Bab 06 || Amr yang terkena pukul
Di antara banyaknya perubahan, ketetapan kerapkali hilang meninggalkan harakat-harakat yang tak lagi terbacakan.
Usai salat isya, para santri langsung menuju kelas masing-masing untuk mengaji. Beberapa ada yang mendapat tempat di musalla, ada yang di teras masjid dan beberapa lagi terkadang di gazebo-gazebo tepi danau. Suara lalaran mulai terdengar sayup-sayup dari bibir para santri yang mengharap sebuah ilmu yang berkah dari sang Kyai. Berdoa pada Allah tuk memudahkan segala jalan, karena sesungguhnya hanya pada Dzat yang tak terbayangkanlah mereka meminta.
Di antara desau angin malam, gesekan sandal hitam Asyas beradu dengan paving asrama di sepanjang jalan menuju kantor. Dia yang malam ini memdapat jadwal mengajar Bulughul Maram, terpaksa harus digantikan Hilmi. Pasalnya sang Gus memanggil namanya untuk segera menemui beliau.
Asyas menghentikan langkah sesaat ketika mata sipitnya mendapati seorang gadis berjilbab tosca serta bersarung hijau yang baru saja keluar dari asrama putri dengan membawa setumpuk buku tulis.
"Medina!" panggil Asyas.
Langkah perempuan itu terhenti. "Al? Baru sampai?" tanyanya lembut.
Selain suaranya yang tak bisa keras, Madinah adalah sosok perempuan yang selalu tampil sederhana. Kulitnya putih, bola matanya berwarna cokelat terang, memiliki hidung yang mancung dan bibir berwarna merah muda. Tingginya sekitar 160 sentimeter. Wakil ketua asrama putri itu memang satu-satunya hawa yang berhasil mengenal Asyas.
"Iya. Sini bukunya kubawakan. Pasti berat," ucap Asyas.
"Nggak perlu. Kamu mau ke kantor, ya? Silakan duluan. Nggak enak kalau sampai dilihat asatiz," pinta Madinah.
"Kamu duluan," ujar Asyas.
Madinah menghela napas keras, lalu berjalan cepat menuju kantor dan membiarkan Asyas berjalan di belakang. Laki-laki itu keras kepala. Dia tak akan mau mengalah meski menghadapi permasalahan sesepele ini.
Ketika sampai di teras, laki-laki itu melepas sandal hitam. Dia mulai melangkah masuk mendekati pintu cokelat kayu yang terbuka begitu saja. Tampak Madinah Al-Munawwarah yang sedang berbicara dengan salah satu ustazah yang tidak Asyas kenal. Gerbang pemisah antara santri putra dan putri memang kerapkali membuat warga pesantren tak mengenal satu sama lain. Mereka tak mengenal banyak kecuali barangkali Asyas yang sudah sering bolak-balik asrama putri perihal dijemur.
"Muhammad Asy'as Al-Hasan!" panggil sebuah suara.
Asyas mendesah. Ia sudah hafal dengan suara bariton khas yang merdu itu. Bila bersalawat, suara ini yang selalu berhasil membuat getar saat menyebut Rasulullah sang manusia sempurna sejagat raya.
Asyas menoleh ke belakang. Ia dapati laki-laki bersarung hijau serta berkaus hitam panjang, duduk dengan salah satu ustaz panitia penerimaan santri baru. Di depan kedua lelaki itu, Asyas mendapati perempuan berjilbab jingga yang sedang menulis, membelakanginya.
"Jam berapa kamu sampai di asrama?" tanya Nabil saat Asyas sudah berdiri sekitar satu meter di depannya.
Asyas menunduk. Ia berusaha bersikap sopan di depan Gus-nya. "Jam tujuh, Gus."
"Itu yang dinamakan sore?" tanya Nabil.
Asyas tak menjawab.
"Pukul berapa kamu berangkat dari rumah?"
"Pukul lima."
"Lalu apakah kamu tidak menghitung jarak dari rumahmu ke asrama berapa jam?"
"Dua jam, Gus. Saya minta maaf."
"Sudah berapa kali maaf yang kamu ulang-ulang untuk memaklumi kesalahanmu, Muhammad Asy'as Al-Hasan?"
Asyas terdiam. Di depan Nabil dia tak bisa banyak menjawab. Dia tak paham tentang bagaimana cara mencari alasan. Remaja itu masih menunduk dan tak berani memandang wajah tenang Gus-nya. Ya, bahkan dalam keadaan seperti ini entah mengapa sebenarnya wajah itu masih terlihat sangat tenang.
"Dia calon istrimu, Al?" tanya Nabil kemudian.
Asyas mengerutkan dahi. Perlahan, kepalanya terangkat lalu matanya mengikuti arah telunjuk Nabil yang teracung pada perempuan yang sedang menulis di atas meja.
Asyas tak langsung menjawab. Seketika, dia terkejut saat kepala gadis itu terangkat sembari meletakkan pena di atas kertas. "Albania!"
"Halo, Asyas. Kaget, ya? Lihat, sekarang aku berhasil melewati tes ini." Dia tersenyum lebar.
"Gus, bagaimana bisa? Bukannya pendaftaran untuk santri baru sudah ditutup?" tanya Asyas dengan melayangkan tatapan protesnya. Sungguh dia tahu ini tidak sopan, tetapi menerima Albania bukankah mustahil? Apakah anak itu benar-benar mampu melewati tes ini?
"Sejak kapan Pesantren Umar Bin Khattab menolak santri?" Nabil menjawab dengan pertanyaan.
Asyas berjongkok di sebelah meja, ia mengambil alih kertas soal yang tadi berada di depan Albania. Kedua alis yang tak terlalu tipis itu saling bertaut. Dari tiga puluh soal terdapat lima soal berisi Ushul Fiqh, sepuluh soal sirah nabawi dan sisanya tentu ilmu alat. Namun, dari banyaknya soal tak satupun Albania menjawab salah. Bahkan Nabil sendirilah yang mengoreksi jawaban-jawaban itu.
"Kamu siapa, sih, sebenarnya?" tanya Asyas akhirnya. Sungguh kali ini dia sudah berada dalam batas paling rendah dalam sebuah pasrah. Dia tak mau lagi membiarkan dirinya tenggelam dalam ketidaktahuan yang nanti pada akhirnya akan menjatuhkan pada jurang paling dalam di sebuah tanya yang mengakar pada akal.
Albania tertawa kecil. "Albania Tirana," sahutnya.
"Terus, Gus, apakah nanti dia langsung masuk Ulya?" tanya Asyas.
"Insya Allah begitu. Albania sudah bisa menandingi kamu," sahut Nabil.
Asyas berdiri. "Terus, bagaimana dengan hukuman saya Gus?" Dia buru-buru mengalihkan topik. Ingin rasanya segera meninggalkan kantor. Tepatnya meninggalkan Albania. Ia tak paham kenapa dia mulai ingin tahu tentang siapa perempuan itu sebenarnya. Tentang masa lalunya, dan tentang seseorang yang memang tak bisa bila hanya dinilai dari tampilan belaka.
Jelas, Asyas masih mengingat bagaimana tampilan Albania pertama kali saat mereka bertemu di perpustakaan. Asyas kira perempuan itu hanya pengunjung biasa. Dia mengira, Albania bukan seorang santri. Tetapi ... soal-soal yang disodorkan Nabil berhasil dipecahkan dengan mudahnya. Bahkan disaat ada beberapa soal yang tadi membuat Asyas bingung tetapi seolah Albania dapat menjawab dengan mudah.
"Besok sore kembali temui saya dengan membawa hafalan Ihya Ulumuddinmu," pinta Nabil.
"Hah?" Asyas kaget.
Buru-buru dia menelan saliva. Gus satu ini memang tak tanggung-tanggung bila memberi hukuman terhadapnya. "Gus—"
"Bukannya kamu sudah hafal? Nggak ada tapi atau hukuman nanti bertambah setiap kamu bilang 'hah'"
"Nggeh, Gus. Apakah sekarang saya boleh kembali ke asrama?" tanya Asyas.
"Silakan."
Asyas menyalami tangan Nabil, kemudian langsung pergi meninggalkan kantor meninggalkan pertanyaan pada benak tentang siapa Albania sebenarnya.
🍁🍁
"Madinah Al-Munawwaroh!" panggil Nabil.
Perempuan yang sedang berbicara dengan ustazah itu lantas menolah. Buru-buru dia berjalan menuju Gus-nya.
"Kamar yang masih kosong di kelas Ulya masih ada?" tanya Nabil.
"Insya Allah masih, Gus."
"Tolong bawa Albania ke kamar Ulya. Besok sudah mulai ngaji," pinta Nabil seraya tersenyum.
"Baik, Gus."
Nabil tersenyum.
Albania mencangklong ransel, lalu mengikuti langkah Madinah yang lebih akrab disapa Medina oleh Asyas itu.
Perempuan itu masih terasa asing dengan keadaan di sini. Albania merasakan akan ada kejadian baru yang termaktub di ma'had yang akan diganti nama ini. Baru saja, saat ia tengah mengisi beberapa soal tak sengaja mendengar percakapan Nabil dengan salah satu ustaz untuk merencanakan pergantian nama pesantren. Entah akan diganti apa dan Albania tak paham kenapa harus diganti.
"Namamu Medina, ya?" Albania mencoba sok kenal saat mereka mulai berjalan menuju asrama.
Gadis itu tersenyum. "Siapa namamu?"
"Albania Tirana."
"Wah, bukannya Albania itu nama negara dan Tirana adalah ibukotanya?" Madinah tampak memastikan.
"Tepat sekali. Nanti kuceritakan kenapa ibu memilih nama itu untukku," katanya tanpa diminta.
"Wah, baik," balas Madinah seraya tertawa kecil.
Bahkan hanya butuh beberapa detik saja bagi mereka berdua untuk saling mengenal. Albania yang pada dasarnya memang tak memiliki urat malu akan sangat cepat mencari sosok teman. Dan mulai malam ini dia telah menjadikan Madinah sebagai sahabatnya. Itu cukup.
"Kamu kenal Asyas, Din? Dia cuek nggak jelas banget nggak, sih? Menurutmu Asyas normal nggak?" tanya Albania.
Madinah tersenyum mendengar penuturan Albania. "Asyas bukan cowok yang cuek. Dia baik. Baik banget malah."
"Masa?"
"Kamu belum kenal dia. Kalau udah kenal kamu akan tahu dia sebenarnya."
Albania tak menjawab. Sebenarnya dia tak ingin membicarakan Asyas, hanya saja ia tak paham lagi topik apa yang mesti dibahas bersama teman barunya itu. Teman baru atau saingan baru? Ah, hidupnya yang berjalan apa adanya ini tak perlu ada saingan untuk mewarnai hitam putih ritme kehidupannya. Dia hanya berjalan menuju jalan yang apa adanya. Yang terlihat di depan.
Albania juga....
Entah sejak beberapa tahun telah melepas segala harap dengan membiarkan segala impian terbang sehingga yang dia rasa hanya memiliki Allah. Tanpa Tuhannya dia tak memiliki teman. Dia sendirian sejak beberapa tahun silam. Dia kosong.
Baginya, barangkali Allah sudah cukup. Ia sudah sering dikecewakan, sering dilupakan, sering dikucilkan dan hal-hal lain dalam bentuk penderitaan menyapa tiada henti. Dan sekarang ia tak tahu apa itu yang dinamakan tujuan, semua telah hilang kecuali Dzat yang maha Ada.
Yay, akhirnya apdet juga 😊❤
Bila ada kesalahan, sila sampaikan dengan baik dan jangan lupa tinggalkan vote serta komentarnya 💚
Salam
Sebelum lanjut, apa nggak sebaiknya follow dulu? Eheh
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro