Alasan Kedua Puluh
Kembali kita bertemu. Perlu kita memulai atau saling mengabaikan.
Layaknya burung yang terbang bebas. Seperti itu perasaanku sekarang. Bebas. Sekaligus ada gelombang kegembiraan yang diredam sebisa mungkin, meski sulit. Senyumku masih tersisa ketika Ibu mengomel karena aku lama sekali. Aku meminta maaf dan langsung izin masuk kamar.
Membanting tubuh ke dipan kulakukan setelah mencatat nomor Aprilio di kertas. Rasanya langit-langit kamar ikut tersenyum saat aku memandangnya. Meski lampu kamar sudah kupadamkan dengan kegelapan yang menyelimuti.
Nomor Aprilio sudah kudapat. Aku hanya perlu memberikannya ke May dan Cindy. Lalu tugasku selesai. Masalah mereka mau mendekati Aprilio habis-habisan, ya, itu urusan mereka. Kewajibanku selesai dan hakku kembali. Hati damai.
Usaha untuk mengamati Achmat Renaldi akan kembali. Ia mungkin tidak akan tahu sedang dicintai. Tapi aku percaya, segala usaha yang telah kulakukan akan membuat cowok itu sadar sendiri. Dan aku tidak sabar untuk menunggu hari itu tiba. Kepercayaan tersebut mengantarku ke alam mimpi dengan tenang.
Keesokan harinya, waktu berjalan lambat. Aku tidak telat bangun. Justru bersemangat. Sarapan, pergi ke sekolah bersama May, masuk kelas, dan mendengarkan guru saat menerangkan Sejarah. May bersemangat di pelajaran ini seperti biasa. Mungkin itu alasan ia tidak membahas nomor Aprilio.
Justru tidak membahas nomor Aprilio itu penyebabnya. Waktu bergerak lambat karena aku tidak tahan memberitahu May. Tapi aku juga enggan mengatakan duluan. Bukan menjadi anti-Aprilio, hanya saja aku bukan salah satu fansnya. Aku hanya ingin berhenti jadi agen ganda penuh muslihat.
Lucunya seiring berjalan waktu, tepatnya saat istirahat, Cindy datang ke kelas kami. Wajah semringah terukir jelas dengan lagak pegas yang tak bisa berhenti melonjak-lonjak. "Bagaimana?" Itu kata pertama saat menyambut kami.
Aku membereskan buku dan memasukkannya ke tas. May merapikan buku pelajaran dan memilih menyimpan di kolong meja. Ia menyapa Cindy. Tak kalah ceria.
"Maaf ya, pas pagi aku nggak ke sini. Ada PR ekonomi. Aku baru inget dan ngerjain tadi, nyontek sama Rika. Duh, Rika emang malaikat penolong banget, deh. Ngomong-ngomong, gimana? Udah ada kemajuan?" cerocos Cindy.
May terkekeh. "Kita baru minta tolong, Fina. Kurang dari tujuh hari malah. Nggak bisa secepat itu dapat. Tapi tenang aja, aku punya misi bagus buat mempercepatnya."
Aku menenguk ludah. Ternyata dugaanku salah. Bukan karena Sejarah, May tenang. Tapi karena misi baru yang tampak terencana jelas di benaknya.
"Misi apa?" Cindy kebingungan. Aku apalagi.
"Kita dorong supaya Fina dekat Achmat Renaldi. Mereka kan sahabat karib. Nah nanti Fina minta nomor Aprilio dari si Achmat," kata May riang. "Sebab kalau kita yang minta ke Achmat langsung pasti nggak dikasih. Aprilio pasti udah ngasih warning duluan ke Achmat supaya nggak nyebar nomor. Tapi kalau Fina? Fina nggak ngejar siapa-siapa. Terlalu kalem. Achmat nggak bakal curiga."
Bohong besar Fina tidak mengejar siapa-siapa. Aku menghela napas. Tapi ide menarik karena ada bantuan tambahan untuk mendekati cowok favoritku. Mempercepat melunturkan status penganggum setia di diriku.
Tiba-tiba terlintas di pikiranku, jika pada akhirnya Cindy membantu, itu hanya mempermalukan. Aku tahu perilaku Cindy yang mengebu-ngebu kalau menyukai cowok. Dan mengerikan membayangkan ia membantu. Lagipula, aku akan menanggung malu jika rahasiaku menjadi penggemar Achmat Renaldi terungkap ke Cindy.
"Aku setuju. Ide cerdas. Kapan kita mulai?" tanya Cindy.
"Kita ke kantin dulu, yuk. Aku laper," sahut May. "Kita ngobrolin di kantin aja sekalian."
Ketika kursi tergesek lantai dan keduanya berdiri beranjak keluar, sebagian dalam diriku memberontak. Sampai kami melangkah di koridor sekolah, aku baru angkat bicara. Setengah berteriak di tengah keduanya karena aku berada di belakang dan bunyi alat-alat marching band di lapangan yang meredam teriakan meski sedikit.
"Aku kan udah bilang enggak mau didesak," kataku membuat mereka menyimak. "Kalau untuk nomor Aprilio, gampang, aku—"
Aku tidak berhasil menyelesaikan kalimatku ketika Aprilio dan Achmat datang dari arah berlawanan. Beberapa cewek memekik melihatnya. May dan Cindy salah tingkah sambil saling mengaitkan tangan. Sedangkan Aprilio melambaikan tangan. Tepat ke arahku.
"Hai, Fina, kita jumpa lagi."
Kalimat pendek. Tapi berhasil membuat May dan Cindy menoleh ke arahku. Padahal sebelumnya mereka ceria melihat Aprilio. Seakan Aprilio adalah hal menyenangkan yang baru pertama kali mereka lihat. Kini ketika dua orang memandangku penuh tanya, aku mencari-cari alasan untuk menjawab.
Tapi tidak terbantahkan, kalau aku melihat mimik Achmat Renaldi. Cowok itu sama terkejutnya.
Hai, apa kabarnya?
Aku mau rekomendasikan ceritaku yang lain. Segala kritik, saran dan masukan yang membangun sangat aku terima. Silakan cek judul cerita Home Improvement.
Jangan lupa vote, komentar dan masukkan reading list, yaaa.
Salam literasi,
Carroll
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro