#181 Life
"Apa tidak ada cara yang bisa kugunakan untuk menghubungimu?"
Win terkekeh. "Sebut saja namaku tujuh kali. Aku pasti datang. Tapi ...," kalimatnya sengaja dihentikan. Pandangan usilnya ditunjukkan.
Aku menatapnya curiga.
"Kalau sudah tujuh kali dan aku belum datang, sebut lagi tujuh kali. Mungkin kurang serius kamu menyebutnya. Atau mungkin aku yang tidak dengar."
Aku menghela napas kesal. "Kurasa itu bukan cara yang tepat."
Win terkekeh. "Kenapa? Kamu merindukanku, ya?" Nadanya menggodaku.
Aku tahu dia sedang tidak serius. "Ya, aku rindu. Sangat rindu sampai-sampai kepalaku mau meledak karena terlalu banyak pertanyaan."
Tatapannya berubah. "Serius kamu rindu padaku?"
Entah kenapa, aku langsung mengalihkan pandanganku. Antara kesal juga tidak suka dengan tatapan seperti itu. "Malam ini tidak ada Imo yang berhasil kamu musnahkan, ya? Sampai-sampai harus menggodaku."
"Aku? Menggodamu?" Lagi-lagi Win terkekeh. "Kenapa? Kamu tidak pernah digoda sebelumnya, ya?"
"Sudahlah. Aku ingin bertemu denganmu bukan karena mau membahas hal seperti itu. Aku mau tahu banyak tentang Imo."
"Baiklah." Win menegakkan posisi duduknya. "Imo, Black Imo, Young Imo, Lord Imo."
Aku kembali menatap Win. "A-apa?"
Win menatapku lekat. "Tadi kamu bilang, mau tahu banyaknya Imo."
"Lord Imo?" Aku semakin serius. Bukan lagi wajah yang menghadap Win, kini tubuh pun sudah berubah arah. "Ceritakan semuanya."
"Hh ... baiklah. Padahal sudah pernah kubahas." Win menghela napas pendek lalu membalas tatapan mataku dengan serius. "Imo itu sebutan untuk semua makhluk kecil pengisap bahagia yang menempel di punggung. Makhluk yang tidak kasat mata seharusnya. Young Imo untuk Imo yang baru menempel di punggung. Black Imo yang sudah hampir menguasai seluruh kebahagiaan si inang. Dan Lord Imo ...," Win tidak melanjutkan kata-katanya.
"Apa?" tanyaku tidak sabar.
"Kamu cantik," ucap Win.
"Win!" Aku berteriak kesal.
Win tergelak. "Kamu serius banget."
Aku mencibir. "Karena aku terlalu penasaran. Apa itu Lord Imo? Serius, Win!"
Win tersenyum. Senyum yang manis. "Lord Imo itu ... Imo yang sesungguhnya. Dia yang seharusnya dimusnahkan. Dia yang menerima bahagia dari semua bahagia yang dirampas oleh para Imo. Lord Imo tidak sama dengan Imo yang menempel pada punggung kita. Lord Imo hampir sebesar kita. Makhluk bayangan yang bergerak seperti kita."
"Tunggu! Jangan-jangan ...." Aku mencoba mengingat kembali kejadian yang telah lama terjadi.
Kini balik Win yang menatapku heran. "Apa?" tanyanya penasaran.
"A-aku pernah melihat sosok itu!"
"Hah?!" Win terkejut. "Apa maksudnya? Lord Imo? Di mana?"
"Atap kampus dekat menara jam pasir," kataku agak ragu.
"Kamu yakin itu Lord Imo?"
Aku mengangguk cepat.
"Seperti apa wujudnya?" Win kian penasaran.
"Seperti yang kamu bilang tadi. Tubuhnya sebesar kita. Bisa berpindah tempat dengan bebas. Dan kurasa tidak ada yang menyadari keberadaannya."
"Kapan kamu melihatnya?" Win terlihat semakin penasaran.
"Sudah lama. Dua kali."
"Apa?! Aku bahkan belum pernah bertemu sekali pun," ucapnya jengkel.
Ganti aku yang tersenyum kini. Senyum penuh kemenangan.
Win menyipitkan matanya. Kesal. "Lain kali kalau bertemu atau melihat Lord Imo, panggil aku."
Aku tertawa. "Bagaimana aku bisa memanggilmu. Kamu sendiri tidak tahu bagaimana caranya."
Win menepuk mukanya.
"Apa sama cara memusnahkan Lord Imo dengan para Imo itu? Bagaimana perbandingan mereka? Apa Lord Imo itu juga sama banyak dengan para Imo?"
"Tidak sama. Hanya ada satu saja Lord Imo. Dia mengawasi semua Imo itu. Lalu mengambil semua bahagia dari para Imo."
"Wow!"
Win melirikku.
"Menyeramkan. Lalu apa yang terjadi jika seluruh bahagia dirampas Imo? Eh maksudku Lord Imo. Apa yang akan terjadi?" tanyaku begitu antusias karena terlalu penasaran.
"Dunia menjadi kelam. Bayangkan saja dunia tanpa bahagia."
Aku bergidik.
"Sudah malam, lebih baik kamu pulang. Besok perayaan, nanti ketinggalan acaranya."
"Ah!" Aku baru tersadar kembali jika Win tidak mengingatkan, mungkin aku tidak ingat sama sekali.
"Aku juga mau pulang. Pulanglah!" Win segera bangun dari kursinya. "Sampai jumpa."
Louix Cafe tidak ramai malam ini. Mungkin semua orang sibuk di rumahnya masing-masing. Setelah membayar di kasir, Win langsung meninggalkan kafe. Aku pun akhirnya ikut meninggalkan kafe setelah menghabiskan minumanku dan membayarnya.
**
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro