu.
Albania menahan air yang tiba-tiba memenuhi kelopak matanya. Entah sejak kapan tiba-tiba kaca mata miliknya berembun, tetapi nahasnya dia belum mampu menggerakkan seluruh tubuhnya. Semua masih terasa kaku.
Sebulan sudah dia tak melihat wajah wanita itu. Dan kini dia memanggil namanya dengan lembut. Suara yang dirindukan akhirnya dapat terdengar juga oleh salah satu inderanya. Bukankah saat ini adalah bukti bahwa Allah amatlah pemurah. Disaat waktu yang dimiliki begitu sempit, tetapi Dia masih memberi kesempatan tuk mem-fayakunkan sebuah pertemuan yang kerapkali memang tak pernah terdugakan.
Waktu memang singkat, tetapi yang ditahu saat ini yang abadi adalah cinta. Cinta yang dimiliki Albania untuk wanita di depannya.
"Mama," desis Albania.
Akhirnya apdet 😊💚
Bila ada kesalahan, typo, silakan sampaikan dengan baik. Jangan lupa untuk meninggalkan vote dan komentarnya ☺
Salam | Milky Way ❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro