Bab 01 || Dia Calon Suamiku, Bu!
Dalam doa yang termunajatkan, kamu adalah tujuan yang tak terbantahkan.
Di sebuah ruang berukuran besar dipenuhi deretan rak buku, duduk seorang lelaki berusia sekitar delapan belas tahun tengah membaca buku bersampul kuning yang berjudul Ibrahim bin Adham di salah satu sudut ruang. Sembari mendengar alunan salawat dari earphone yang tersumpal di telinga, dinikmati pula desau angin sore dari jendela yang berada di belakang. Swatamitas mulai mewarnai rona wajah, sesekali sedikit rambut yang tak tertutupi peci hitam itu beterbangan tersapu angin sore.
Lelaki bersarung hitam serta berkemeja biru pendek itu tak sedikit pun mata tajamnya beralih dari selain deretan akasara-aksara yang menceritakan tentang sufi kaya itu. Yang ia tahu tentang Ibrahim bin Adham, beliau memiliki tempat kelahiran yang sama dengan Rumi. Yaitu di Balkh. Ditulis pada beberapa kitab yang pernah dikaji, beliau adalah seorang raja Balkh pada tahun 730 Masehi. Namun, ia meninggalkan gelarnya dan memilih hidup zuhud. Baginya Allah sudah cukup.
"Kamu harus pulang, Na!" Seorang wanita paruh baya berbaju hijau muda tampak menarik tangan seorang gadis setinggi 157 sentimeter yang sedang membaca antalogi cerpen berjudul 'Hanya Cinta yang bisa mengatasi segalanya.
"Aku nggak mau, Bu." Gadis itu tampak menahan diri untuk tetap duduk di kursi dan meneruskan kegiatan paling indah di dunia, membaca. Entah sejak kapan sang ibu tahu tempat pelariannya. Dia kira perpustakaan adalah tempat paling nyaman tetapi nyatanya wanita paruh baya itu malah menemukan keberadaannya. Ia kira perpustakaan adalah tempat paling aman, tetapi nyatanya wanita itu kini telah berdiri di dekatnya.
"Kamu kenapa, sih, Na, hobi sekali bikin orang tuamu kecewa," lanjut sang ibu. Raut wajahnya terlihat kesal.
"Ibu yang nggak pernah paham perasaan Alban." Gadis bernama lengkap Albania Tirana itu lantas bangkit sembari menutup buku bersampul cokelat tersebut. Gadis berkemeja biru kotak-kotak serta bercelana levis hitam itu lantas berdiri di depan sang ibu.
"Alban sudah punya pacar. Kalau ibu mau Alban segera menikah, ya tolong dong nikahin Alban sama pacar Alban jangan sama yang lain. Dikira enak nikah sama orang yang nggak kita suka," cetusnya.
"Siapa pacarmu?"
Gadis itu terdiam. Ia memeluk buku-bukunya semakin erat. Perpustakaan yang biasanya selalu syahdu kali ini berubah ramai karena drama yang sedang dimainkan Ibu Albania. Andai seorang pustakawan tidak sedang pergi ke luar membeli kopi di warung sebelah, mungkin kedua orang itu telah diusir karena telah berhasil menganggu ketentraman surga dunia.
"Siapa, hah?"
Laki-laki itu menghela napas keras saat suara salawatan Habib Syaikh Abdul Qadir As-Segaf dari earphone-nya kalah keras dari suara dua orang di depannya. Bahkan kehidupan Ibrahim Bin Adham belum semua tuntas dibaca. Ditutupnya buku bersampul kuning, lalu bangkit menyeret langkah hendak keluar. Entah berapa jam lagi ia harus menetap di sekitar perpustakaan hingga menunggu jelang maghrib nanti. Pasalnya dia sudah berjanji akan bertemu di sini dengan teman-temannya 'tuk menghadiri shalawat di alun-alun yang tak begitu jauh dari tempatnya sekarang.
"Dia, Bu. Dia pacar Alban. Namanya Muhammad Asy'as Al-Hasan," tukas perempuan itu.
Sang empunya nama menghentikan langkah. Kedua alisnya terpaut tak paham. Ia menoleh dengan memasang wajah cuek seperti biasa. Kedua mata sipitnya seolah menyimpan banyak tanya dari jutaan hal yang tak terkendalikan.
"Al, udah waktunya kita menikah, kan? Bukannya kamu juga udah berjanji mau membuat jadwal pernikahannya bulan-bulan sekarang?" Gadis itu tersenyum.
Asyas terdiam. Kedua alis tebalnya terpaut. Al? Perempuan itu tahu bahwa Asyas lebih akrab disapa Al dari nama marganya. Al-Hasan.
"Kamu siapa?" Dua kata itu meluncur begitu saja dari bibir merahnya yang sedikit tipis.
"Sayang, jangan bercanda, ya. Aku Albania. Muhammad Asy'as Al-Hasan, kelahiran Bandung delapan belas tahun lalu yang lebih suka cokelat hangat daripada kopi, lebih paham tentang Ibrahim Bin Adham daripada Rumi, yang lebih suka cokelat tua daripada hitam, lebih suka--"
"Diam!" Asyas memotong ucapan gadis itu. Sungguh ia tak paham dengan kebenaran demi kebenaran yang terungkap dari bibir gadis berambut lurus sebahu di depannya. Dari mana perempuan berkacamata itu tahu? Sejak kapan dirinya kenal dengan seorang perempuan selain dia? Selain, seseorang yang disukainya saat ini.
Siapa sebenarnya perempuan yang menyebut dirinya sebagai Albania itu? Sungguh bahkan baru kali ini dia melihatnya dan ia tak pernah mengenalnya.
Asyas memasukkan earphone-nya ke dalam saku. Dia masih mematung di sana dengan serta membawa banyak pertanyaan. Sedetik kemudian kedua matanya beralih menatap wanita berjilbab jingga yang belum mengucapkan sepatah kata apa pun. "Ibu, tentu saya tidak ingin menanggalkan tata krama saya di hadapan anda, tapi demi Allah saya tak mengenal putri anda. Saya tidak pernah melihat dia sebelumnya dan bagaimana mungkin saya menikahi seseorang yang tidak saya kenal. Dia telah membohongi anda, Bu." Asyas menjelaskan panjang lebar sembari sesekali melempar lirikan puas terhadap Albania.
Sungguh, ia akan membela haknya. Bagaimana mungkin di usianya yang bahkan belum menginjak 20 tahun dengan mudahnya memutuskan untuk menikah, terlebih dengan seseorang tak dikenal. Jelas, bahwa squidward pun paham bahwa itu lelucon tahun sekarang yang menggelikan.
Albania terlihat kesal. Ia membelakangi ibunya lantas berjalan ke arah Asyas dan berdiri sekitar setengah meter di depannya.
"Bantu aku. Iyakan saja, setelah itu kamu pergi," bisik Albania dengan dua tangan yang saling tergenggam ke depan. Memohon.
Asyas menggeleng. "Ibu, lebih baik bawa anak ibu pulang. Sepertinya dia salah orang." Dia berusaha tersenyum, lalu melanjutkan langkahnya keluar.
"Asyas, kamu nggak bisa pergi begitu saja. Kamu harus bertanggungjawab." Albania menarik lengannya, sedangkan Asyas refleks menangkis. Ia terlihat semakin kesal. Dalam posisi seperti ini Asyas telah kehilangan wudhu dan tak lagi memiliki banyak waktu menghindar.
"Aku mohon tolong aku." Albania terlihat memohon.
"Saya nggak kenal kamu."
"Apakah gurumu mengajarkan kamu untuk menolong seseorang yang harus kamu kenal saja, Asyas? Apakah gurumu mengajarkanmu untuk berlalu begitu saja di depan seseorang yang sedang kesulitan?" Albania menahan suaranya. Sebenarnya ia takut bila pendengaran awas sang ibu sampai menangkap percakapannya kali ini.
"Nggak," jawab Asyas tak acuh.
"Terus, masih ada alasan kamu pergi?"
"Ya."
"Astaga, Asyas. Tolong. Kali ini aja. Iyakan, setelah Ibu pergi, kamu pergi. Selesai."
"Nggak. Ini masalah serius."
"Albania!" panggil sang Ibu.
Perempuan berkulit sawo matang itu melepas kacamata minus-nya sembari mengembuskan napas kesal. Dia memejamkan kedua mata sebentar, lalu berbalik menghadap sang ibu. "Sabar, Bu. Kita sedang merencanakan tanggalnya."
Albania menautkan alis saat langkah Ibu mendekat ke arahnya. Wanita itu menarik tangan Albania keluar perpustakaan, melewati Asyas begitu saja. Remaja itu semakin tak paham.
Asyas memperhatikan sebentar, lalu memutuskan untuk keluar. Dirogohnya ponsel dari saku berusaha membalas pesan dari temannya, tetapi lagi-lagi suara seseorang menganggu ketenangan.
"Asyas!" panggil Albania.
"Sudahlah, Alban, menikah dengan seseorang yang ibu pilihkan. Dia memiliki orang tua yang hebat dan dia mampu menjamin masa depanmu. Tentu kamu tidak mau bila nasibmu sama seperti Ibu."
"Asyas, jelaskan pada Ibuku bahwa ayahmu Dokter bedah, ibumu Dosen di Universitas Negeri ternama di Jakarta. Al--" Suara Albania terdengar semakin memohon.
Laki-laki itu menoleh. Ia membiarkan pesan-pesan dari temannya tak dibalas, dan yang paling penting dari mana perempuan itu tahu tentang semua hal-hal yang berkaitan dengan kehidupannya. Semua ini terlalu mengejutkan. Bahkan sebenarnya ia berusaha untuk tak peduli tetapi realita menahannya untuk mencari sebuah fakta.
Asyas berbalik ke arah Albania. Ia mendekat, lalu berdiri di depan ibu Albania. "Jadi, Ibu ingin segera menikahkan putri Ibu?" tanya Asyas.
"Jelas. Dia sudah waktunya menikah. Bagaimana mungkin saya menolak pinangan dari laki-laki yang bisa menjamin masa depannya."
"Albania mencintai laki-laki itu, kah?" tanya Asyas lagi.
"Kamu tak perlu ikut campur urusan itu. Membahas cinta itu membosankan. Yang penting Albania bisa membeli segala kebutuhan dan itu sudah sangat cukup," jawab sang ibu panjang lebar.
"Baik, itu sudah cukup menjawab pertanyaan saya." Asyas tersenyum kecil, lalu kembali berbalik.
"Asyas, maksudmu apa, sih?" teriak Albania.
Asyas berbalik. "Ridamu terdapat pada Ibumu."
"Terus? Tolong dong diperjelas. Bukannya kamu bercita-cita ingin menjadi Dosen, lalu apa ada Mahasiswa yang paham penjelasanmu kalau jawaban yang kamu berikan hanya singkat-singkat gantung gitu?"
Lagi. Bahkan Asyas saja sempat melupakan keinginan itu dan tiba-tiba seseorang mengingatkan tentang impiannya. Sebenarnya siapa Albania?
"Bukannya menikah itu membutuhkan rida?" Asyas menjawab dengan pertanyaan.
Albania terdiam. Di luar dugaan bahwa permasalahan ini semakin rumit dan mau tak mau ia harus berusaha agar Asyas mengiyakan. Iya. Masalah selesai.
"Ibu rida asal kamu meminangku sekarang," tantang Albania.
Asyas menatap perempuan itu datar. Dimasukannya ponsel ke saku, sedang langkahnya kembali mendekat ke arah dua wanita yang memperumit jalan hidupnya hari ini. Bisakah pertemuan dengan seseorang bernama Albania itu dikatakan ujian?
"Baiklah bila ini yang dimau." Asyas memulai percakapannya.
"Padamu Ibu Albania yang belum saya ketahui namanya. Dengan ini saya ingin mem--"
"Al! Lima menit lagi magrib. Kita udah tunggu di masjid dari tadi." Seorang laki-laki baru saja tiba dari arah depan. Kedua netranya tampak memandang bingung, sebelum akhirnya ia berusaha memendam banyak tanya di kepala.
🍃🍃
Update untuk pertama kalinya 🖤
Wah, siapa sebenarnya Asyas? Albania? Cerita ini berkaitan dengan Mazhab Cinta. Seharusnya, sebelum membaca ini, membaca Mazhab Cinta dulu, tapi gapapa langsung ini :)
Kalau ada kesalahan, sila koreksi dan tinggalkan vote, komentarnya ya ,❤
Salam | Milky Way
Pict. Google
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro