Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

#328 Life

"Ada apa? Rindu menghampiri? Memangnya sudah berapa lama kita tidak berjumpa?" tanyanya dengan santai.

Akhirnya Win meninggalkan pesan untukku. Dia menyuruhku menemuinya di Louix Cafe malam ini. Jadi, aku tidak menolaknya dan langsung meluncur ke sana. Bahkan dia sudah datang sebelum aku tiba. Dan duduk di sofa pojok seperti biasa.

"Enak saja rindu. Kamu tidak tahu, kan, aku punya banyak pertanyaan." Aku bersungut-sungut.

Win terkekeh. "Aku tahu. Kamu hanya mencariku saat kamu butuh jawaban saja. Selebihnya, mana mau kamu mengajakku jalan. Ya, kan?"

Aku mengembangkan cengir kakuku.

"Aku sudah hapal dengan kelakuanmu. Lihat, kurang apa lagi aku. Aku begitu perhatian denganmu, tapi masih kamu tolak juga."

"Siapa bilang, aku kan tidak pernah menolak ajakan untuk menggila bersamamu," protesku.

Win menatapku lekat. "Dengan kata lain, kamu memang tidak bisa menolakku, kan?" Pandangannya mulai berubah jahil.

"Sudahlah, aku butuh jawaban." Aku memasang wajah serius.

Pramusaji datang dengan membawakan segelas minuman hangat pesananku. Diletakkannya gelas itu di hadapanku. Dengan senyum ramahnya dia menawarkan bantuan lain yang mungkin kubutuhkan. Aku menggeleng dan dia meninggalkan kami.

"Jadi, apa lagi pertanyaanmu?" tanya Win serius.

"Bagaimana cara membunuh Imo?" tanyaku langsung tanpa basa basi.

"Ah, iya. Yuri bilang kamu bertemu dengan Lord Imo. Dan kamu hampir terjatuh dari atap. Bagaimana bisa kamu tidak berhati-hati seperti itu?" Ada raut khawatir terlintas dalam ekspresi juga sorot matanya.

"Lord Imo menyeretku karena kupegang tangannya. Tiba-tiba tangannya terputus dan aku terjatuh."

Win menatapku. "Kamu terluka?"

"Tidak." Aku menyembunyikan tanganku. Memang bekas lukanya sudah nyaris menghilang. Namun aku ragu untuk bertanya padanya.

"Bagaimana jika Yuri dan Wuri tidak datang tepat waktu?" Win masih mengkhawatirkanku.

"Itu urusan nanti," jawabku. "Yang aku mau tahu, bagaimana cara membunuh Lord Imo itu?"

Win menghela napas. "Kamu hanya bisa membunuh Lord Imo dengan sepasang sarung tangan Langit yang menempel di tanganmu. Jika hanya sebelah, kamu tidak bisa membunuhnya. Putuskan lehernya lalu hancurkan kepalanya. Setelahnya baru kamu hancurkan badannya. Sama seperti juga para Imo, hempaskan ke bawah, biarkan dia meleleh dan berasap. Pastikan dia musnah dan menghilang."

"Jika aku hanya menggunakan sebelah, sementara kamu juga hanya menggunakan sebelah, berarti masing-masing dari kita tidak bisa memusnahkannya?" tanyaku kebingungan.

"Ya, betul."

"Lantas kenapa kamu berikan sarung tanganmu padaku?" tanyaku dengan nada yang nyaris meninggi.

"Itulah sebabnya Wuri dan Yuri datang. Karena sinyal sarung tangan itu terlacak di dua tempat yang berbeda dalam waktu yang sama."

"Dan mereka memarahimu, kan? Aku melihatnya." Kutatap wajah Win.

Win hanya tersenyum. "Tidak apa. Lagipula aku tertolong berkat bantuanmu. Sudah banyak Imo yang terbunuh, kan. Jadi, mereka juga tidak bisa sepenuhnya menyalahiku."

"Sungguh?" tanyaku tidak yakin dengan kata-katanya.

"Ya." Win mengangguk. Mencoba meyakinkanku.

"Kalau memang tidak boleh, aku kembalikan sarung tanganmu. Aku membawanya sekarang," ucapku seraya merogoh saku mantelku.

"Tidak apa. Pakailah."

"Kamu serius?" tanyaku yang masih ragu.

"Ya. Lagipula, kita bisa membunuh Lord Imo bersama."

"Bersama bagaimana? Kusebut namamu tiga kali, kamu tetap tidak muncul." Aku mencibir.

"Sungguh? Kapan kamu memanggilku? Aku tidak mendengarnya." Ekspresi Win terlihat antara serius juga menggodaku.

"Sudahlah. Aku serius memanggilmu waktu itu tapi kamu tidak muncul. Malah Yuri dan Wuri yang datang menolongku."

Win tergelak.

Aku memang bodoh. Mau saja dibohongi Win. Tapi melihatnya tertawa bahagia seperti itu membuatku merasa nyaman. Aku menyukainya. Menyukai tawa bahagianya.

"Ada apa?" tanyanya mengejutkanku.

"Apa?"

"Kamu melamun lagi." Win menunjuk wajahku. "Kamu memang manis. Tidak salah aku melihatmu."

Aku membuang pandanganku darinya. Lalu meneguk minumanku yang sudah dingin.

Win masih menatapku. "Aku tahu, kamu sebenernya menyukaiku. Tapi kamu menutupinya. Mengaku sajalah kalau kamu memang suka. Tidak perlu menyembunyikannya."

Aku masih diam saja. Tidak berani menatapnya.

"Berani mengungkapkan isi hatimu justru akan membuatmu lega. Daripada menyimpannya dan pada akhirnya meledak."

Aku menoleh pada Win. "Bagaimana kalau meleleh dan berasap?" Aku terkekeh.

Win cemberut.

Tanpa kusangka, Win sudah menarikku mendekatinya. Lalu dia mengecup bibirku. Refleks kudorong tubuhnya dan dia tertawa puas.

"Win!" teriakku tertahan. Entah seberapa merah wajahku saat ini. Rasanya panas sekali.

Win semakin senang.

Entah berapa lama aku mengocehinya. Win tetap tersenyum puas. Dan itu semakin membuatku jengkel.

"Aku pulang," gerutuku. Lalu aku bangkit dari sofa dan meninggalkannya. Aku tidak lagi memedulikan Win yang masih tersenyum-senyum sendiri di tempatnya.

Kuselesaikan tagihanku di kasir. Kubayar juga tagihan minum Win. Selesai melunasi tagihan, aku menatap kakak kasir yang melihatku dengan pandangan yang agak berbeda menurutku.

"Ada apa?" tanyaku penasaran. "Ada sesuatu yang aneh denganku?"

"Tidak," jawabnya seraya menggeleng pelan.

"Kalau tidak ada, kenapa melihatku seperti itu?" tanyaku berusaha memojokkannya.

"Maaf, ya. Jangan marah."

Aku mengangguk.

Dengan ragu akhirnya dia buka suara. "Kukira kamu hanya suka sesama jenis saja. Ternyata dua-duanya."

Aku melongo.

"Maaf. Karena kulihat waktu itu, kamu berciuman dengan perempuan. Tapi baru saja, kamu berciuman dengan laki-laki itu." Kakak kasir itu terlihat serba salah.

Aku tersenyum menyadari apa maksudnya. "Anggap saja kamu tidak pernah melihat semua kejadian itu," pintaku sambil mengedipkan sebelah mata.

Dia mengangguk dengan gugup. "Ya."

Aku langsung berbalik arah dan pergi menuju pintu keluar. Melirik Win yang masih asyik duduk di sofa pojok ruangan. Dia tersenyum menggoda.

"Dasar, Win. Merusak pandangan orang terhadapku saja," gerutuku dalam hati.

**

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro