Alasan Ketiga Puluh Lima
Aku suka sama kamu. Tapi aku juga tahu kalau kamu sukanya sama orang lain. Iya, kan?
***
"Aprilio mau berbicara sama kamu di lantai dua," kata Cindy yang masuk ke kelas kami, serta menghampiri mejaku dan May.
"Kapan?"
"Ya, sekarang," sahut Cindy bete. "Eh, sebentar, F. Jangan pergi dulu. Kamu nggak ada hubungan apa-apa sama Aprilio, ya? Maksudku, kalian nggak pacaran, kan?"
"Tentu aja enggak. Kami kan cuma berteman. Mungkin dia ada perlu pelajaran aja," sahutku langsung.
Cindy seketika tersenyum. "Syukurlah. Aku mewakili Aprilio lovers bakal patah hati kalau sampai itu terjadi."
"Wow, sekarang ada sebutan untuk fansnya? Aku baru tahu, C," kelakar May.
Seketika aku tertawa. Wajah Cindy hanya bersemu merah hingga akhirnya dia berpamitan. Langkahnya riang bergabung dengan Rara dan Mia yang menunggu di koridor. Aku menoleh ke May untuk mengajaknya ke lantai dua setelah Cindy pergi.
"Fin, kayaknya Aprilio pengen ngobrol berdua bukan bertiga," kata May hati-hati.
Aku mengernyitkan kening. "Biasanya kita malah ngobrol berempat sama Santiago. Nggak mungkin dia cuma mau ngobrol berdua aja."
"Coba kamu samperin dia dulu. Nanti aku nyusul, deh."
"Emang kenapa May? Kamu bikin aku tegang. Eh, kebetulan Santiago jalan ke arah sini," seruku saat melihat kehadiran Santiago yang berjalan ke arah kami.
May berbalik badan dan matanya memelotot ke Santiago. Cowok itu tampak tak sadar dan malah menyapa kami semangat. Aku mengamati setiap kejadian itu dengan kebingungan. Lalu, Santiago mengoceh kalau hari ini dia berencana mengajak kami makan berempat lagi. Aku menyetujui dan berencana menyuruh Aprilio segera bergabung. Untuk kali pertama, May tidak menyetujui gagasan tersebut.
"Kenapa?" protesku dan Santiago nyaris berbarengan.
"Karena Fina harus ngobrol dengan Aprilio di lantai dua," kata May gemas.
"Ya, kita bisa menunggunya di lantai dasar ini," seru Santiago.
"Betul. Kami cepat, kok. Aprilio mungkin cuma ngobrol nggak penting," tambahku.
May berkacak pinggang. "Nggak penting menurut kamu, mungkin penting menurut orang lain."
Loh, kok sewot? Aku bertukar pandang dengan Santiago. Ternyata, cowok yang menyukai May itu sama bingungnya denganku.
"May, kamu kenapa, sih?" tanya Santiago.
"Burhan, jangan ikut campur," seru May, lalu berpaling kembali ke arahku. "Fina, ayo samperin Aprilio sana."
"Kalian bakal nunggu, kan? Masa makan berempat, tapi jalan sendiri-sendiri," keluhku.
"Oh iya, hari ini aku bakal makan berdua dengannya. Aku enggak mau diganggu," seru May dengan senyum lebar sambil menarik tangan Santiago untuk pergi.
"Kamu serius?" tanya Santiago takjub.
Belum sempat aku memprotes, May dan Santiago sudah berjalan menjauh. Tangan May menyeret Santiago agar bergerak cepat. Dari tempatku berdiri, aku melihat Santiago masih bertanya-tanya ke May. Sayangnya suara May yang menjawab tidak begitu terdengar jelas. Ini kemajuan luar biasa. May dan Santiago makan bersama berdua saja. Itu artinya ada kemungkinan mereka bakal jadian. Aku menggeleng kepala tak percaya. Aprilio harus tahu ini.
Dengan semangat, aku menuju ke lantai dua. Benar, Aprilio di sana. Cowok itu berdiri memunggungiku yang datang dari arah bibir tangga. Badannya condong menempel ke tembok pembatas dan kepalanya menunduk mengamati lapangan. Tasnya teronggok di lantai sebelah kakinya.Koridor lantai dua sudah sepi karena jam pulang sekolah sudah lewat tiga puluh menit lebih. Hanya tersisa aku dan Aprilio di lantai dua.
Aprilio harus tahu perkembangan hubungan May dan Santiago pasti dia akan senang mendengar kabar ini. Aku berjalan mendekatinya. Aprilio menoleh ke arahku dengan senyum terulas tipis.
"May dan Santiago mau makan berdua, loh. Keren, kan? Ini pertama kalinya aku tahu May membuka hatinya untuk cowok. Rasanya aneh. Tapi aku senang lihatnya tadi. Kamu sih nggak lihat," cerocosku.
Kali ini Aprilio bukan hanya menoleh, tubuhnya kini menghadapku seluruhnya. Seragamnya tidak lagi dikancing rapi dan dimasukkan ke dalam celana. Aprilio sudah membuka kancing seragamnya sehingga memaparkan kaos hitam di dalamnya. Seragam sekolahnya berkibar terembus angin.
"Fin, apa ada kemungkinan kamu membuka hati untukku?" tanya Aprilio yang mengabaikan pernyataanku sebelumnya.
"Maksudmu?"
"Jawab dulu pertanyaanku."
Aku mencerna pertanyaan Aprilio seperti menelan kerikil. Sulit. Lagipula pertanyaan itu terlalu tiba-tiba bahkan sebelum aku sempat menduga.
"Aku benar-benar tidak mengerti maksudmu," seruku akhirnya.
Aku sungguh-sungguh dengan ucapanku. Bukan untuk mengulur waktu. Bukan juga untuk menghindar. Belum setahun kami kenal, sikap Aprilio memang bersahabat. Dia ramah. Ceria. Persis es krim di musim kemarau yang menyenangkan semua orang. Sikapnya yang baik itu bukan hanya ditunjukkan kepadaku, tapi ke semua orang.
Sekarang, kalau Aprilio memintaku membuka hati untuknya tanpa aku pernah merasa kami PDKT berarti ada yang keliru dalam hubungan kami. Mungkin ada kesalahapahaman. Aku menunggu Aprilio angkat bicara. Cowok itu menghela napas.
"Fina," kata Aprilio akhirnya. "Aku suka sama kamu. Tapi aku juga tahu kalau kamu sukanya sama orang lain. Iya, kan?"
Nada suaranya serius. Jelas Aprilio tidak sedang melucu. Aku termenung. Sejak kapan dia menyukaiku? Kenapa Aprilio bisa suka denganku? Dia mempunyai banyak penggemar, termasuk Cindy dan teman-temannya. Mengapa dia repot-repot menunggu seseorang jika di luar sana banyak orang menyukainya? Mendadak aku sadar diri. Pertanyaan itu juga persis seperti yang terjadi padaku. Jika Aprilio selama ini menyukaiku, untuk apa aku menunggu Achmat Renaldi? Aku menggeleng berusaha menghapus pertanyaan itu. Segala pertanyaan itu tidak relevan. Pertanyaan harus direspons jawaban. Bukan melempar pertanyaan balik.
"Aprilio, selama ini kamu teman terbaikku," kataku hati-hati.
Aprilio mengangguk. Dia menggigit bibirnya. Hening sesaat. Aku sama bungkamnya dengan Aprilio yang mulai menunduk. Hingga dua menit kemudian, Aprilio mendongak sambil tersenyum ke arahku.
"Ternyata benar, jawaban atas perasaanmu bukan aku," kata Aprilio. "Terima kasih kamu sudah menjawab. Aku lega sekarang. Kalau gitu, aku pulang dulu."
Aku menyaksikan Aprilio bergerak cepat mengambil tasnya. Dia tampak buru-buru ingin pergi. Apakah aku akan kehilangan teman seperti Aprilio? Perasaan takut kehilangan teman itu membuatku memegang lengannya.
"Aprilio, kamu baik-baik aja, kan?"
Jemari Aprilio menyingkarkan tanganku yang memegang lengannya. "Nggak ada orang yang baik-baik saja setelah patah hati. Tapi kamu jangan khawatir, Achmat nanti ke sini untuk menjemputmu."
Aku melongo tak mengerti. Achmat Renaldi mau menjemputku? Kebingunganku diabaikan begitu saja oleh Aprilio. Karena kini cowok itu berjalan menuruni tangga. Tanpa menoleh ke arahku.
Apa yang tadi kulakukan? Aku mematahkan hati seseorang. Sejujurnya aku bahkan tidak menyadari tanda-tanda Aprilio menyukaiku.
Kemudian aku menyadari sesuatu. Mungkin persis seperti ini yang Achmat Renaldi rasakan. Dia tidak tahu sedang dicintai. Baru tahu ada yang menyukainya setelah May memberitahu. Cukup adil. Kadang orang yang kita cintai tidak tahu kalau dirinya mudah dicintai.
Ketika menimbang-nimbang hal itu, terdengar suara derapan langkah kaki mendaki tangga. Aku menoleh dan mendapati Achmat Renaldi yang berpakaian rapi dengan tali tas tersampir di sebelah bahunya. Ucapan Aprilio bukan tipuan. Achmat Renaldi kini berdiri di hadapanku. Jika ingin mengajak pulang, kenapa tidak dia katakan langsung? Kenapa cowok itu selalu berhasil membuat suasana canggung? Aku menggelengkan kepala. Tidak. Aku sudah janji pada diri sendiri agar tegas.
"Fin, ada yang perlu aku bicarakan," ujar Achmat Renaldi.
"Apa?" tanyaku penasaran setengah mati.
"Apa kamu tahu alasan aku berangkat pagi?"
"Karena kamu hidup tertatur? Kamu selalu tepat sampai di sekolah pada jam 06:16."
Achmat Renaldi menggeleng. "Awalnya aku tidak tahu. Lalu setiap kali aku berhasil berangkat pagi, kamu pasti selalu ada di dekat pagar. Aku merasa kamu mengamatiku. Maka selama beberapa hari, aku melakukan percobaan dengan datang lebih pagi, datang tepat pukul 06:16 dan datang lebih siang. Hasilnya mudah ditebak. Kamu lebih sering ada di pukul 06:16. Aku pernah datang lebih awal dan melihatmu berdiri di pagar celingak celinguk hingga akhirnya May menarikmu ke kelas."
Aku terkesiap.
"Sejak saat aku sadar hal itu akhirnya aku selalu berusaha sampai di sekolah pukul 06:16. Dengan cara berpakaian yang sama. Dengan langkah dan arah berjalan yang sama. Aku tahu kamu memerhatikan itu. Aku juga jadi sering makan bakso di tempat yang sama karena itu jarak terdetak tempat duduk kita," kata Achmat Renaldi sambil tersenyum. "Oh, iya. Aku juga menyelidiki orang yang meletakkan buah di jok motor dan loker. Waktu itu aku pernah melihatmu dan May di loker, tapi aku pura-pura tidak tahu. Aku senang kamu melakukannya."
Sudah cukup. Aku merasa romantis dan sopan saat melakukannya dulu. Diucapkan Achmat Renaldi seakan aku melakukan hal yang menggelikan.
"Aku ingin membalas kebaikan itu dengan membawa makanan ke rumah kamu. Saat berhasil menemukan alamatnya, aku melihat kamu dan May sedang asyik dengan perpustakaan di garasi. Akhirnya aku berinisiatif untuk berdonasi buku. Orang tuamu cukup aktif di media sosial. Jadi mudah menemukan informasi tata cara berdonasi buku ke perpustakaan di rumahmu," jelas Achmat Renaldi bersemangat. "Aku lebih memilih menyebutkan nama keluargaku saat berdonasi. Untung orang tua kamu tidak pernah bertanya. Tapi aku juga tak pernah bertemu dengan kamu setiap bertamu ke rumahmu. Itu memang tujuan utama, tapi aku tetap senang berdonasi buku ke perpustakaanmu. Aku pernah lihat kamu asyik membaca di sana."
"Achmat, kamu tahu ...."
"Iya, aku tahu semua, Fin. Aku suka perhatianmu. Maka aku mendekati May agar mau membantu. Tapi waktu itu berakhir salah paham dan aku malu bertemu denganmu maka lebih baik menghindar," ujar Achmat Renaldi. "Untunglah kalian sudah berbaikan. Lalu aku sempat cemburu karena Aprilio mendekatimu. Kami tidak bersaing untuk memenangkan hatimu. Karena Aprilio sadar kalau tahu ternyata kamu lebih suka denganku dibanding dengannya. May dan Aprilio sama-sama meyakinkanku agar menyatakan perasaan ke kamu. Tapi, aku ragu mengungkapkan perasaanku ke kamu."
Setelah semua ceritanya yang runut dan menyenangkan, Achmat Renaldi malah menjadi ragu pada perasaannya. Aku tak mengerti. Hening sejenak antara kami. Tapi gelombang kecemasan dan rasa penasaran membuatku buka mulut.
Apa kamu ilfeel dengan perhatian seperti itu? Apa aku seperti stalker yang mengerikan? Mulutku justru bertanya, "Kenapa kamu ragu?"
"Orang tuaku memintaku untuk melanjutkan studi keluar negeri setelah lulus nanti. Mengikuti perguruan tempat orang tuaku menimba ilmu. Kalau kamu mau menerima perasaanku atau kamu menolaknya itu nggak mengubah fakta bahwa kita akan berada ratusan kilometer jauhnya. Kamu pasti nggak akan suka situasi itu," seru Achmat Renaldi tanpa bisa menyembunyikan kekecewaannya. "Aku ingat kalau kamu pernah bilang kalau cerpenku dimuat bukan karena kebetulan tapi dibuat karena kesungguhan hati. Sama seperti aku yang bukan cuma kebetulan bertemu denganmu. Tapi situasi ini jelas juga bukan kebetulan. Orang tuaku mengatur kehidupan aku."
Percakapanku dengan Ibu di garasi kembali mengingatkanku. Aku memang tidak bisa mengendalikan kaki dan impian Achmat Renaldi melangkah. Satu-satunya yang bisa kukendalikan adalah sikap, perasaan dan ucapanku sendiri. Dia harus tahu itu.
"Achmat Renaldi, aku senang mendengar penjelasanmu. Tapi suka atau enggaknya aku dengan situasi itu seharusnya aku yang menentukan," kataku dengan pipi yang merona.
"Oh, kamu benar. Maaf. Aku tidak pernah bertanya pendapatmu," kata Achmat Renaldi yang raut wajahnya menunjukkan rasa bersalah.
"Enggak apa-apa," seruku ringan.
"Kalau gitu aku ingin bertanya tentang pendapatmu," seru Achmat Renaldi sambil tersenyum kecil.
"Apa?"
"Gimana kalau kita pacaran, Fina?"
Tatapanku dan Achmat Renaldi berserobok. Untuk kali ini, aku tidak berpaling dari wajahnya. Sementara Achmat Renaldi sendiri menatapku lama sambil mengulas senyum. Hatiku terasa berdesir. Dadaku berdetak riang. Kupu-kupu seolah berterbangan dalam perut. Ah, ini rasanya mencintai dan dicintai.
TAMAT
P.s
Terima kasih sudah menemani kemelut perasaan Fina dari tahun 2018 sampai akhir 2020. Bahagia sekali rasanya menuntaskan cerita yang dibaca 12,6K dan divote 1,8K ini. Salah satu cerita yang sangat membekas di hatiku dan juga hati pembaca. Mohon maaf atas kekurangan tulisan ini. Kurang lebihnya, you're rock! :)
Sampai bertemu di cerita lainnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro