Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

02-01

Jesse tidak beranjak dari sofa ruang tengah rumahnya. Sofa coklat tua tempatnya bersandar setelah lelah melalui hari-hari yang panjang. Tapi kali ini ia tidak bersandar malas dan lelah seperti biasa. Duduknya tegak. Kedua mata coklat terangnya menatap udara kosong, terfokus pada titik tak kasat mata di antara jam dinding dan lemari dapurnya.

Lampu di atas kepalanya sedikit redup, tapi ia tidak peduli. Ia juga tidak peduli pada jambang yang hampir memenuhi wajahnya meski ia hanya beberapa minggu tidak bercukur, pada kaus tanpa lengan yang entah berapa hari ia kenakan serta meja di hadapannya yang penuh dengan foto seorang gadis berambut merah ikal dan tumpukan dokumen bertuliskan 'Alice Reyner' di bagian depan dan sampingnya.

Otaknya berulang kali memutar kembali ingatan hari itu. Hari dimana dia menguntit seorang gadis seperti seorang maniak dan mengambil foto gadis itu berulang kali dari kejauhan saat ia mengendarai mobil silver miliknya saat ia berangkat ke kantor. Jesse juga melihatnya masuk ke area parkir perkantoran tempatnya bekerja.

Jesse menggertakkan giginya.

Ia mengambil tumpukan laporan yang telah ia buat selama delapan belas terakhir, mencari laporan hari ke tiga belas sambil memutar kembali semua yang ada dalam ingatannya di hari ke tiga belas.

Sejauh ingatannya, Jesse tidak melihat gadis itu keluar dari kantor. Ia menduga seseorang mengantar gadis itu pulang. Apabila memang itu yang terjadi, tidak heran ia tidak melihat mobil silver Alice keluar dari area parkir. Lalu ia meninggalkan tempatnya, memeriksa tempat tinggal Alice. Rumah itu gelap. Tidak ada tanda-tanda Alice sudah pulang.

Saat itu, berbagai pikiran buruk mulai menghantuinya.

Bagaimana kalau dia salah perhitungan? Bagaimana kalau seseorang menculik Alice sebelum gadis itu berhasil sampai di mobilnya? Membawanya ke suatu tempat dan menghabisinya di sana setelah memberinya kuntum bunga terakhir atau sesuatu terjadi padanya sebelum ia mencapai lift atau –

Jesse memicingkan matanya. Sejenak ia merutuki dirinya sendiri, kebodohannya sendiri.

Ia menyetel rekaman wawancara rekan kerja Alice, lalu memutar kembali rekaman staf keamanan yang terakhir kali melihat Alice saat gadis itu pulang setelah hari berganti.

'Siapa yang menyangka gadis itu akan menghabiskan separuh malamnya di kantor!?' Jesse menggeram lirih, 'pulang lewat tengah malam setelah menyelesaikan pekerjaan yang seharusnya ia selesaikan dalam satu minggu ke depan, memberi catatan pada semua hal yang harus diperhatikan oleh siapapun yang nantinya akan menggantikan posisinya –" ia menelan ludah.

Rasanya seperti Alice tahu ia akan mati hari itu. Bahwa malaikat mautnya akan datang, menjemput malam itu. Alasan yang tidak masuk akal untuk membereskan semua barang pribadinya di kantor, membawanya pulang, merapikan meja dan laci miliknya tanpa mengucapkan selamat tinggal pada siapapun.

Ia tidak bisa mengerti jalan pikiran Alice.

Bukankah seharusnya ia meminta bantuan? Menelepon polisi atau setidaknya meminta tetangganya atau sahabatnya atau rekan kerjanya menemaninya masuk dan memastikan bahwa semuanya baik-baik saja?

Jesse menggeleng pelan. Seharusnya malam itu ia tetap berjaga di depan pintu rumah Alice, bukan berkeliling kota mencarinya. Saat ia kembali ke rumah Alice malam itu, mobil silver milik Alice telah berada di depan rumah. Wanita itu sudah pulang. Pintu rumahnya terbuka separuh. Dan Jesse langsung tahu ada yang tidak beres. Selama tiga belas hari mengamati wanita itu, tidak sekalipun Alice pernah membiarkan pintunya terbuka di tengah malam.

Ia mengeluarkan pistol miliknya, keluar dari mobilnya yang sangat tidak mencolok dan mengendap masuk ke dalam rumah Alice. Aroma mawar memenuhi penciumannya segera setelah ia memasuki ruang tamu dengan pencahayaan yang sangat minimal itu. Jesse segera berjalan menuju sumber cahaya remang – lilin yang memenuhi hampir seluruh permukaan ruang tengah Alice, dengan kelopak mawar bertebaran di lantai.

Dan ia melihat gadis berambut merah itu terbaring di lantai. Sebuah pisau dapur bergagang kayu tertancap di dadanya. Darahnya menggenang, membasahi kelopak mawar yang seolah sengaja disebarkan di sekitar tubuhnya yang tidak lagi bernyawa. Kedua matanya terpejam, kedua tangannya berada di dada dengan sebuah mawar merah berada di dadanya.

Seolah ia sedang tertidur nyenyak sambil mendekap setangkai mawar, bermandikan kelopak bunga mawar yang kini berwarna merah darah.

Jesse segera menghampiri tubuh wanita itu, menyentuh lehernya yang dingin. Detak nadinya tidak lagi terasa.

Lagi-lagi ia terlambat.

Dering ponselnya mengembalikannya pada kenyataan. Delapan panggilan tak terjawab dan ia sama sekali tidak menyadarinya.

Jesse mengambil ponselnya, hanya menjawab panggilan itu dan mendekatkan ponselnya di telinga tanpa mengatakan apapun.

"Kau masih hidup?" kata seorang di seberang sana.

"Mau apa?" balas Jesse dengan suara berat dan enggan.

"Buka pintu. Kau mau membiarkanku mati kedinginan di depan pintu rumahmu, eh?" omelnya. Jesse mematikan sambungan, dengan enggan beranjak dari sofa dan membukakan pintu.

"Pizza?" ucap seorang jangkung dalam balutan mantel yang cukup tebal untuk melindunginya dari hari paling dingin di musim gugur. Rambut hitamnya tertutup topi rajut berwarna hitam, tapi sedikit rambutnya yang bergelombang melompat keluar dari balik topinya itu. Hidung dan pipinya kemerahan karena menahan dingin sejak tadi.

"Serius, kapan terakhir kali kau mandi dan bercukur?" gerutunya sambil mempersilahkan dirinya masuk sebelum sang tuan rumah melakukannya.

"Mau apa kau?" tanya Jesse, berjalan enggan di balik punggung jangkung Dave.

"Memastikan kau masih hidup," sahut Dave, "sudah tiga bulan sejak Alice Reyner, lima bulan sejak Mel dan kau tak kunjung membaik."

"Jangan salahkan dirimu. Kau sudah lakukan semua yang kau bisa. Semua ini bukan salahmu," lanjut Dave.

"Apa kata-kata itu seharusnya menenangkanku?" Jesse mendengus lirih. Bagaimana mungkin kematian Alice bukan salahnya? Jesse ada disana, menghabiskan sepanjang hari menguntit Alice tapi ia tidak bisa mengubah kenyataan. Alice tetap mati.

Dibunuh.

Satu tusukan, dibuat seolah ia sedang tidur dengan tenang dan bahagia bermandikan kelopak bunga – Jesse menggertakkan giginya saat ingatan tentang apa yang terjadi malam itu muncul kembali.

"Ada petunjuk?" tanya Jesse.

Dave menggeleng pelan, hendak meletakkan pizza di atas meja tapi ia mengurungkan kembali niatnya itu, "tidak – belum. Belum ada," ralatnya cepat, memperhatikan foto-foto, map serta dokumen yang berserakan di atas meja.

"Dia sangat rapi," lanjut Dave, "tidak ada jejak, tidak ada sidik jari, tidak ada apapun. Senjata pembunuh dia tinggalkan begitu saja. Dan lagi itu hanya pisau murahan yang bisa kau dapatkan dari manapun," Dave menggeram lirih, "dia licin, J. Sangat licin."

"Ada tanda-tanda targetnya yang baru?" tanya Jesse lagi setelah ia kembali duduk di sofa, sejenak melirik ke arah pizza yang Dave bawa. Mau tidak mau ia harus mengakui bahwa beberapa ekor naga yang ia pelihara di dalam perutnya telah meraung kelaparan sejak tadi dan ia mengabaikannya.

Dave menggeleng pelan, memberikan kotak pizza itu pada Jesse lalu duduk di kursi makan, "makan di meja makan, J," kata Dave, "aku akan mengulitimu kalau foto dan dokumen itu terkena saus tomat."

Jesse mendengus lirih, membuka kotak pizza itu dan mengambil satu potongan besar saat ia berjalan ke arah meja makan. Pizza dengan topping pepperoni dan keju itu hanya tersisa separuh saat Jesse sampai di meja makan.

Ia meletakkan kotak pizza itu di meja makan, duduk di kursi yang berhadapan dengan Dave, "kau mau?" ucapnya, menawarkan pizza itu pada Dave.

"Tidak, terima kasih," tolak Dave, "melihatmu saja aku sudah kenyang."

"Kalau begitu pizza ini milikku," Jesse menarik kembali pizza itu ke arahnya, berusaha mengamankan pizza itu dari kemungkinan terburuk yaitu saat Dave berubah pikiran.

"Tiga bulan dan belum ada tanda-tanda apapun," Dave membuka pembicaraan.

Jesse terdiam, terlalu fokus pada pizza yang ada di hadapannya.

"Aku benci mengakuinya, tapi kita tidak tahu kita berhadapan dengan apa. Dengan siapa," Dave menarik nafas panjang.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro