Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

01-02

Julie menghela nafas panjang, "terakhir kali kau bilang 'tidak mungkin salah', kau mengenalkanku pada seorang duda dengan tiga orang anak yang tidak bisa menggugat cerai istrinya. Sebelumnya kau kenalkan aku pada lelaki yang tidak bisa lepas dari ibunya dan sebelum itu kau -"

"Oke, aku tahu aku membuat banyak kesalahan di masa lalu, tapi aku yakin kali ini tidak mungkin salah, Jules," balas Alex mantap.

"Dari mana kau tahu kali ini tidak mungkin salah?" Julie balik bertanya.

"Entah. Hanya tahu saja."

"Nah. Itu. itu yang membuatku tidak yakin," Julie menggeleng cepat, "aku senang sebentar lagi kau akan menikah. Aku sangat senang, Alex," ia menggenggam kedua tangan Alex, "aku pasti datang. Aku akan bantu persiapannya. Semuanya. Aku akan menemanimu mencari katering yang tepat, mencicipi kue, fitting baju pengantin, semuanya."

"Tapi -"

"Maaf, mimpi itu tinggal mimpi," Julie tersenyum hambar, "sepertinya hanya kau yang masih ingat mimpi yang kita buat saat usia kita satu digit."

"Tentu saja aku ingat, Jules," raut wajah Alex berubah datar. Tidak ada senyum, tidak ada emosi, "bagaimana aku bisa lupa?"

"Alex -"

"Bagimu, mimpi itu sudah kadaluarsa hanya karena kita membuat mimpi itu saat usia kita satu digit," Alex mendengus lirih, "aku tahu, Jules ..."

"Begini saja," Julie memutar otak, "kau pilih tanggalnya, lalu aku akan pilih tanggal yang sama. Mungkin tahun depan atau dua tahun lagi atau tiga tahun lagi. Jadi tanggalnya tetap sama, hanya beberapa digit terakhir yang berbeda ..."

"Jules ..."

"Kau tahu, aku tidak punya pacar. Aku single dan sangat bahagia selama delapan tahun terakhir berkat kau dan Josh," Julie tersenyum kecil, "dan aku -"

"Kau belum bisa melepaskannya," potong Alex.

Julie menggeleng pelan, "aku telah melepaskannya. Satu hari sejak dia lebih memilih Amy daripada aku. Kalau aku tidak melakukannya, mana mungkin aku bisa melanjutkan hidupku sendiri," ia tertawa hambar, sejenak kedua matanya yang sewarna langit berubah kosong.

"Kalau begitu pergilah berkencan, Jules," balas Alex, "masih banyak lelaki baik di luar sana. Kau hanya perlu membuka diri dan membiarkan mereka masuk."

"Kalimatmu ambigu, Alex," Julie tertawa lirih, sejenak ia meregangkan tubuhnya hingga t-shirt putih polos yang ia kenakan sedikit terangkat.

"Kau tahu maksudku, Jules," Alex menarik nafas, "aku akan mengenalkanmu dengan temanku. Dia orang baik. Setahuku dia single, dia pekerja keras dan bertanggung jawab. Dia ramah, humoris, menyenangkan. Kau pasti akan menyukainya, Jules ..."

"Alex, terima kasih banyak, tapi aku -"

"Dan dia 'nyata'! Dia ada di sini! Bisa kau sentuh, kau peluk, kau tendang kalau dia kurang ajar," potong Alex, menyambar novel tentang pembunuhan yang sedang Julie baca, "dia bukan hasil imajinasi orang lain. Dia nyata. Tiga Dimensi, Jules! Dia ada di dekat kita, bukan hanya di TV atau novel atau imajinasimu saja. Oh demi cumi-cumi panggang, tidak bisakah kau berhenti membaca novel fiksi dan sesekali beralih pada kenyataan? Berkat novel seperti ini, kau memasang standar pasangan yang tidak masuk akal. Dan aku tidak yakin kau akan menemukannya sebelum kau menghembuskan nafas terakhir, Jules."

"Tidak bisakah kau berdamai dengan kenyataan? Mencoba mengenal orang baru dan menerima kenyataan bahwa mereka tidak seperti para tokoh utama dalam novel?" suara Alex terdengar begitu prihatin.

"Bukan itu masalahnya," Julie menggelengkan kepala, "tapi aku hanya -"

'Aku hanya ingin bertemu dengan orang yang akan mengatakan bahwa dia telah menemukan seseorang yang baru saat semuanya berakhir, bukan orang yang akan mengarang seribu satu alasan untuk membuat dirinya tampak tidak bersalah,' kata Julie dalam hati, tapi ia tidak melanjutkan kalimatnya.

"Hanya?" tanya Alex, "kau masih mengingatnya?"

Julie menggeleng cepat, "tentu saja tidak! Aku sudah melupakannya! Lagipula kejadian itu sudah lama berlalu! Tujuh tahun delapan bulan tiga belas ha - sial."

"Jules ..."

"Alex," Julie tersenyum kecil, "ini hari bahagiamu. Jangan pikirkan yang lain. Lagipula kau tahu, kan, jodoh di tangan Tuhan. Aku tidak punya cukup nyali untuk mengambil jodohku di tangan Tuhan."

"Kau ini -" Alex memutar bola matanya, "kalau begitu aku yang akan bertemu Tuhan dan mengambil jodohmu yang masih ada di tanganNya," ucapya sebal, "hari Sabtu. Di sini. Di rumahku. Makan malam. Pukul tujuh tepat. Tidak ada alasan."

"Aku tidak akan mau mengenalmu lagi kalau kau tidak datang dengan alasan 'datang ke pemakaman ikan koki tetangga' atau 'kucingmu sakit.' Kau bahkan tidak punya kucing, Jules," lanjut Alex.

"Tapi ... hari Sabtu ..."

"Kali ini apa alasanmu?" Alex menatap Julie tajam, "kau terlalu lapar? Terlalu haus? Terlalu ngantuk?"

Julie menggeleng pelan, "tidak ... tidak ada ... kalau tidak ada sesuatu yang darurat, aku akan datang," akhirnya ia menyerah, "tapi hanya bertemu dengan siapapun yang ingin kau kenalkan padaku. Itu saja. Tidak kurang. Tidak lebih. Deal?"

"Deai," balas Alex, "dan aku pasti tahu alasanmu itu dibuat-buat atau tidak. Kita kenal sejak kita belajar berjalan. Jangan lupakan itu, Julie."

Julie tertawa lirih, pintu terbuka sebelum ia sempat berkata-kata.

"Ternyata kalian berdua ada di sini," seorang pemuda jangkung menyembulkan kepalanya di balik pintu.

"Josh," Alex segera berdiri dan berjalan menghampiri pemuda itu. Rambut coklatnya yang berantakan dan sedikit jambang di rahangnya tidak pernah berubah, pikir Julie. Tangan Josh melingkar di pinggang Alex, menarik gadis itu ke dalam pelukannya dan sekejap bibir mereka bersentuhan.

"Aku sudah beritahu Julie," kata Alex dengan senyum kecil di bibirnya. Ia menghirup aroma parfum lembut dan maskulin yang Josh kenakan setelah ia mandi. Aroma yang sangat Alex sukai.

"Benarkah?" Josh mengecup puncak kepala Alex, "bukankah seharusnya ini kejutan saat makan malam akhir pekan?"

"Aku tidak sabar ingin beritahu Julie," balas Alex. Suaranya terdengar sedikit manja, "lagipula, lebih cepat lebih baik, kan? Dan Julie akan datang untuk makan malam hari Sabtu."

"Oke, makhluk tidak terlihat akan pergi sekarang," kata Julie, mengambil tas tangan berwarna coklat muda yang selalu ia bawa kemanapun ia pergi serta novel pembunuhan yang tadi ia baca. Sejenak ia berhenti di dekat Alex dan Josh, "sekali lagi selamat," ia menepuk bahu keduanya, "aku ikut senang."

"Jules?" kedua mata coklat terang itu menatap Julie lekat-lekat, "ada apa?"

Julie menatap keduanya, "tidak ada ... aku ... aku terlalu senang untuk kalian berdua. Ini benar-benar kejutan yang sangat - menyenangkan," ia tersenyum lebar, berusaha menyunggingkan senyum paling lebar yang ia miliki, "sekarang, nikmati waktu kalian. Kalian layak mendapatkannya," sekali lagi ia menepuk bahu Alex dan Josh sebelum ia berjalan cepat keluar kamar.

"Alex, aku akan antar Julie pulang," kata Josh, sekali lagi mengecup bibir Alex sebelum ia menyusul Julie, "aku mencintaimu," bisiknya lirih.

"Hati-hati," balas Alex, mengikuti mereka berdua berjalan ke arah pintu.

"Jules?" panggil Josh, "Julie!"

Ia menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah sumber suara, "bukankah seharusnya kau bersama Alex? Kenapa kau di sini?"

"Mau ke mana?" tanya Josh, "aku antar."

"Aku bisa pulang sendiri," tolak Julie.

"Aku tidak lihat mobilmu dan kau pasti tersesat kalau pulang naik bus," Josh mengangkat kunci mobil miliknya, sebuah SUV hitam yang berada di pinggir jalan. Julie masih ingat senyum lebar di wajah Josh saat pemuda itu baru saja membeli mobil hitam yang ia kendarai kemanapun ia pergi.

"Ayolah," ia menekan tombol untuk membuka pintu mobil. Dan Julie tidak punya banyak alasan untuk menolak. Akhirnya ia berjalan ke arah mobil itu dan duduk di samping kemudi.

"Hei," panggil Julie tanpa menoleh ke arah Josh. Baginya, pepohonan dan deretan rumah di luar sana lebih menarik dari Josh, "selamat. Kau dan Alex," ucapnya meski terdengar datar, "aku sama sekali tidak menyadarinya. Sejak kapan kau naksir Alex?"

Josh tersenyum kecil, "aku tidak yakin. Mungkin saat kuliah? Atau saat kita pergi berkemah di tepi danau setelah kelulusan? Atau ..." senyumnya semakin lebar, menunjukkan kebahagiaan yang lebih dari yang Alex tunjukkan pada Julie, "aku tidak tahu sejak kapan. Tapi sejak lama aku tahu bahwa Alex adalah orang yang kuinginkan untuk menghabiskan hidup bersama."

"Lebih tepatnya, aku tidak bisa hidup tanpanya. Aku tidak bisa membayangkan seperti apa hidupku bila Alex tidak ada - bila Alex pergi atau ia muak padaku," ia tertawa gugup.

Julie mengangguk pelan.

"Kenapa?" tanya Josh, "aku tidak akan membawa pergi sahabatmu ke planet lain," imbuhnya sambil tersenyum, "aku sayang kalian berdua. Aku yakin kau tahu itu, Jules."

"Dan kami berdua juga menyayangimu, Josh," Julie tersenyum kecil, masih tidak bisa mengalihkan pandangannya dari pepohonan di luar sana yang mendadak menjadi begitu tampan dan menarik perhatian. Ia menggeleng pelan, "oh akui saja, Josh," kata Julie akhirnya, "kau lebih menyayangi Alex."

"Sedikit," balas Josh sambil tersenyum.

"Sedikit yang berarti banyak," tukas Julie. Ia menelan ludah.

"Jules, ada apa?" Josh menoleh ke arah Julie, "sejak tadi kuperhatikan tingkahmu agak aneh. Kau mau bicarakan?"

"Tidak ada yang aneh, Josh, tenang saja. Bukankah sejak dulu aku selalu seperti ini?" Julie balik bertanya, memastikan senyum kecil di bibirnya tidak hilang karena kekhawatirannya sendiri.

"Kapanpun kau mau bicarakan, telepon aku. Atau Alex," balas Josh, "kami berdua menyayangimu, Jules."

"Aku tahu," balas Julie, kini berharap kendaraan ini akan segera berhenti di rumahnya.

Ia tidak mengatakan apapun lagi. Hanya memandang jalanan, pepohonan, deretan rumah tanpa pagar serta kucing yang sedang mengejar tupai di luar sana. Begitu juga dengan Josh yang begitu fokus pada jalanan sepi. Tidak banyak orang yang keluar rumah saat matahari terik seperti ini.

Hingga akhirnya mobil berhenti di depan sebuah rumah tanpa pagar, dengan rumput hijau yang tumbuh subur. Bebatuan putih tertata rapi membentuk jalan setapak menuju tangga kecil di depan pintu yang dibatasi oleh pagar sebatas pinggang bercat putih.

"Aku janji pada Alex akan membantunya mengurus katering, undangan, semuanya," kata Julie sebelum ia membuka pintu mobil, "sampai nanti."

Josh tersenyum, "terima kasih, Jules. Sampai nanti."

Dan ia pergi.

Julie menghela nafas panjang. Ia berjalan menapaki deretan bebatuan putih itu setelah mobil Josh menjauh. Ia membuka tas tangannya, mencari kunci rumah yang pagi ini ia lemparkan begitu saja ke dalam tas tanpa menghentikan langkahnya.

"Di mana ..." gumamnya lirih. Sejenak ia terdiam. Sesuatu di depan pintu putih itu mencuri perhatiannya. Julie mempercepat langkahnya, melompati undakan dengan sekali lompat.

Sebelah alisnya terangkat saat ia melihat apa yang ada di depan pintu.

Setangkai bunga.

Mawar dengan warna merah pekat, nyaris kehitaman.

Tanpa kartu. Tanpa nama.

Hanya setangkai bunga tergeletak di depan pintunya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro