04-01
"Kalau yang kau tanyakan adalah alasan kenapa aku mencintaimu, aku tidak akan bisa menjawabnya. Tidak perlu alasan yang spesifik untuk mencintaimu, kau tahu? Dan lagi, apabila kita tidak tahu kenapa kita jatuh cinta, bukankah itu pertanda bahwa cinta kita tulus?" suara itu kembali terdengar.
"Aku tidak mahir merangkai kata untuk membuatmu tersenyum. Aku bukan penyair. Tapi kau tahu aku tidak akan berbohong padamu," sekuat tenaga, Julie menutupi telinganya dengan kedua tangannya.
Ia tidak ingin mendengar kata-kata itu lagi.
"Mana yang lebih kau suka? Kata-kata manis menjijikan atau pertanyaan 'sudah makan atau belum'?" Julie menggelengkan kepalanya. Tidak mungkin ini nyata. Semuanya sudah berakhir. Suara itu tidak mungkin –
"Apa kau keberatan menemaniku sampai rambutku memutih dan kulitku keriput?"
Sosok itu kembali hadir di hadapan Julie, dengan senyum hangat yang dulu hanya milik Julie seorang. Bibir tipisnya bergerak seperti sedang mengatakan sesuatu, tapi tak sepatah kata pun sampai ke telinga Julie. Tapi dari gerak bibirnya, Julie tahu apa yang ia katakan.
Jangan, jangan lagi, pekik Julie, tapi tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Sekeras apapun ia berteriak, tidak ada yang berubah. Hanya mulutnya yang terbuka, tapi suaranya sama sekali tidak keluar.
Sejenak raut wajahnya berubah. Senyum hangat yang hampir selalu ada di bibirnya kini lenyap tanpa jejak.
"Kenapa selalu aku?" suaranya kembali menggema di telinga Julie. Bukan suara riang dan ringan, tapi suara yang berat dan terdengar penuh penyesalan.
"Kenapa harus aku?" Julie membuka mulutnya, ingin berteriak tapi ia tidak bisa mengeluarkan suara sama sekali – seolah pita suaranya telah kehilangan fungsinya. Julie menggelengkan kepala, menutupi telinganya dengan kedua tangannya, tidak ingin mendengar suara itu lagi.
Ia sudah muak.
Semuanya sudah berakhir.
Sudah berakhir.
Tiba-tiba kedua matanya terbuka. Cahaya matahari menerobos masuk melalui celah tirai putih yang sedikit berkibar tertiup angin. Julie berusaha menenangkan nafasnya yang memburu. Dengan punggung tangannya, ia menyeka keringat dingin yang membasahi keningnya.
'Mimpi itu lagi,' pikir Julie, sejenak menghela nafas lega karena semua itu hanya mimpi. Tidak kurang dan tidak lebih. Ia menatap langit-langit kamarnya yang berwarna putih bersih sebelum pandangannya tertuju pada sebuah ranting yang berada tepat di atas kepalanya. Deretan dream catcher berwarna putih menggantung di ranting tersebut. Enam buah dream catcher tepatnya. Sebuah benda yang dipercaya bisa mengusir mimpi buruk dan mendatangkan mimpi indah. Julie menoleh dan deretan dream catcher kembali menyapanya di sisi dinding yang berbeda. Kali ini dream catcher yang semuanya berwarna putih itu menggantung pada sebuah kayu panjang yang ditempeli ornamen berbentuk bintang merah muda dengan sedikit bercak keemasan.
Jalinan benang serta kain putih dengan bulu putih di ujungnya itu berderet di sepanjang tempat tidur yang hanya cukup untuk satu orang itu nyaris mengenai hidungnya. Meski enggan, ia duduk di tempat tidurnya sambil memandangi deretan dream catcher yang nyaris memenuhi dinding kamarnya sendiri.
Ia sengaja memenuhi kamarnya dengan benda penangkal mimpi buruk.
"Tetap saja mimpi buruk yang datang," gerutu Julie sambil menghela nafas, sejenak merutuki kebodohannya sendiri yang percaya pada dream catcher, "tentu saja benda ini hanya hiasan ..." ia mendengus lirih. Sejak awal Julie sama sekali tidak menganggap bahwa dream catcher itu bisa mengusir mimpi buruk.
Ia ingin percaya bahwa benda itu bisa mengenyahkan semua mimpi buruk yang terus menghantuinya.
Julie mengabaikan semua mimpi itu seperti yang ia lakukan selama ini. Ia turun dari tempat tidurnya, berjalan dengan enggan menuju kamar mandi sekedar untuk mencuci muka dan melakukan ritual paginya lalu beranjak ke dapur untuk mengambil sebotol air dingin.
Sejenak ia berdiri di depan kulkas, memperhatikan catatan kecil yang hampir menutupi seluruh bagian depan kulkas tak berdosa itu. Ia mencari catatan dengan tanggal hari ini, tapi ia tidak berhasil menemukannya.
Senyum kecil mengembang di bibir tipisnya. Setidaknya hari ini ia bisa menghabiskan akhir pekan untuk dirinya sendiri. Sebisa mungkin ia tidak ingin meninggalkan rumah – mengganti sprei dan menjadi orang pertama yang berbaring di atasnya kini terdengar begitu menggiurkan. Entah kenapa kini ia begitu menyukai aroma sprei yang baru diganti.
Dan seseorang menekan bel rumahnya beberapa kali.
Tanpa pikir panjang Julie membuka pintu itu. Seorang pria jangkung berkulit gelap dengan kacamata tebal berbingkai hitam berdiri di balik pintunya. Sejumput rambut pirangnya yang berantakan menjuntai di dahinya. Rahangnya tampak kokoh, dihiasi jambang tipis yang tampaknya baru saja dicukur pagi ini. Bibir merah muda milik pria itu menyunggingkan senyum hangat.
"Hai," sapa pria itu.
"... hai," balas Julie sambil memperhatikan pria itu, sekedar antisipasi apabila ternyata pria ini adalah pembunuh berantai yang telah lama mengincarnya meski dari tampilan luarnya, pria ini sama sekali tidak tampak berbahaya.
"Hai, um, aku baru saja pindah ke sini, jadi aku datang untuk mengantarkan ini," ia memberikan satu loyang pie apel yang tampak seperti pie apel buatan sendiri.
"Baru saja pindah? Tapi bukannya tidak ada yang pindah dari –"
"Yeah, benar," potong pria itu, "memang tidak ada yang pindah dari sini. Tapi aku menempati rumah bibiku yang kosong sejak – well – aku tidak ingat sejak kapan rumah itu kosong ..."
Julie mengerutkan alisnya, "rumah kosong?" ulangnya, berusaha mengingat rumah kosong di dekat sini. Sejauh ingatannya, rumah-rumah di sekitar sini telah berpenghuni dan tidak ada rumah yang ditinggalkan oleh pemiliknya belakangan ini.
"Ah, kau mungkin tidak mengenalnya. Bibiku tinggal tiga rumah dari sini," ia menunjuk ke arah barat rumah Julie, "rumah keluarga Smith, lalu keluarga White, nah rumahku ada di sebelah rumah keluarga White."
Julie mengangguk pelan, "yeah ... aku ingat ... maaf, aku tidak terlalu memperhatikan –"
"Tidak masalah," sahutnya ringan, memberikan pie apel itu pada Julie, "ini untukmu. Aku baru saja membuatnya pagi ini."
"Pie apel?" Julie menerima pie itu, "... masih hangat? Wow, terima kasih banyak ..."
"Baru saja keluar dari oven. Spesial untuk tetangga baru," sahutnya tersenyum, "dan kalau kau memerlukan sesuatu, jangan ragu datang ke rumahku. Aku cukup ahli dalam memperbaiki benda-benda elektronik dan perkakas rumah tangga."
"Terima kasih," kata Julie sekali lagi.
"Dan apabila ada sesuatu yang mengganggumu, mungkin aku bisa membantu," lanjut pria itu sambil tersenyum, "oke, sepertinya aku bicara terlalu banyak. Kuharap aku tidak mengganggumu atau membuatmu bosan."
Julie menggeleng pelan, "tidak ... tentu saja tidak ... aku senang bertemu denganmu ..." ia terdiam sejenak, menyadari bahwa ia belum mengetahui nama tetangga barunya itu, "aku Julie. Julie Austin," ucapnya sambil mengulurkan tangan untuk berjabat tangan.
"Senang bertemu denganmu, Miss Austin," balas pria itu, membalas jabatan tangan Julie, menggenggam tangan Julie erat dengan tangannya yang besar, hangat dan sedikit kasar, "aku Leo. Leo Gray. Senang bertemu denganmu."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro