Bab 2- 💋Derita tanpa akhir💋
Jimmy melirik waktu pada arloji berbezel mewah yang melilit tangan. Ia hanya memiliki waktu 30 menit luang, sebelum bergegas untuk menemui kliennya. Ini adalah kesempatan Jimmy untuk memperbesar jaringan bisnis celana dalam yang diberi nama Zeus itu.
Tidak ingin membuang waktu berharganya, Jimmy melepaskan satu persatu kancing kemeja dan membuat kedua mata Elina melotot. Pun sesekali ia meneguk ludah. Ini sudah jam makan siang, lalu penglihatannya mendapatkan suguhan roti sobek yang tercetak di perut Jimmy.
"Kamu punya waktu 20 menit buat bersihin itu," peringat Jimmy dengan nada kelewat ketus.
"Kalau kamu nggak marah-marah dari tadi, waktu buat bersihin bisa lebih lama," gerutu Elina dengan suara yang lirih.
"Ngomong apa kamu?" tanya Jimmy yang tidak mampu mendengar omelan Elina dengan jelas.
"Mboten sanjang nopo-nopo (nggak bilang apa-apa), Pak Jimmy," jawab Elina dengan nada sedikit meledek.
"Di belakang ada deterjen buat ngilangin noda, Mbak," ucap Wulan seraya menggendong putrinya yang masih terisak.
"Oh ya, Mbak." Elina mengikuti langkah Wulan yang sudah berjalan terlebih dahulu.
Elina cukup mahir membersihkan noda baju. Setelah membuang gumpalan sisa cokelat dengan sangat hati-hati, Elina menaburkan deterjen tepat pada noda tersebut. Perlahan ia mengucek dan membilas hingga nodanya menghilang.
"Kira-kira Mas Jimmy bakal ngadu ke bos saya nggak ya, Mbak?" tanya Wulan khawatir. "Ibu saya hari ini sakit, jadi nggak bisa dititipin anak saya. Sementara suami lagi kerja di Jakarta."
Raut wajah Wulan terlihat sangat ketakutan. Sesekali ia mengusap wajah sang putri yang sudah lebih tenang dan berhenti menangis.
"Saya butuh uang. Kalau sampai dipecat, gimana nasib saya dan keluarga," tambah Wulan yang semakin membuat Elina iba. Ia dan Wulan tidak berbeda jauh, sama-sama rakyat jelata yang membutuhkan uang.
"Nggak Mbak. Dia emang emosian, tapi aslinya baik kok," jelas Elina. "Nanti minta maaf lagi aja."
"Mbak yakin, Mas Jimmy nggak bakalan ngadu sama bos saya?" Wulan memastikan sekali lagi.
"Iya, tenang aja," jawab Elina cukup yakin.
Setelah 15 menit mengucek, noda pada lengan kemeja Jimmy sudah bersih. Elina lantas mengeringkannya dengan setrika uap milik butik tersebut. Sementara Jimmy masih duduk di sofa sambil melakukan panggilan. Elina tidak mau munafik, Jimmy memang tampan, mirip seperti anggota boyband Korea yang sedang mendunia. Tetapi sangat galak dan menyebalkan. Entah keberuntungan atau kesialan yang akan didapatkan Serafina setelah menikah dengan pria itu.
"Nih," ucap Elina sambil mengulurkan kemeja yang sudah bersih itu kepada Jimmy.
Setelah mengakhiri panggilan teleponnya, Jimmy meneliti kemeja tersebut lalu mengenakannya.
"Mas Jimmy, saya benar-benar minta maaf njih (Ya)," kata Wulan sambil menundukkan tubuh tanda sopan. "Saya mohon jangan bilang ke Bu Desi. Kalau saya dipecat, keluarga saya mau makan apa?"
Iris gelap Jimmy lantas melirik pada Wulan. Ia melipat lengan kemeja setelah mengaitkan semua kancingnya. "Jangan jual kesedihan sama saya. Orang kok sukanya jual kesedihan buat lolos dari kesalahan."
"Ngapunten (maaf) sekali lagi, Mas Jimmy," ujar Wulan hampir bersimpuh di depan Jimmy.
Tanpa memperdulikan Wulan, Jimmy lantas berjalan pergi keluar butik tersebut. Lalu Elina berlari menghampirinya.
"Hey! Apa seperti itu kamu memperlakukan orang lain? Dia udah minta maaf loh," seru Elina menghentikan langkah Jimmy.
"Terus aku harus gimana? Dia itu kerja bawa anak udah salah, masih jual kesedihan buat lolos dari kesalahan."
Tidak terima dengan kalimat Jimmy yang terkesan semena-mena, Elina merapatkan jarak. "Dia bukan jual kesedihan. Tapi dia memohon sama kamu buat maafin dia dan nggak memperpanjang masalah!"
"Nggak ada bedanya. Aku paling benci sama orang yang suka meminta belas kasihan dengan kekurangan mereka!" tukas Jimmy dengan penekanan di setiap katanya.
"Dengar, nggak semua orang terlahir kaya seperti kamu, Jimmy Hartawan. Butuh perjuangan bagi mereka untuk mendapatkan pekerjaan!" tandas Elina dengan rahang menegang dan tatapan yang tertuju penuh pada Jimmy.
Pria keturunan China Indonesia itu hanya bisa menatap Elina yang membalikkan tubuh lantas berjalan menjauhinya. Ini adalah kali pertama seorang wanita berani mengatakan hal tersebut kepada Jimmy.
***
Tangan kanan Elina mengegas penuh motor matic-nya. Karena terlalu lelah, ia sampai bangun kesiangan dan tidak sempat membantu sang nenek berjualan bubur tumpang di depan kontrakan. Belum lagi jika mengingat pertemuan menjengkelkan bersama Jimmy Hartawan kemarin. Pria itu super menjengkelkan. Elina berharap tidak akan bertemu lagi dengannya.
Angin yang bertiup kencang menerpa wajah Elina, membuat helm tanpa cetakan SNI itu hampir terbang. Elina bisa kehilangan sepuluh ribu berharganya jika satu menit saja terlambat isi presensi di Lovely Hotel. Tempat kerja Elina selama tiga tahun terakhir ini.
Merendahkan kecepatan ketika memasuki area hotel dan mencari tempat parkir yang kosong. Elina segera melepaskan helm dan jaket lusuh bertuliskan merk motor yang berbeda dengan miliknya.
Langkah Elina semakin memburu ketika jarum jam pada arloji terus mengikis waktunya. Sesekali Elina harus menyeret kaki kanan sebab sol sepatu yang terlepas. Astaga! Baru mengawali hari saja sudah seberat ini.
"Akhirnya!" Elina bersorak setelah menempelkan jari telunjuk pada mesin absen. Ia menghela napas lega dan berjalan terpincang. Lalu mengambil sepatu dengan hak setinggi 5 senti itu dan berusaha memperbaikinya.
Elina duduk di samping gedung hotel untuk mengelem sepatunya dengan lem alteco. Selama belum memiliki uang lebih, Elina harus selalu membawa benda keramat itu. Untuk berjaga-jaga kalau sepatunya jebol seperti sekarang.
Dengan telaten Elina mengelem pinggiran sol sepatu. Sangat hati-hati agar cairan perekat itu tidak terbuang sia-sia. Setelah terolesi sempurna, Elina meniup agar perekat tersebut cepat mengering.
Dering ponsel dari saku rok yang mendapat julukan mbah renggo atau kumbah garing dienggo itu, membuat tangannya merogoh dalam. Well, Elina hanya memiliki dua rok kain untuk bekerja. Jadi ia terpaksa memakainya selama satu minggu. Dicuci, kering, lalu dipakai lagi.
Nama Bondan tercetak di layar ponsel yang sudah retak itu. Elina meneguk saliva ngeri. Pasti rentenir itu mau menagih uang cicilan yang harus dibayarkan lusa kepadanya.
"Ha-halo ," ujar Elina setelah menempelkan ponsel ke salah satu telinga.
["Halo, Cah Ayu. Gimana kabarnya?"]
Pria tua Bangka itu selalu berbasa-basi ketika melakukan panggilan kepada Elina. Padahal inti dari pembicaraannya hanyalah duit dan duit.
"Besok aku bayar cicilannya Pak, kalau udah gajian. Tenang aja."
["Padahal aku udah nawarin yang lebih enak ke kamu loh Cah ayu. Cukup jadi istri ketiga ku aja, hutang Bapak Ibumu langsung lunas. Pie? (Gimana) Masih ada kesempatan kok."]
Elina menghela napas pelan. "Nggak Pak, matur suwun." (Terima kasih)
["Pie to, bocah dikekki kepenak kok malah milih seng rekoso."] (Dikasih yang enak, tapi pilih yang berat)
Sejak pertama melihat Elina, Bondan memang sudah tergila-gila padanya. Siapa yang tidak tertarik dengan pribadi yang tidak neko-neko itu? Elina hanyalah seorang wanita sederhana yang tidak akan membuat harta Bondan habis karena gaya hidup. Pun jika Elina seperti itu, Bondan tidak keberatan.
Ia merasa harus menggantikan kedua istrinya yang sudah tidak menarik lagi dengan gadis yang lebih cantik. Elina memiliki postur tubuh yang ideal, tinggi dan ramping. Perpaduan darah Jawa dan China teramu pas di wajah wanita berusia 29 tahun itu.
Tidak ingin membuang waktu terlalu lama dengan Bondan, Elina lantas mematikan panggilannya begitu saja. Daripada menjadi istri ketiga pria menjijikkan seperti Bondan, mending Elina bekerja keras seumur hidup.
Elina harus berurusan dengan Bondan karena kedua orangtuanya sempat tertipu investasi bodong. Mereka terpaksa meminjam dana kepada Bondan untuk mengganti uang tetangga yang ikut raib.
Seperti kurang puas memberi pelajaran kepada keluarga Elina, musibah kembali datang. Aset satu-satunya yang merupakan tempat tinggal sekaligus kios batik habis dilahap Si jago merah. Semua dagangan orang tua Elina di lantai 1 terbakar habis. Pun harta benda di lantai 2 tidak ada yang bersisa. Hingga dalam hitungan bulan, Bapak Elina dipanggil Sang Maha Kuasa. Selang dua hari ibu Elina menyusul.
Memasukkan kembali ponsel ke dalam saku rok lalu berjalan ke ruangannya. Elina tergabung dalam departemen Sales dan Marketing di bagian publik relation. Berurusan dengan media partner untuk kepentingan promo hotel adalah tugas Elina. Ia yang bertugas melobi beberapa media untuk pemasaran promosi hotel.
Melirik arloji dan masih memiliki waktu luang, Elina berbelok ke kamar mandi untuk merapikan riasan yang ala kadarnya. Senjata rias Elina hanya satu bedak dan lipstik dengan harga amat terjangkau. Jika dibandingkan rekan kerja satu departemen, penampilan Elina terlihat paling biasa saja.
Tidak ada goresan pensil alis, tumpukan foundation atau blush on yang membuat kedua pipi lebih berseri. Jangan berharap rambut dengan catokan curly yang membingkai wajah. Elina tampak sederhana dengan membiarkan rambut hitam panjang terurai bebas. Terkadang menyematkan jepitan lidi agar poninya tidak berantakan.
"Elina! Kamu dari mana aja sih!" seru Rahma dengan intonasi suara yang cukup keras.
"Sa-saya tadi mampir ke toilet, Bu," jawab Elina.
"Kamu itu pie (Gimana) to Lina! Kemarin 'kan udah dikasih tahu jangan sampai salah ngasih promonya ke event Radio Idola. Kok kamu malah kasih promo wedding yang salah? Gimana to! Iso kerja nggak sih kowe iki!" (Bisa kerja tidak?)
"Hah?" Kedua mata Elina membulat secara sempurna. Ia merasa sudah memberikan promo revisi sesuai petunjuk.
"Mbak Hana marah-marah karena ada tamu datang dan minta paket promo yang salah itu, tiga klien wedding Elina! Habis kamu, kalau sampai Mbak Hana lapor ke atasan! Kowe iso dipecat!" (Kamu bisa dipecat)
Seperti tersambar petir, seluruh saraf Elina mendadak tidak berfungsi. Pemecatan adalah kata yang paling mengerikan bagi Elina saat ini.
TO BE CONTINUED .....
Halo Lovelies, gimana nih Jimmy sama Elina? Lanjut baca besok di jam yang sama ya .....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro