Alasan Kedua Puluh Tiga
Aku mempercayai kebohongan. Karena aku terlalu takut pada kenyataan yang menyakitkan.
*
Sudah beberapa hari, May tidak mau diajak pulang bersamaku. Ia juga tidak pulang dengan Cindy. Karena saat di parkiran, aku melihat Cindy membonceng teman sekelasnya, Rara. Saat ini, aku melihatnya pulang sesudah Magrib. Ia bisa saja diantar siapa pun di depan komplek, lalu jalan kaki memasuki komplek perumahan ini.
May tampak terperanjat saat menemukanku duduk-duduk di trampolin. Trampolin berwarna biru laut baru dipasang sepekan lalu. Orangtua May sengaja memasangnya agar anak-anak pengunjung yang membaca bisa sekaligus bermain. Selepas mereka pulang, benda ini jadi tempat nyaman untukku sekadar duduk atau berbaring.
Bentang langit terlukis indah saat lewat jam enam. Awan saling menggulung dan meliuk. Semburat cahaya matahari masih tersisa sebagian meski sedikit. Seiring berjalannya waktu, cahayanya nyaris pudar di balik awan. Membuat titik-titik di langit semakin terlihat terang. Bintang.
"Kalau ke sini biasanya malam," tegur May sambil meletakkan tasnya di rerumputan. Lalu membanting tubuhnya yang masih dibalut seragam ke atas trampolin.
Kerangkanya mengayun saat May bergerak. Bau keringatnya mengalahkan parfum lembut saat pagi kami berangkat. Aku ikut berbaring di sampingnya. May bergeser.
"Lagi kepengin aja. Kalau sore kayaknya lebih sejuk," jawabku menatap langit. Saat aku melirik, May juga sibuk melihat ke atas, pada bentuk kekuasaan Tuhan.
May mengendurkan dasi abu-abu, lalu melepas dan meletakkannya di sisi kanan tubuh. Dari caranya melepas dasi, aku tahu energinya sudah terserap untuk sebuah kegiatan. Kegiatan yang selalu May lakukan sesudah pulang sekolah. Aku punya kegiatan, begitu kalimat May memberi alasan. Sedangkan aku tidak perlu susah bertanya apa kegiatannya. Persahabatan tidak seotoriter itu.
"Kamu kelihatan lelah," kataku seramah mungkin.
"Begitulah. Cuma capek sedikit, kok."
Aku mengangguk. Entah May melihatnya atau tidak. "Kalau gitu, kamu istirahat aja. Mandi dan makan malam."
Lagu backstreet Boys berjudul Straight Through My Heart berputar riang. Memecah keheningan. Aku menoleh ke arah suara, masih dengan posisi telentang.
May bergerak bangkit dan mengorek-ngorek tas. Ia berdecak hingga akhirnya ketemu. Lagu semakin nyaring saat May mengeluarkan ponselnya.
"Aku ganti baju dulu di dalam, ya, Fin," ujar May sambil mengambil tas.
Ia tidak menunggu jawabanku, May beranjak bangkit. Aku masih di trampolin. Sayup-sayup terdengar halo. Lalu tidak ada suara lagi.
Tersisa aku sendiri. Menggantung pertanyaan, apa Achmat Renaldi yang menelponmu, May? Mataku terasa berair ketika membayangkan jawabannya adalah anggukan. Mungkin lebih baik, aku tidak perlu mengetahuinya sehingga tidak akan terluka.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro