Alasan Ketiga Puluh Tiga Sepertiga
Bahkan berjalan di belakangnya saja sudah membuat tubuhku panas dingin.
Kamu tidak pernah menebak apa pun yang terjadi di masa depan. Aku menyukai kutipan itu, karena begitu tepatnya yang terjadi di Minggu pagi. Ketika beranjak dari kamar menuju ke dapur, aku langsung melihat kedua orang tuaku sedang asyik meminum kopi sambil membicarakan cuaca. Aku menyapa mereka dengan suara seriang mungkin.
"Karena kemarau sampai hutan di Kalimantan terbakar parah," kata Papaku ke Ibu, lalu kepalanya berpaling ke arahku. "Selamat pagi juga, Fina. Wajahmu kenapa begitu?"
"Itu bukan cuma karena cuaca, pasti ada yang membakarnya," respons Ibuku yang matanya juga beralih ke wajahku. "Fina, kamu lagi ada masalah di sekolah?"
Aku yang sedang mengoles selai ke roti segera menghentikan aktivitas. "Memang kenapa dengan wajahku?"
"Wajahmu seperti ....," Papa terdiam sejenak, tampak mencari kalimat yang sesuai.
"Seperti menyimpan beban," cetus Ibuku langsung.
"Ah, itu nggak mungkin," seruku sambil memaksakan tertawa.
"Ada yang mengusikmu di sekolah?" tanya Papa sambil meletakkan koran yang dibacanya.
Kalau tatapan kekecewaan Achmat Renaldi yang mengguncangkan ketentraman perasaanku bisa disebut gangguan, maka cowok itu lah pelakunya. Tapi jika aku menjawab sejujur itu pasti mereka akan menatapku seperti melihat kucing sedang berbicara. Lagipula membicarakan masalah cinta dan perasaan ke orang tua seringnya dianggap bukan masalah penting. Padahal bagiku dan pastinya bagi remaja lain, perasaan dan cinta itu sama pentingnya seperti membedakan antara gula dan garam. Akhirnya aku memutuskan untuk menggeleng. Enggan menjelaskan.
"Tidak ada yang menggangguku di sekolah. Semuanya baik-baik saja," ujarku. "Mungkin aku cuma lelah tugas-tugas saja."
"Nada suaramu tadi juga nggak ceria seperti biasanya," kata Ibu yang selalu bisa mendeteksi perbedaan kecil dalam diri anaknya.
"Fina, kamu bisa cerita apa pun ke kami," tambah Papa sambil tersenyum hangat.
Ketika aku sedang memikirkan jawaban yang logis sebagai alasan, bel rumah berbunyi mengejutkan. Syukurlah. Bel itu penyelamat. Setidaknya untuk hari ini, aku bisa aman dan selamat dari rongrongan pertanyaan kedua orang tuaku.
"Biar aku yang mengecek," kataku cepat.
Aku menghela napas lega ketika berhasil membebaskan diri dari wawancara Papa dan Ibu. Lalu langkahku segera beranjak membuka pintu dan bersiap menyambut tamu yang berdiri di luar pagar rumah. Perawakkannya tampak familiar. Seorang cowok. Sosok itu memunggungi pagar sehingga sulit memastikan wajahnya. Ketika aku berjalan mendekati pagar, siap membuka pintunya betapa terkejutnya aku. Wangi segar paper mint ini. Wangi yang sama dengan ....
Ketika memikirkan semua kemungkinan itu, tanganku sigap bergerak membuka pagar dan mendapati Achmat Renaldi berbalik badan menghadapaku. Cowok itu menggunakan kaos hitam polos dan celana panjang berwarna senada bajunya. Berapa persen kemungkinan kita bertemu seseorang yang kita suka selain di sekolah? Aku tertegun.
"Hai, Fina," sapa Achmat Renaldi. Hangat seperti biasanya.
Aku masih memandangnya tak percaya. Apakah aku halusinasi karena kebanyakan memikirkan Achmat Renaldi? Sehingga cowok itu sampai berwujud di depan mataku. Atau ini nyata?
"Fina?"
Achmat Renaldi mengibaskan tangannya di depanku hingga aku sadar dari lamunan. Dia nyata. Tapi pertanyaannya selanjutnya, kenapa dia ke sini? Mungkin pertanyaan yang tepat adalah bagaimana bisa Achmat Renaldi tahu rumahku?
"Aku mau mendonasikan buku," kata Achmat Renaldi seolah bisa membaca pikiranku.
Aku mengangguk. "Oh. Itu—"
Ucapanku terpotong ketika Ibu berseru ke Achmat Renaldi. "Halo, Nak. Kamu datang lagi ke sini, ayo masuk dulu."
"Bu—" Aku ingin mencegah tapi Ibu sudah menggiring Achmat Renaldi untuk masuk rumah.
Achmat Renaldi mengangguk sopan dan mengangkat kardus yang dibawanya. Aku hanya mengamati Ibu dan cowok itu dari belakang. Achmat Renaldi menggunakan tas merah maroon seperti yang biasanya dipakai ke sekolah. Betapa mengejutkannya sekarang dia sekarang ada di sini. Berdiri, berjalan dan bergerak tak lebih semeter dariku. Apa kata May kalau tahu? Alasan apa lagi yang harus aku gunakan untuk menghindar dari Achmat Renaldi? Bahkan berjalan di belakangnya saja sudah membuat tubuhku panas dingin.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro