03-02
Steve nyaris tergelak. Ia tidak akan bisa membohongi rekan merangkap teman baiknya sejak SMA itu, ia tahu.
"Hanya karena lagu itu kau mengira aku yang membunuh Alice?" tanya Steve setengah tidak percaya.
"Karena kau tergila-gila pada lagu itu, aku tahu kau yang membunuh Alice," bantah Leo. Ia mendengus lirih, "semua pembunuhan yang berkaitan dengan Alice, jawab ya atau tidak, kau juga yang melakukannya?"
Steve tidak menjawab.
"Seharusnya aku menyadarinya sejak awal," keluh Leo sambil mendengus kesal, "Steve, kita bukan psikopat gila yang membunuh tanpa alasan. Kita hanya mengerjakan pekerjaan kita."
"Aku punya alasan," tukas Steve. Leo menatapnya, memberinya isyarat untuk mengatakan apa alasannya dengan gerakan tangan dan alisnya. Tapi Steve mengabaikannya.
"Katakan," tuntut Leo.
"Aku punya alasan untuk melakukannya dan apapun alasanku, semua itu tidak ada hubungannya denganmu."
"Tentu saja ada," tukas Leo, "kau lupa kesepakatan kita?"
"Kesepakatan?"
"Tidak akan membunuh apapun yang tidak menjadi target dan tidak membahayakan kita," lanjut Leo, setengah tidak percaya harus mengulangi kesepakatan yang menjadi satu-satunya hal yang ia pegang selama ia melakukan pekerjaan ini bersama Steve.
"Ah ... bukankah itu sudah kadaluarsa?" Steve melempar tatapan enggan, "lagipula mereka mengganggu. Aku tidak suka."
"Mengganggu –" dengus Leo, "karena mereka mengganggu maka kau – kau bunuh mereka seperti psikopat gila yang tidak punya kode etik profesi?" ia mengangkat sebelah alisnya, "satu-satunya yang membedakan kita dari para bajingan di luar sana adalah kita tidak sembarangan membunuh. Tapi kesepakatan itu sudah kadaluarsa, eh?" Leo tertawa lirih, "baiklah, lagipula klien terakhir belum menjawab. Aku akan batalkan pekerjaan itu," Leo kembali ke tempat duduk, "lalu tutup toko. Jangan khawatir, mereka akan menemukan orang lain yang mau melakukan pekerjaan kotor mereka. Mereka tidak akan merindukan kita."
"... kau tidak akan melakukannya," desis Steve.
Leo tidak membalas. Kedua matanya kembali tertuju pada layar komputernya. Tapi sebuah tanda bahwa ia baru saja menerima pesan baru menarik perhatiannya. Tanpa pikir panjang ia membuka pesan itu. Sejenak Leo menghela nafas panjang, dalam sekejap menyesali keputusannya untuk tidak langsung menutup toko mereka tapi membuka pesan itu terlebih dahulu.
Steve berjalan menghampiri Leo, melihat apa yang membuat sahabatnya itu terpaku – dan ia tergelak.
"Sudah kubilang, kita tidak akan bisa berhenti, Leo," ucapnya di sela tawanya sendiri, "lihat? Klien sudah setuju dengan harga yang kita tawarkan. Kita tidak bisa mundur lagi atau nama baik yang kita jaga selama bertahun-tahun akan tercoreng. Kau tidak akan membiarkan hal itu terjadi, bukan?"
Leo mendengus tanpa mengatakan apapun. Ia memberikan nomor rekening yang biasa mereka gunakan untuk menerima pembayaran pada klien tersebut. Biasanya separuh pembayaran akan dilakukan sebagai tanda jadi dan sisanya akan dilunasi setelah kematian target muncul dalam koran pagi.
"Kita bisa berhenti," tukas Leo, "ini pekerjaan terakhir yang kita ambil. Aku pensiun. Terserah kalau kau masih mau menjalankan toko seorang diri, tapi aku berhenti."
"Leo, kau tahu aku tidak bisa melakukan semua ini sendiri, kau tahu aku membutuhkanmu," kata Steve, kini berdiri di balik punggung Leo yang menghadap ke layar komputer, "dan kau juga membutuhkanku. Membutuhkan pekerjaan ini."
"Seperti katamu," Leo berdiri dan berbalik menatap Steve, "kesepakatan kita sudah kadaluarsa. Begitu juga dengan toko kita. Sudah waktunya kita berhenti bermain-main dan melanjutkan hidup."
Steve hanya mendengus pelan. Ia mundur beberapa langkah sebelum berbalik dan pergi, merasa sangat tidak puas dengan keputusan Leo.
"Mau ke mana?" tanya Leo saat Steve berbalik dan berjalan ke arah pintu rumahnya.
"Cari angin. Rumahmu pengap," sahut Steve datar, membiarkan pintu rumah Leo terbuka begitu saja saat ia berjalan menuju truck silver kesayangannya yang baru saja ia beli minggu lalu.
Curiga, Leo segera meninggalkan komputernya, mengunci pintu rumahnya setelah memastikan truck milik Steve telah pergi. Pengap? Steve bahkan bisa tinggal di rumahnya selama berminggu-minggu tanpa keluar sama sekali, seperti seekor ular yang menemukan lubang nyaman untuk bersembunyi.
Leo masuk ke dalam mobil, menyalakan mesinnya. Ia sengaja menjaga jarak dari Steve, tidak ingin pria itu tahu bahwa seseorang sedang membuntutinya.
Truck silver Steve melaju pelan di jalanan yang lengang, mengemudi seolah tanpa tujuan tapi Leo tahu rekannya itu pasti punya tujuan. Steve yang Leo kenal bukanlah seorang yang akan berkeliling kota untuk mencari udara segar.
Beberapa puluh menit berkendara tanpa tujuan, Steve memarkir mobilnya di sebuah toko bunga yang berada di pinggir kota. Ember yang mengkilap berisi bunga berwarna merah, oranye, ungu, merah muda, kuning terang serta beberapa ember berisi dedaunan memenuhi bagian depan toko. Hanya mawar dan bunga matahari yang bisa Leo kenali. Jendela kaca yang lebar membuat siapapun bisa melihat semua yang ada di dalam toko – lebih banyak ember berisi bunga dan daun yang tidak Leo ketahui namanya. Tampaknya tidak ada tanda-tanda kehidupan di toko bunga itu, tapi tidak mungkin toko ini buka tanpa ada orang yang akan melayani setiap pembeli yang datang, bukan?
Leo segera memarkir mobilnya di seberang toko, cukup jauh hingga Steve tidak akan menyadari keberadaannya di sana namun cukup dekat untuk mengamati apa yang ia lakukan di toko bunga itu. Apabila Steve akan menghabisi pemilik toko bunga itu, Leo harus jadi orang pertama yang tahu. Dan ia akan memiliki alasan yang sangat kuat untuk membatalkan pekerjaan terakhir mereka meski hal ini akan mencoreng nama baik yang mereka jaga selama ini.
Ia melihat Steve turun dari mobil, melangkah masuk ke dalam toko. Steve tampak berbincang dengan seorang wanita yang hampir semua rambutnya telah berubah abu-abu dengan hangat. Leo memicingkan matanya saat melihat Leo dan wanita itu tertawa ringan bersama.
Dari gesturnya, tampaknya Steve baru saja mengatakan apa yang ia perlukan dari wanita itu dan wanita itu menepuk lengannya beberapa kali dengan senyum hangat di wajahnya. Leo semakin curiga. Apa yang bisa Steve dapatkan dari seorang wanita lanjut usia? Apa mungkin wanita itu adalah seorang pedagang senjata yang tidak Leo kenali? Seorang penjual senjata kelas kakap?
Beberapa menit kemudian wanita itu kembali dengan beberapa tangkai mawar putih. Leo tercengang. Steve tersenyum lebar melihat mawar dengan kelopak besar yang tampak lembut seperti beludru. Setelah memperhatikan setiap tangkai mawar yang dibawakan oleh wanita itu, akhirnya Steve mengambil setangkai mawar putih yang hampir mekar sempurna. Pria itu hendak membayar, tapi wanita itu menolak. Tampak jelas bahwa wanita itu bersikeras agar Steve menerima mawar itu. Meski berat, akhirnya Steve menerima bunga mawar putihnya dan menghadirkan sebuah kecupan di pipi wanita itu.
Dengan senyum lebar, Steve berlari kecil keluar dari toko, melambai sekali lagi pada wanita itu sebelum ia masuk ke mobil.
Leo mengerutkan alisnya, bersiap menjalankan kembali mobilnya beberapa saat setelah mobil Steve kembali ke jalanan.
Dan untuk pertama kalinya Leo merasa ada yang janggal. Sangat janggal. Jalanan yang ia lalui saat ini adalah jalanan yang selalu ia lewati dalam perjalanan pulang.
"Steve? Membeli mawar putih lalu kembali ke rumahku?" ucapnya setengah tidak percaya, "dia mau menawarkan perdamaian dengan setangkai mawar putih?" dengus Leo. Apabila ia memiliki orientasi seksual yang tidak biasa, ia yakin ia akan tergoda dengan tawaran perdamaian dari Steve itu.
Setangkai mawar putih untuk partnernya, untuk sahabatnya.
Sungguh romantis, dengus Leo.
Tapi dugaannya tidak tepat. Steve memarkir mobilnya di ujung blok dan turun dari mobil dengan mawar putih di tangannya. Ia menapaki jalan setapak, menapaki pekarangan yang dilapisi rumput hijau, tampak begitu familiar di lingkungan yang seharusnya asing baginya.
Dan Steve meletakkan bunga mawar itu di depan pintu. Leo tidak ingat ada kartu atau identitas apapun yang mungkin Steve berikan bersama bunga itu. Tapi mengingat rekannya sendiri yang mengirimkan bunga, ia sangat tidak yakin ada identitas atau jejak apapun tentang pengirim bunga itu.
Sesuatu yang selalu mereka lakukan selama bertahun-tahun – tidak meninggalkan jejak atau identitas.
Leo tidak melihat adanya pergerakan apapun setelah Steve kembali ke mobil. Seperti yang selalu mereka lakukan apabila mereka sedang menunggu target – diam, menunggu dengan kesabaran yang seolah tak ada habisnya.
Setelah matahari bergerak turun, sebuah sedan merah berhenti di depan rumah. Seorang gadis dengan rambut pirang ikal terurai di balik punggungnya keluar dari mobil itu, dalam balutan blazer putih dan celana panjang kasual berwarna hitam serta stiletto hitam, ia berjalan santai menuju pintu rumahnya sambil merogoh tas merah yang tersampir di bahunya, mencari kunci rumah yang ia lemparkan begitu saja ke dalam tas tangan itu.
Kedua mata Leo memperhatikan gerak-gerik gadis itu. Otaknya bekerja keras untuk mengingat hampir semua nama dan foto yang pernah ada dalam daftar target mereka, setengah berharap bahwa gadis itu adalah target Steve yang masih dalam proses pengerjaan. Tapi nihil. Ia tidak bisa mengingat apapun tentang gadis itu. Kemungkinan gadis itu ada dalam daftar target mereka terlalu kecil – dan ia akan memeriksa daftar target mereka selama delapan tahun terakhir dengan sangat teliti untuk memastikan ada atau tidaknya gadis itu dalam daftar target mereka.
Sempat terlintas dalam benak Leo, apa Steve menerima pekerjaan selain yang mereka sepakati bersama melalui toko online mereka?
Dan gadis itu adalah targetnya? Apa Steve sempat menaruh racun atau obat bius pada bunga mawar putih yang ia beli tadi? Apa ini adalah permintaan klien? Untuk membuat gadis itu mati karena alergi serbuk bunga? Tapi apabila gadis itu memiliki alergi serbuk bunga, maka gadis itu tidak akan mau menyentuh bunga yang ada di depan pintunya itu.
Tapi langkah gadis itu terhenti sejenak saat melihat setangkai mawar putih. Dari gestur tubuhnya, ia tampak bingung menerima bunga tanpa nama dan tanpa identitas itu. Ia berbalik, menatap sekitarnya dengan seksama, tapi ia tidak berhasil menemukan apapun yang bisa ia hubungkan dengan bunga yang tergeletak di depan pintu rumahnya itu.
Steve tersenyum puas melihat gadis yang kebingungan itu. Ia kembali menjalankan mobilnya beberapa saat setelah gadis itu masuk ke dalam rumah, seolah memastikan gadis itu telah sampai di rumah dengan selamat. Ia memarkir trucknya di depan rumah Leo yang hanya berjarak dua rumah dari rumah gadis itu, berjalan menapaki pekarangan rumah Leo dengan langkah ringan dan senyum lebar di wajahnya seperti anak kecil yang sedang bermain dengan mainan barunya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro