#195 Life
"Baiklah, kita coba. Apakah ini akan berhasil atau tidak."
Aku menatap Win. Antara yakin dan tidak yakin. Seharusnya dari apa yang sudah dijelaskannya tadi, aku bisa melakukannya. Kecuali satu hal, aku bukan bagian dari pasukan Langit.
"Ini." Win menyodorkan sebuah sarung tangan berwarna gelap dari saku mantelnya.
Aku menerimanya. Sangat berat. Kuperhatikan bentuknya. Ini untuk tangan kiri. Sementara aku tidak kidal. Bagaimana aku bisa menggunakannya.
"Kenapa diam saja?" tanya Win yang rupanya memperhatikanku berdiri mematung.
"Ini kiri. Aku tidak kidal," jawabku.
Win tersenyum. "Seharusnya tidak berpengaruh. Karena kekuatannya akan menyatu saat dipakai."
Aku menganggukkan kepala tanda mengerti. "Berat, ya."
"Ah, iya. Masih ada yang harus dilakukan lagi."
Aku terdiam. Memperhatikan Win merogoh saku sebelah dalam mantelnya. Seketika mataku membelalak kaget saat Win mengeluarkan sebilah belati.
"Kemarikan tangan kirimu," pintanya.
"A-apa?!"
"Ini bagian dari ritual. Nanti kamu juga akan mengerti. Tidak apa-apa."
Aku masih melongo sampai Win mengulurkan tangan untuk meraih tanganku.
"Tidak apa-apa," ulangnya.
Masih tidak mengerti apa maunya, aku tetap mengulurkan tanganku. Win meraihnya. Lalu membuka telapak tanganku.
"Santai saja. Jangan tegang. Nanti malah semakin sakit." Dilemas-lemaskan tanganku. Lalu disayatnya telapak tanganku dengan belati tadi. Aku meringis.
Darah mengalir dari luka terbuka di tempat sayatan tadi. Win memang tidak menyayatnya panjang dan dalam. Kurasa dia hanya ingin mengambil darahku sedikit saja. Atau sayatan itu hanya sebagai formalitas dari ritual yang disebutnya tadi.
"Pakailah," pinta Win padaku sambil menunjuk ke sarung tangan yang kupegang.
Cepat kupakai sarung tangan itu. Rasanya seperti ada aliran energi yang mengalir dari tanganku ke sarung tangan itu. Juga seperti ada energi lain yang mengalir dari sarung tangannya ke telapak tangaku. "Rasanya ringan," gumamku.
Win tersenyum. "Ritualnya berhasil."
Aku kembali melongo.
"Sarung tangan itu akan terasa berat ketika darah pemakainya belum bersatu dengan sarung tangannya. Jika sudah menyatu, mereka seperti jasad dengan rohnya. Itulah kenapa sarung tangannya terasa ringan sekarang."
Aku terus memandangi telapak tanganku yang bersarung itu. Kubolak-balikkan. Kugerak-gerakkan seperti Win sedang meremas Imo. Dan rasanya sangat tidak bisa kupercaya. Sarung tangan yang tadi terasa berat, kini terasa seringan kapas.
"Aku belum pernah memakainya sejak aku diutus ke sini. Itu sebabnya aku bisa memberikan sarung tangan itu padamu. Sedang yang ini, sudah tidah bisa lagi kuberikan pada siapapun. Darahku sudah menyatu dengannya. Sama seperti yang kamu pakai sekarang. Tidak bisa kamu berikan pada siapapun lagi," terang Win.
Aku mengangguk-angguk. "Aku bisa melepasnya kan dari tanganku?"
Win tersenyum. "Tentu saja bisa. Hanya tidak bisa kamu berikan pada orang lain untuk dipakai."
"Baiklah, aku mengerti. Selanjutnya apa? Apa lagi yang harus dilakukan jika aku mau memusnahkan para Imo itu?" tanyaku tidak sabar.
Win terkekeh. "Mulai lagi pertanyaannya menyerbuku."
"Karena aku terlalu penasaran. Tidak enak rasanya jika ada sesuatu yang mengganjal di pikiran tanpa terjawab sedikit pun."
"Ya, aku tahu." Win menoleh ke tempat lain. Pandangannya menelusuri setiap sudut tempat di hadapannya.
"Teori atau praktek?"
Win tergelak. "Hal lain yang harus diperhatikan, kamu harus membuat orang yang ditumpangi Imo pingsan sebelum kamu memusnahkannya."
"A-apa?"
"Pertama, kamu tentu tidak mau dituduh berbuat jahat pada orang itu, kan? Kedua, lebih nyaman menarik Imo dari tubuh orang yang pingsan daripada saat mereka sadar. Selain karena mereka tidak tahu keberadaan Imo di punggungnya, juga karena mereka tentu tidak mau disakiti saat Imo tercabut dari tubuh mereka."
"Oh!"
"Paham, kan?" tanya Win seraya memandang wajahku.
"Paham. Jadi, buat dulu inangnya pingsan, baru cabut Imonya, dan musnahkan."
"Teorinya memang seperti itu, tapi tidak tahu bagaimana keadaannya nanti." Win kembali tersenyum.
"Bagaimana membuat orangnya pingsan?" Kali ini aku kembali panik.
"Hahha!" Win tertawa. "Pukul saja kepala orang itu dengan sarung tanganmu yang berat itu. Tidak perlu kuat-kuat, mereka sudah pasti akan pingsan. Itu kegunaan lain dari sarung tangannya."
"Bisa beri contoh?" tanyaku bingung.
"Baiklah. Ikut denganku. Di sana ada Imo," tunjuknya.
Kuikuti langkah Win. Kami mendekati orang yang punggungnya ditempeli Imo. Lalu berhenti tak jauh dari orang itu.
"Amati dulu gerakannya. Kalau dia sudah sendiri dan tempatnya aman, baru kita bergerak."
Aku mengangguk.
Tidak lama, laki-laki itu berpisah dari temannya. Dia pergi ke arah yang lebih sepi. Maklum saja, sudah dini hari. Suasana pun sudah terlalu hening.
"Perhatikan," ucap Win. Aku menuruti ucapannya.
Lalu dia melesat ke arah laki-laki itu. Memukul kepalanya pelan hingga pingsan. Lalu menyangganya supaya jatuhnya tertahan.
Win memberi kode padaku agar aku segera mendekat. Aku bergegas menghampirinya.
"Lihat baik-baik. Imo masih tetap hidup meski orangnya pingsan. Tapi Imo tidak bisa melawan. Tarik tubuhnya kuat-kuat dengan tanganmu yang bersarung tangan. Kita lihat, apa bisa kamu melakukannya atau tidak. Cepatlah, sebelum orangnya tersadar."
Aku mengikuti apa yang diucapkan Win. Kuraih tubuh Imo itu dengan tangan kiriku. Terpegang! Lalu cepat kutarik kuat-kuat tubuh Imo itu. Tercabut! Aku terpana dibuatnya.
"Hancurkan!" perintah Win menyadarkanku.
Kuremas sekuat tenaga tubuh kecil Imo itu dengan tangan kiriku. Hancur. Cairan kentalnya menyiprat ke tubuhku.
"Hempas sekuatnya ke tanah," perintah Win lagi.
Cepat-cepat kuhembas tubuh Imo yang sudah hancur itu ke tanah. "Apa dia sudah mati?" tanyaku ragu.
"Lihatlah! Jika kepingan tubuhnya menghilang dan berasap, Imo sudah dapat dipastikan mati. Jika tidak, berarti masih hidup."
Kuperhatikan tubuh Imo yang hancur itu. Mulai menghilang dan berasap.
"Cepat sembunyi," ajak Win. Dia berlari ke tempat yang tidak jauh dari sana. Tempat yang terlindung.
Aku ikut bersembunyi di dekatnya.
"Tetap di tempat persembunyianmu sampai orangnya tersadar dan pergi. Baru kamu boleh pergi. Pokoknya, pastikan orang itu sadar, baru posisimu aman. Mengerti?" tanya Win berbisik-bisik.
"Ya," jawabku ikut berbisik.
Tak lama, laki-laki itu sadar. Dia jelas kebingungan dengan posisinya yang tergeletak di jalan. Namun cepat-cepat dia bangun dan pergi.
"Nah, sekarang sudah aman." Win berbalik ke arahku. "Berati kamu bisa melakukan pekerjaanku."
Aku masih tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi "Jadi, tidak hanya pasukan Langit saja yang bisa membunuh Imo, ya?" tanyaku keheranan.
Win mengangguk. "Aku sendiri tidak menyangka. Yang kutahu selama ini, hanya pasukan khusus Langit saja yang bisa melihat dan memusnahkan para Imo. Siapa sebenarnya kamu ini?"
"Aku tidak tahu. Kelebihan apa yang kupunya. Bahkan aku tidak tahu, bagaimana aku bisa melihat Imo itu."
"Nanti saja kucari tahu. Sudah hampir pagi. Pulanglah! Dan ingat satu hal, rahasiakan semua yang terjadi saat ini pada siapapun juga. Jangan pernah beri tahu pada satu orang pun. Teman atau bahkan keluargamu sendiri. Berjanjilah padaku." Win menatapku tajam.
"Baiklah. Aku berjanji. Aku akan sembunyikan sarung tangan ini."
"Pulanglah!" perintah Win. "Janjimu pada pasukan Langit tidak bisa diingkari seumur hidupmu. Atau kamu akan celaka."
"Ya, aku berjanji." Aku mengangguk cepat. Lalu melepas sarung tanganya. Dan aku kembali terpana. "Hei, luka sayatnya hilang."
Win tersenyum. "Sudah seharusnya seperti itu. Sampai jumpa."
Belum sempat aku membalas salamnya, Win sudah berlari menjauh dariku sekencangnya. "Cepat sekali dia pergi," gumamku.
Buru-buru kumasukkan sarung tanganku ke saku dan bergegas kembali ke kamar sewaku. Sungguh malam yang menegangkan.
**
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro