02-02
"Buat saja pengumuman. Buat mereka menelepon 911 saat mereka menerima bunga di depan pintu mereka selama lima hari berturut-turut. Itu bisa menjadi petunjuk berharga untuk kita," usul Jesse sambil mengunyah pizza.
Dave mendengus lirih, "aku sangat yakin Chief tidak akan menyetujui idemu yang luar biasa, Jesse. Menurutmu berapa besar kemungkinan seseorang yang mengirimkan bunga tanpa nama adalah pembunuh yang kita cari?"
"0.013," gumam Jesse, mengambil sepotong pizza dan menggigit ujungnya, "aku yang lapar atau pizza ini benar-benar enak?"
"Keduanya, Jesse," sahut Dave. Ia sedikit merinding membayangkan apa yang akan terjadi saat kepolisian benar-benar membuat pengumuman agar siapapun yang menerima kiriman setangkai bunga tanpa nama di depan pintunya.
Dan mereka harus memeriksa setiap orang yang menerima bunga tanpa nama – meski bunga itu berasal dari seorang pengagum rahasia yang tidak akan menyakiti seekor lalat sekalipun.
"Tapi kita bisa menyelamatkan hidup seseorang," imbuh Jesse, "kita tahu cara kerjanya, tapi kita tidak tahu siapa target selanjutnya. Memeriksa semua orang yang menerima bunga tanpa nama bisa membantu kita –"
"Jesse," potong Dave, "aku tahu kau begitu ingin menangkapnya. Terlebih karena Alice – dia ada di depan kita, kita tahu apa yang akan terjadi tapi kita gagal mencegahnya, tapi –"
"Hal yang sama tidak akan terulang dua kali, Dave," Jesse menatap kedua mata Dave, "keajaiban tidak akan terulang kembali. Karena itu kita harus membuatnya terjadi. Kita harus membuat kesempatan kita sendiri. Mungkin saja di luar sana ada seorang wanita bodoh yang sedang berandai-andai siapa gerangan pengagum rahasia yang mengirimkan bunga untuknya setiap hari tanpa tahu bahwa nyawanya dalam bahaya. Dia bahkan tidak tahu apa yang terjadi dan tiba-tiba seseorang muncul, membawakannya bunga mawar serta sebilah pisau untuk melubangi jantungnya –" ia sama sekali tidak menyukai apa yang terlintas dalam benaknya.
"Kita bisa melakukannya. Kita punya kewenangan untuk melakukannya, kita punya kemampuan untuk melakukannya," lanjut Jesse, "kalau kita tidak melakukannya dan jatuh korban lagi, maka itu salah kita."
"Jesse," Dave menghela nafas lirih, "aku tahu kau begitu ingin menangkap bajingan ini. Membuatnya mempertanggungjawabkan apa yang telah ia lakukan pada adikmu, pada Alice Reyner dan entah berapa korban lain yang tidak kita ketahui. Tapi sebelum kita membuat pengumuman yang kau usulkan itu, tanyakan pada dirimu sendiri. Untuk siapa kau lakukan semua ini?"
"Untuk Mel? Untuk Alice?" Dave menggeleng pelan, ".... atau untuk dirimu sendiri?"
Jesse terdiam, tiba-tiba kehilangan nafsu makannya. Tangan kanannya yang masih menggenggam pizza kini berada tepat di atas meja.
"Tidak peduli untuk siapa, yang penting kita harus menangkapnya sebelum jatuh korban lagi," sergah Jesse.
"Kalau hanya korban yang kau khawatirkan," Dave tersenyum kecil, "kau akan tertarik dengan ini," ia meraih ponselnya dari dalam saku, lalu memberikannya pada Jesse, "kesamaannya hanya mereka dibunuh menggunakan pistol. Satu tembakan di antara alis mereka. Tidak ada tanda-tanda perlawanan."
Jesse membaca deretan artikel itu dengan seksama, "ada kemungkinan pelakunya adalah orang yang mereka kenal. Dan itu akan sangat menyulitkan. Seorang ibu rumah tangga dan suaminya – seorang pemilik perkebunan anggur bernilai setengah juta dollar – seorang guru cantik, seorang tunawisma, peneliti, botanis, kasir minimarket, penjual kacang di taman kota, mahasiswa kedokteran dan wow – sepasang suami istri milyarder? Lengkap dengan tiga orang anak mereka?" Jesse tercengang, "Dave, menurutmu berapa banyak uang asuransi yang akan diterima oleh ketiga anak mereka saat mereka mati dibunuh?"
"Banyak. Tapi sayangnya ketiga anak mereka tidak ada di dunia ini untuk menikmati uang itu," sahut Dave.
Jesse mencermati daftar korban itu, ia memicingkan matanya, "apa ini?" gumamnya lirih, "mereka ditembak di saat yang bersamaan di tempat terbuka? Lebih masuk akal kalau mereka ditembak di saat yang bersamaan di taman atau pinggir sungai atau pinggir jalan – tapi tidak. Di tempat kerja, di dalam rumah, di pinggir jalan – apa-apaan ini?"
"Kau terobsesi pada kasus Alice dan Mel," Dave tertawa lirih, "total lima belas penembakan acak selama tiga bulan terakhir. Berkas lengkap ada di kantor kalau kau tertarik."
Jesse menatap Dave, "sekarang aku tahu kenapa kau datang dengan membawa pizza."
"Sekaligus memeriksa kau masih bernafas atau tidak," Dave tersenyum kecil, "aku tahu kau begitu ingin menangkap bajingan yang membunuh adikmu, tapi aku yakin kau tidak bisa melewatkan yang satu ini. Sambil mencari petunjuk tentang pembunuh Alice dan Mel, kita bisa bersenang-senang dengan menyelesaikan kasus lain, Jesse."
Jesse tersenyum hambar. Ia berdiri dan mengambil sekaleng bir dari dalam kulkas, "kau mengatakannya seolah menyelesaikan kasus itu begitu mudah seperti menyelesaikan puzzle," sergah Jesse. Ia membuka kaleng bir itu dengan mudah, langsung menenggak isinya sambil berjalan kembali ke meja makan.
"Mau?" ia meletakkan sekaleng bir dingin di meja.
"Karena aku menganggapnya seperti puzzle. Kita bisa menyelesaikannya setelah kita mendapat semua potongan yang berserakan," sahut Dave, sejenak menatap kaleng bir yang Jesse persembahkan untuknya tanpa minat. Kalau bisa memilih, dengan senang hati ia akan memilih jus jeruk dan air mineral daripada bir dingin.
"Setelah kita mendapatkan semua potongan yang berserakan," ulang Jesse lirih. Sejenak matanya menerawang, "... berarti kita tidak akan bisa menyelesaikannya kalau potongannya tidak lengkap ..." gumam Jesse.
"Kita bisa menyelesaikannya, J," Dave berusaha membuat suaranya terdengar meyakinkan meski ia sendiri tidak yakin, "kita akan kirim bajingan itu ke balik jeruji, membayar apa yang telah ia lakukan pada Mel, pada Alice."
Jesse tidak membalas. Saat ini ia tidak yakin ia bisa melakukannya dan untuk pertama kata-kata Dave tidak banyak membantu.
Meski ia berhasil menemukan seorang yang menerima bunga tanpa nama di depan pintunya setiap hari, ia tidak yakin ia bisa memastikan orang itu akan tetap hidup keesokan harinya. Kegagalannya sendiri begitu menghantuinya, membebaninya, meski semua orang mengatakan bahwa kematian Alice bukan akibat dari kelalaian Jesse, tapi pemuda itu tetap menganggap kematian Alice adalah salahnya.
Andai ia tetap menunggu sampai ia melihat mobil silver milik Alice keluar dari gedung, andai ia tidak berkeliling kota mencari gadis itu, andai ia menunggu di depan rumah Alice – Jesse menelan ludah. Seribu satu hal yang seharusnya ia lakukan hari itu terus menghantuinya. Skenario yang akan ia lakukan apabila ia tiba tiga puluh menit lebih awal terus berulang dalam otaknya, seperti film yang punya tombol replay otomatis.
"Sekarang kita keluar, cari udara segar dan minuman yang lebih baik daripada pizza dan bir dingin dari kulkasmu," Dave bangkit dari tempatnya duduk. Ia menyambar jaket hitam Jesse dan melemparkan jaket itu pada Jesse, "tidak ada kata tidak. Kau tahu bar yang baru dibuka di ujung jalan? Kudengar mereka menjual steak yang lebih besar dari kepalamu, J," lanjutnya sambil tertawa lirih.
Jesse mengangkat sebelah alisnya, "aku tidak yakin."
"Kalau steak itu lebih besar dari wajahmu, kau yang bayar," balas Dave dengan senyum lebar di wajahnya. Ia berjalan keluar dengan sebuah kunci mobil di tangannya.
Dan Jesse mengenakan jaket hitamnya, berjalan mengikuti Dave.
*
Tidak sampai dua puluh menit kemudian, mereka sampai di bar yang Dave sebutkan. Bar di ujung jalan dengan mobil-mobil berderet rapi di depannya.
Jesse turun dari mobil. Udara dingin langsung menyapanya. Sejenak ia menatap bangunan yang tampaknya dua kali lebih tua darinya itu. Terasnya kini berlapis kayu dengan bangku dan meja panjang berderet rapi. Sebuah vas mungil berisi air setengah penuh dengan sekuntum bunga mengambang di dalamnya – bersanding dengan lilin mungil di atas meja panjang yang kini kosong. Tampaknya
Seorang pramusaji menghampiri mereka dengan senyum hangat dan sapaan ramah. Jesse berada di balik punggung Dave, entah kenapa merasa sedikit enggan memasuki bangunan di hadapannya yang tampaknya bisa runtuh kapan saja.
Dave berjalan masuk mengikuti gadis yang tampak begitu senang bertemu dengan mereka malam ini, sejenak memberi isyarat pada Jesse untuk mengikutinya masuk.
"... bukan kau yang mengirim bunga itu?" tanya seorang gadis dengan rambut keemasan yang berpapasan dengan Jesse, "yeah. Tidak ada nama, tidak ada kartu, hanya setangkai bunga di depan pintu. Ayolah ... kau tidak perlu merasa bersalah, Josh ..."
Dan kini kedua mata Jesse terpaku pada sosok mungil itu. Tak kuasa ia menahan diri untuk tidak mengikuti gadis itu, ingin mengetahui lebih banyak tentangnya – dan tentang bunga yang hadir di depan pintunya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro