Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

01-01


"Dia melamarku kemarin malam," kata Alex. Ia menunjukkan cincin emas putih dengan berlian mungil mengintip malu yang melingkar di jari manisnya.

Julie meletakkan novel tentang pembunuhan yang sedang ia baca.

"Dia?" ulang Julie, "Dia siapa?"

Alex tidak menjawab, hanya menggenggam tangan Julie erat dengan senyum lebar di bibirnya yang dilapisi lipstick merah terang. Tidak hanya bibirnya yang tersenyum. Bola mata hitamnya, garis rahangnya yang tirus - bahkan alisnya yang hitam dan panjang, yang tertata rapi secara alami diatas kedua matanya yang bulat dan besar ikut tersenyum. Aura bahagia terpancar dengan sangat jelas, terlalu menyilaukan baginya sehingga Julie harus menciptakan sedikit ruang teduh di sekitar matanya dengan kedua tangannya.

Julie sama sekali tidak mengerti. Otaknya bekerja keras mencerna empat kata yang baru saja diucapkan oleh gadis dengan rambut hitam sebatas bahu itu. Kenapa ia sama sekali tidak tahu? Apa hanya dia yang tidak tahu bahwa selama ini sahabat yang selalu ada, selalu bisa diandalkan, sedang menjalin hubungan serius dan akan menikah dalam waktu dekat?

Julie amat sangat sadar tentang ketidakpekaannya, tapi ini tentang sahabatnya, salah satu orang yang penting dalam hidupnya dan ia sama sekali tidak tahu?

Dalam sekejap ia mempertanyakan dirinya sendiri sebagai sahabat.

"Siapa?" tanyanya lagi, balas menatap sepasang bola mata bahagia yang menatapnya sejak tadi.

"Kau tidak akan menyangka, Jules ..." gadis itu tersenyum nakal.

"Oke, kau mulai membuatku takut," Julie menarik nafas panjang, mempersiapkan dirinya sendiri agar ia tidak terkejut dengan apapun yang akan meluncur keluar dari bibir Alex, "sekarang, beitahu aku, Alex," pinta Julie, "siapa yang memberikan cincin itu padamu?"

"Josh ..." bisik Alex malu-malu, "Josh yang beri aku cincin ini," gadis itu memandangi cincin di jari mansinya. Ia tidak berusaha menutupi rasa sayang dan bahagia yang tergambar jelas di matanya saat ia memandangi cincin itu.

"Josh?" Julie mengerutkan alisnya, "Josh? Josh .... yang itu!?"

Dalam sekejap bulan runtuh tepat di atas kepala Julie. Ia berusaha menutupi dengan senyum palsu di wajahnya, tapi sahabatnya itu terlalu lama mengenalnya. Ia takut Alex menyadari bahwa ia menyembunyikan sesuatu.

"Aku ... selamat! Walau aku tidak tahu kapan kalian mulai menjalin hubungan yang lebih serius dari sekedar sahabat dan tiba-tiba mendapat kabar kalian berdua akan menikah ... wow!" Julie menggenggam kedua tangan Alex, menyunggingkan salah satu senyum terbaik yang ia miliki saat ini.

"Terima kasih, Jules," Alex tersenyum hangat, membalas genggaman tangan Julie, "kemarin Josh bilang dia menyayangiku lebih dari teman. Lebih dari sahabat. Dan ia ingin menjadi temanku menghabiskan hidup. Tapi dia terlanjur menjadi sahabat untukku. Untukmu juga, Jules," lagi-lagi Alex mengangkat jari manisnya, memperlihatkan berlian mungil yang mengintip di sela jemarinya yang kurus dan lentik, "dia takut aku akan menolak dan menghilang begitu saja karena tidak ada konsep sahabat menjadi suami di otakku, tapi ..." gadis itu menarik nafas panjang, menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.

"Tidak pernah terlintas di pikiranku, Jules," lanjut Alex, "aku? Dengan Josh?" ia tergelak, "tapi ternyata takdir berkat lain," Alex membelai cincin itu dengan kasih sayang terpancar jelas di matanya.

"Alam semesta selalu tahu cara terbaik untuk mempermainkan kita," senyum kecil penuh kebahagiaan itu tak pudar di wajah Alex, "selalu punya cara untuk membuat kita berputar jauh sebelum kita sadar bahwa apa yang kita cari ternyata ada di depan mata kita ..."

"Dan semuanya akan indah pada waktunya," kata Julie, sedikit terbata. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ikut bahagia bersama sahabatnya atau merayakan hilangnya dua orang yang selama ini selalu ada untuknya? Yang selalu mendengarkan keluh kesahnya yang tidak penting, selalu tahu di mana harus menemukannya dan bagaimana caranya mengeluarkan dirinya dari tempat persembunyian.

"Jules," senyum bahagia itu hilang dalam sekejap, "kalau kau tidak suka, kalau kau ternyata punya perasaan lebih pada Josh, aku akan batalkan. Aku akan mundur, Jules," Alex hendak melepas cincin itu.

"Jangan - bukan begitu, Alex," tukas Julie. Tangannya segera menggenggam tangan Alex sebelum gadis itu melepas cincinnya. Sejenak Julie mengalihkan pandangannya, memandangi tempat tidur untuk satu orang berlapis sprei oranye dengan motif daun gugur yang ujungnya tercabut, selimut biru tua yang penuh dengan bintang kecil keemasan, jam dinding bulat dengan lingkaran hitam berlapis di pinggirannya yang menunjukkan pukul sebelas siang, hingga novel yang tadi ia baca, yang kini tergeletak di dekat kakinya.

Julie menelan ludah.

"Apa hanya aku yang tidak tahu kalian ... berpacaran?" tanya Julie hati-hati.

Alex menggelengkan kepalanya, "kata Josh, pacaran itu sudah tidak perlu lagi. Kami berdua terlalu mengenal satu sama lain. Dan Josh yakin aku adalah orang yang ia inginkan untuk menghabiskan sisa hidup bersama. Jadi dia tidak memintaku menjadi pacarnya, tapi langsung menjadi istrinya," jawab Alex riang. Senyum bahagia itu telah kembali, "Mrs Thompson ..." bisiknya penuh harap, meninggalkan Julie yang terkubur di dalam tanah.

Tak bisa dipungkiri, kini Julie merasa lega. Lega karena bukan ketidakpekaan dan ketidakpeduliannya pada dunia yang membuatnya tidak sadar bahwa sahabatnya sebentar lagi akan menikah. Tapi kekhawatiran yang lebih besar mulai menghantui. Saat kedua sahabatnya menikah, membangun rumah tangga, secara otomatis mereka akan memprioritaskan keluarga kecil mereka yang bahagia. Segalanya bisa menunggu, segalanya bisa menanti, kecuali keluarga mereka.

Memang itu hal yang sangat wajar. Dan selalu terjadi pada semua orang.

Begitu mereka menikah, mereka akan kehilangan waktu untuk sendiri, waktu untuk diri sendiri, waktu untuk sekedar bertemu dan mengobrol dengan teman-teman mereka. Mungkin prioritas mereka yang berubah. Entahlah.

Julie berusaha mengatakan pada dirinya sendiri bahwa semua ini adalah hal yang wajar. Sangat wajar. Tapi ia sangat tidak siap saat sahabatnya juga akan pergi melewati pintu pembatas bernama 'pernikahan'. Dalam sekejap ia merasa seperti hantu gentayangan yang tertinggal di dunia saat semua hantu lainnya telah pergi ke alam baka.

"... Jules? Kau dengar?" suara Alex mengembalikan Julie pada kenyataan.

"Hm? Tentu. Tentu aku dengar," sahutnya cepat.

"Dengar apa?" balas Alex, cemberut. Alex tahu Julie sama sekali tidak mendengarkan, "aku mengenalmu sejak kita belajar jalan, Jules. Aku tahu kapan kau mendengarkan dan kapan pikiranmu melayang. Jangan coba-coba bohong."

Julie hanya tersenyum lebar. Ia tahu Alex akan cemberut selama beberapa saat lalu memaafkannya.

"Jules," panggil Alex, "kau masih ingat? Mimpi kita?"

Julie mengangguk. Mana mungkin ia lupa. Mimpi dua orang anak kecil yang belum kenal dunia. Mimpi untuk menikah bersama-sama, di hari, tanggal, bulan dan tahun yang sama, dengan konsep pernikahan yang didiskusikan berempat. Tanpa mawar, hanya ada lily dan melati. Mimpi konyol yang ia tahu tidak akan pernah terjadi. Sudah lama ia menyerah tentang mimpi itu.

"Kita buat mimpi itu jadi kenyataan," lanjut Alex.

"Tidak mungkin," tukas Julie cepat.

"Kenapa? Ini satu-satunya kesempatan, Jules. Kau tidak ingin aku menikah beberapa kali, bukan?"

"Tapi tidak mungkin, Alex," Julie menggeleng cepat, menunjuk dirinya sendiri, "magnet lelaki yang salah, ingat?"

Alex menggeleng, "kali ini tidak mungkin salah. Sekarang jawab aku, Julies. Kau percaya padaku?"

"Tentu saja. Aku sangat mempercayaimu, Alex -"

"Kalau begitu, pastikan jadwalmu kosong hari Sabtu."

"Tidak. Tidak mau," tolak Julie, "tidak mau. Apapun rencanamu hari sabtu, batalkan, Alex."

"Jules ... kau percaya padaku, kan?"

"Aku percaya, Alex. Sangat. Tapi urusan ini, aku sama sekali tidak percaya."

"Kali ini tidak mungkin salah."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro