Bab 07 || Bagian yang Hilang
Aku bertanya pada semesta tentang bagaimana menghilangkan rindu. Ia menjawab, bahkan doa adalah bagian dari bahasa rindu, maka bagaimana mungkin rasa istimewa itu hilang selama doa masih termunajatkan?
"Mukmin yang baik ialah yang bisa mengoreksi diri sendiri. Menilai dirinya, bukan orang lain. Karena sesama murid tidak boleh saling mengisi raport, itu hak Allah." Begitu kata Gus Mus. Albania tersenyum saat tangannya tak sengaja meraih buku Konvensi yang ditulis oleh pengasuh pondok pesantren Raudlatut Thalibin, Rembang itu. Hanya melihat birunya cover saja, ia langsung teringat perkataan Gus Mus tentang bagaimana seharusnya manusia bersikap.
Bukankah memang benar sebagai manusia tak perlu menilai manusia lain. Jelas Albania masih merekam banyak cacian dan makian di memorinya. Di dunia ini manusia yang menilai sesama manusia masih banyak sekali jumlahnya, mereka melihat dengan jelas dosa orang lain tetapi buta dengan dosanya sendiri.
Gadis itu mengambil buku tersebut. Ia ingin membaca isinya. Buku-buku milik Gus Mus yang pernah dibaca tak ada satupun yang mengecewakan. Lain kali, ia akan membelinya sendiri agar bisa memberi tanda, atau menggaris bawahi bagian-bagian yang penting.
Sesaat, kedua mata gadis berkulit sawo matang itu mengarah pada sosok laki-laki bersarung yang tengah tertidur di samping rak. Wajahnya ditutup dengan peci, sedangkan tangan kanannya memeluk kitab Ihya Ulumuddin yang berada di atas dadanya.
"Asyas!" panggil Albania.
Laki-laki itu tak bergerak sedikit pun. Albania memberanikan diri mendekat. Santri bagian perpustakaan sedang mengaji. Di sini tak ada siapa pun kecuali mereka berdua.
"Woi, Asyas!" Kali ini suara Albania semakin meninggi.
Remaja itu menggeliat. Ia terduduk sembari terus memeluk kitab. Dipakainya peci, lalu memandang Albania, tajam. "Lo ngapain di sini? Sekarang, kan, jamnya santri putra di perpustakaan!" ketus Asyas. Perpustakaan yang lumayan besar ini hanya ada satu di pesantren. Jadwal kunjungan untuk santri putra dan putri memang berbeda tuk menghindari alasan mereka bertemu di tempat yang sama.
Biasanya setiap hari senin sampai rabu hanya boleh dikunjungi oleh santri putra, sedangkan sisanya untuk santri putri. Betapa sebenarnya anak putra memang jarang yang mengunjungi perpustakaan kecuali untuk sekadar membaca dan lanjut tidur karena sejuknya pendingin ruangan di sana.
"Aku anak baru nggak tahu peraturan," jawab Albania enteng.
Asyas menguap. Alasan basi. "Ganggu aja, lo!" Dia bangkit, melangkah menjauhi Albania.
"Cie dihukum," ledek Albania saat Asyas sampai di tengah pintu.
"Berisik!" ketus Asyas.
"Aku mau tanya," ujar Albania.
Asyas menghentikan langkahnya. Sebenarnya dia sudah malas melihat perempuan itu. Kembali di asrama pun ia akan terkena hukuman lagi karena tak mengikuti ngaji siang yang sekarang sedang berlangsung di masjid.
"Medina itu siapa kamu?" tanya Albania.
"Calon gue," jawab Asyas kemudian pergi meninggalkan Albania yang masih terdiam di perpustakaan.
Gadis itu terdiam, tersenyum kecil lalu melangkah meninggalkan perpustakaan. Dia tak tahu bila hari ini jadwal santri putra. Yang penting dia sudah berhasil menemukan perpustakaan di antara luasanya asrama saja seharusnya sudah patut diapresiasi.
Albania keluar dari perpus. Ia memakai sandal, lalu langkahnya terhenti sebentar ketika pandangannya berhadapan dengan bola mata cokelat terang di depan.
"Albania, kenapa masih di perpus? Bukannya sekarang jadwal ngaji?" tanya Madinah.
"Jadwal ngaji, ya? Aku lupa jadwal. Lain kali akan aku ingat-ingat lagi," sahut Albania.
Sungguh, sebenarnya Albania masih terbiasa dengan kehidupan bebasnya. Dia masih terbiasa dengan jadwal-jadwal tanpa kegiatan saat masih di rumah. Dia lupa bahwa sekarang mulai terikat banyak peraturan dari pesantren. Dia lupa bahwa mulai sekarang kegiatannya bukan hanya tentang membaca saja.
"Nanti sore jangan lupa ngaji," ucap Madinah.
Albania tersenyum. Ia paham.
🍁🍁
"Suatu ketika Nabi Musa berkata, "Ya Rabbi, sesungghnya manusia mengatakan yang tak benar tentang diriku, jadikanlah mereka mengatakan mengatakan yang benar tentang aku." Kemudian, jawab Allah. "Hai Musa, Aku tak melakukan hal itu untuk diri-Ku, maka bagaimana Aku melakukannya untukmu." Salah satu ustaz pengajar kitab Bahjatul Majalis mencoba menerangkan beberapa baris dari halaman 405 dengan suara yang lantang.
Albania mendengar dengan khusyuk tuturan itu dari baris paling belakang.
"Tak perlu risau dengan penilaian orang lain yang tidak benar tentang kita. Bahkan suatu ketika Hasan pernah dicaci maki oleh orang yg tak suka padanya. Tapi ia tak membalas cacian itu. Saat ditanya kenapa Hasan enggan membalasnya, beliau menjawab: "Ayahku Ali bin Abi Thalib, ibuku Fatimah Az-Zahra, dan kakekku adalah Muhammad Salallahu 'alaihi wasallam, mereka semua tak pernah mengajarkanku memaki.
"Jadi, sekali lagi tak perlu membalas ucapan orang lain yang sebenarnya hanya mengganggumu. Perkataan orang lain yang tak benar tentang kita. Karena sesungguhnya, kebencian apa pun yang mereka beri untuk kita, tugas kita hanya membalas dengan cinta."
Albania tersenyum. Lalu menutup kitab saat sang ustaz mulai memberi tanda-tanda akan berakhirnya ngaji sore ini. Setelah ngaji, akan langsung dilanjut piket sore.
"Na, nanti piket halaman depan, ya," ucap Nisa, teman sekamarnya yang sekarang duduk di sebelah Albania.
"Sip. Langsung ke depan, kan?"
Nisa mengangguk.
Setelah sang guru benar-benar telah mengucap kata-kata mutiara yang paling disukai santri, yaitu, Wa Allahu a'lam bisshawab, mereka langsung menutup kitab-kitabnya untuk melantunkan kalamun qadim. Albania memeluk kitab, setelah semua meninggalkan kelas, perempuan itu mulai melangkah dan membawa serta kitabnya ke depan. Untuk sekadar menaruh kitab di kamar barang sebentar pun dia merasa malas.
Dari jarak jauh, pandangannya yang terbalut kacamata menangkap banyak santri putra yang sedang berkumpul di depan kantor sembari memegang masing-masing majmu' kamil di tangannya. Suara lalaran Alfiyah Ibnu Malik terdengar dari bibir mereka masing-masing. Terdengar sangat cepat, pelan, tetapi terdengar lancar. Di balik meja kayu kecil, seorang asatiz terlihat duduk sembari menyimak satu per satu santri yang hendak setoran.
Albania menaruh kitabnya di antara batang pohon mangga yang terlalu tinggi. Dia mengambil sapu, lalu mulai menyapu halaman yang dikotori oleh banyak dedaunan yang gugur. Teman-teman masih banyak yang bersembunyi di asrama karena malunya bertemu dengan santri putra. Di sana hanya ada beberapa santri putri saja—termasuk Albania—yang terlalu bodo amat dengan keadaan di sekelilingnya.
"Na, abis ini beli ice cream, yuk, di koperasi," ajak Nisa yang sedang menyerok daun dan hendak memasukkannya ke tong sampah.
"Kebetulan, aku udah berapa hari nggak makan Ice Cream," sahut Albania.
"Eh, btw kitab aku yang barusan ditaruh di pohon ke mana, ya?" tanya Albania saat kedua matanya tak mendapati kitab kuning di sana.
Dia melempar sapunya asal, kemudian memeriksa lagi. Bahkan di bawah pun tidak ada. Ke mana kitab miliknya pergi. "Woi, pada tahu kitabku nggak, sih?" tanya Albania entah pada siapa.
"Kamu taruh di mana, Na?" tanya Nisa.
"Pohon. Nggak ada sih, sekarang!" Albania terlihat ripuh saat benar-benar hanya menyaksikan kekosongan di depannya. Ia tak boleh menghilangkan kitab itu. Semua kitab-kitab miliknya hari ini adalah pemberian pesantren untuknya dan bagaimana mungkin dihilangkan begitu saja.
"Coba nanti lapor keamanan. Lain kali kalau naruh kitab jangan asal," kata Madinah.
"Nggak kamu bawa ke kamar, Na?" tanya teman lain.
"Nggak. Aku kan males ke kamar," sahut Albania.
"Oke, aku bikin sayembara!" Suara Albania naik beberapa oktaf. Beberapa santri putra yang sedang lalaran, langsung menghentikan suaranya. Beberapa dari mereka menoleh karena lantangnya suara Albania.
Madinah terlihat menahan malu. Tak seharusnya suara Albania sekencang itu.
"Barang siapa yang menemukan kitabku, bila dia laki-laki akan kujadikan suami. Bila dia perempuan akan kujadikan sahabat," tegasnya.
Banyak dari santri putra yang terlihat mengerutkan dahi. Madinah terlihat semakin malu dengan kelakuan Albania, bagaimana mungkin dia mengatakan hal seperti ini dengan suara yang lantang dan berhasil mengambil separuh dari perhatian para Adam.
"Ada persyaratan lain nggak, Mbak?" teriak salah satu santri putra.
Albania menoleh. Dia tak menjawab.
"Yang lagi buru-buru boleh juga, Guys. Cariin kitab Mbak manis itu," ucap salah satu dari mereka.
"Kitab ini punya siapa?" tanya suara bariton.
Buru-buru Albania membalikkan tubuhnya. Kedua matanya terbelalak saat melihat siapa lelaki di depannya. Saliva tertelan susah payah, sedangkan teman-teman di dekatnya terkikik, beberapa menahan tawa dan seperti biasa, Nisa terlihat susah payah sekali seperti ingin cepat-cepat meninggalkan tempat untuk melepas tawa di tempat paling aman.
"Sa—saya, g—gus," gugup Albania.
Nabil menyodorkan kitab itu ke depan. "Nggak perlu repot-repot memenuhi janjimu. Saya sudah punya istri," ucapnya lalu lelaki bersarung itu berlalu menuju kantor setelah Albania menanggapi kitab kuning miliknya.
Seketika, teman-teman Albania langsung melepas tawa. Sedang Albania masih terdiam. Sungguh ia masih terkejut. Lebih dari itu dia malu. Barangkali sekarang wajahnya sudah memerah menahan malu bagaimana saat Nabil mendengar pengumuman yang keluar dari mulutnya yang tidak dilengkapi rem itu.
Ah, lain kali ia akan berusaha hati-hati lagi. Gus-nya masih muda, akan sangat bahaya bila dia terus memalukan diri sendiri.
Akhirnya apdet lagi 😊 Bila ada kesalahan, silakan sampaikan dengan baik ^^
Jangan lupa tinggalkan vote dan komentar :')
Salam | Milky Way
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro