Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Alasan Kedua Belas

Pikiran kedua, aku bisa kabur sekarang juga. Jarak dari tempatku berdiri ke gerbang tidak terlalu jauh. Kemungkinan lari bisa semenit. Tapi itu artinya meninggalkan sepeda dan May sekaligus.

Jika berpikir rasional. Pasang wajah polos, senyum tiga jari dan balas menyapanya. Pura-pura saja tidak mengakui kalau jeruk itu bukan dariku. Masalah selesai. Tunggu dulu, jangan-jangan dia melihat langsung saat aku dan May meletakkannya. Nasib.

"Fina." Achmat Renaldi mengibaskan tangan ekspresif ke arahku seolah aku tidak tahu ia ada di sana.

"Oh. Hai." Aku tersenyum gugup.

"Tadi aku lihat ada kertas menempel di punggungmu," kata cowok itu dengan mimik serius.

Hah? Aku segera menjulurkan tangan ke belakang. Benar, ada kertas di sana. Aku meraihnya sebal dan membaca tulisan di kertas. Tertulis; saya orang gila. Ditulis dengan spidol hitam yang tampak acak-acakan. Are you kidding me?

Sebelum hatiku berprasangka, tawa cekikikan anak kecil terdengar dari sisi kanan. Setelah puas tertawa, mereka melarikan diri. Si anak kecil cowok berbadan agak tinggi di banding teman-temannya menyusul di belakang, sambil memegang selotip dan beberapa lembar kertas hvs. Aku menyemburkan napas. Tiga anak petugas sekolahan yang sampai saat ini belum kutahu namanya memang jail. Aku sudah sering menjadi korbannya.

Achmat Renaldi tertawa. Terdengar seperti alunan pengajian di mesjid yang menentramkan hati. Layaknya lonceng yang berdenting saat aku melewati gereja di dekat Taman Bougenvil. Tawa cowok itu sudah usai tapi bergema di hatiku, memantul di gelombang rasa yang beriak.

"Maaf, kamu lagi nunggu May selesai latihan?"

"Iya," jawabku otomatis.

"Kebetulan," katanya, "mau jeruk?"

"Eh?"

Achmat mengusap tengkuknya. "Kali aja kamu haus dan perlu minum. Minimal buah-buahan mengurangi dahaga."

Aku tidak menduganya. Kupikir ia sudah menebak kalau pengirimnya aku, ternyata tidak. Justru Achmat Renaldi malah menawarkan buah di mana buah itu dariku. Antara ironis dan miris memang beda tipis.

Tapi kupikir ini kesempatan emas. Menanyakannya. Menjadi pengagum setia bukan berarti selalu bungkam jika bertemu. Tidak. Aku tidak ingin begitu. May selalu bilang kalau memutuskan sesuatu memang bisa berkali-kali, tapi keputusan besar hanya sekali. Aku tidak akan menyia-nyiakannya. Waktunya mengambil tindakan.

"Jeruk darimana sebanyak itu?"

"Aku membelinya tapi kebanyakan," sahutnya sambil terkekeh. "Sudah aku makan sebagian, sih."

Aku ingin terbahak mendengarnya. Tapi segera kututupi dengan senyum lebar. Paling tidak rahasiaku aman. Ia memang bukan pembohong yang baik. Tapi minimal Achmat Renaldi menghargai pemberian dengan memakannya. Itu saja cukup.

"Oke, aku ambil satu saja. Aku enggak terlalu haus," seruku ramah.

Achmat Renaldi mengeluarkan dua jeruk dari plastiknya. Aku membantunya memegang plastik itu saat ia merogoh. "Satu lagi untuk May. Kalau dia haus juga."

Aku mengangguk. Kupikir setelah itu ia akan pergi. Tapi tidak. Cowok itu tetap berdiri di depanku. Situasi berubah canggung.

"Apa?" tanyaku dengan bodohnya.

"Jarimu masih memegang ujung plastik," jawabnya polos.

Oh. Ya ampun. Aku melepaskannya. Secara otomatis wajah terasa hangat.

"Aku duluan, ya, mesti buru-buru jemput teman yang baru pulang dari Bogor," pamit Achmat Renaldi.

Aku melambaikan tangan dengan kaku. Kini setelah cowok itu pergi, akhirnya aku bisa mengartikulasikan perasaanku terhadap kejadian hari ini dengan lancar. "Bodoh! bodoh! Bikin malu saja."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro