#174 Life
"Kenapa? Kamu juga mau menikah?" Sebuah suara mengejutkanku.
Aku menoleh dengan cepat. Ternyata bukan seseorang yang kutunggu kedatangannya. "Tentu saja. Kurasa semua orang juga ingin menikah."
"Memangnya kamu sudah punya calon?" Ditariknya kursi di sebelah agar lebih dekat denganku. Lalu dia duduk.
Aku kesal kalau dia mulai lagi bertingkah aneh. "Yang jelas bukan sama kamu," jawabku cepat sebelum dia makin berulah.
"Yakin tidak suka denganku? Aku bisa melindungimu loh," godanya.
"Runi ... berhentilah bertingkah tidak wajar." Kupasang muka kesal di hadapannya.
"Tapi aku suka kamu," bisiknya cepat.
"Runi! Sudah kukatakan, aku masih normal," kataku gemas.
"Kan aku juga sudah bilang, yang tidak normal itu siapa. Pokoknya aku mau kamu suka sama aku." Dikedipkan sebelah matanya menggodaku.
Kuhela napas panjang. Lalu bergeser menjauh dari Runi.
Runi tersenyum. Lalu dia mengalihkan pandangannya. Tatapannya jauh ke depan. "Entah sejak kapan, aku jatuh cinta sama kamu."
Aku menoleh dengan cepat ke arahnya. Mataku melotot karena kaget. "Runi!" Tanpa sadar, aku nyaris berteriak.
Runi semakin terkekeh. "Tenang saja, aku tidak akan memaksamu mencintaiku. Tapi aku bisa membuatmu menerimaku apa adanya. Cinta bisa datang ketika kamu sudah terbiasa denganku." Tatapannya masih jauh di depan.
"Kamu terlalu percaya diri, Run. Bagaimana bisa aku mencintai seorang perempu ...," ucapanku terhenti.
Runi menatapku. Tatapan matanya begitu akrab.
Aku cepat-cepat berpaling. Berusaha mengalihkan perhatianku pada hal lain.
"Aku tidak peduli. Tapi sekali lagi kukatakan, aku suka sama kamu, Ka." Runi mengalihkan pandangannya. "Seandainya kamu tahu dan mau mengerti kondisiku ...."
Keheningan menyelimuti kami. Masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri.
Alun-alun tampak ramai. Banyak orang bersenda gurau. Menikmati malam sebelum mulai beraktifitas besok.
"Kamu sedang menunggu seseorang?"
"Entahlah," jawabku lesu.
"Kenapa? Bukan orang yang kamu suka?" tanya Runi penasaran.
Aku menggeleng lemah. "Bukan. Dia hanya senang berjanji tapi tidak pernah mengatakan di mana dan kapan dengan jelas. Jadi, aku tidak pernah tahu harus ke mana. Seandainya dia tahu menunggu itu bukan pekerjaan menyenangkan."
Runi tergelak. "Ya, kamu kasih tahu dia. Dia laki-laki atau perempuan?"
"Harus, ya, kukasih tahu kamu?" tanyaku sedikit keberatan.
"Tidak juga. Tapi aku heran, yang tidak jelas saja kamu tunggui. Masa aku yang jelas-jelas ada untukmu tidak kamu hiraukan."
"Runi!"
Runi semakin tergelak. Lalu tawanya menghilang. Tatapannya fokus pada satu titik.
Diam-diam aku meliriknya. Kuperhatikan arah pandangannya. Tidak ada yang mencurigakan.
"Ada apa?" tanyaku berpura-pura.
"Aku pergi dulu, ya. Ada sesuatu yang harus kulakukan."
Aku menatapnya heran.
Senyumnya melebar. Dia bangkit dari kursinya. Lalu mendekatkan wajahnya padaku. "Ada perempuan cantik di sana. Siapa tahu, jika aku mendekatinya, kamu tiba-tiba merasa cemburu," bisiknya.
"Runi!" Sekali lagi aku teriak.
Dia malah terbahak dan cepat melarikan diri. "Sampai jumpa!"
"Ada-ada saja anak itu," gumamku jengkel.
Kuperhatikan Runi menghilang di ujung alun-alun. Sepi di sekitarku meski sebenarnya masih banyak orang berkumpul di beberapa titik.
Menjelang tengah malam, kuputuskan untuk pulang. Win pun tidak terlihat sama sekali. Imo tidak juga kurasakan kehadirannya. Lagi-lagi aku kecewa.
**
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro