9. Tertangkap Basah
Hari ini rasanya aku tak semangat menjalani aktivitas. Bukan hari ini saja, tapi hampir setiap hari. Ada saja yang harus aku kerjakan di sini. Seperti pagi ini, aku harus membantu Hasanah dan santri lain untuk kerja bakti membersihkan lapangan pondok putri. Ditambah panas terik matahari sangat menyengat. Sesekali keringat kuseka dengan lengan karena tanganku kotor. Panas-panas justru kerja bakti. Belum lagi kotor. Seperti disiksa rasanya. Mana semua puasa.
Lusa, pondok ini akan sepi karena besok perpulangan santri masal. Ah, aku malas bahas hal itu. Ingin sekali rasanya minum air es. Jika bukan di sini, mungkin aku sudah langsung minta pembantu untuk membuatkan es.
"Mbak Sofia. Ada pesan dari ruang istiqbal, katanya orang tua Mbak Sofia telepon."
Perhatianku teralih ketika mendengar seorang santri menyampaikan pesan padaku. Aku menatapnya. "Bilang saja, aku nggak mau ngomong sama Mama. Sampaikan juga, jangan telepon aku lagi. Aku sibuk," balasku kesal.
Santri itu berlalu pergi. Aku masih mencabut rumput dengan hati kesal. Kesal dengan orang tuaku.
Biarin saja Mama telepon. Aku nggak mau ngomong sama Mama. Dia saja sudah nggak peduli sama aku, ngapain masih telepon? Mending nggak usah dengar sekalian. Aku males.
"Kenapa sih, Mbak Sofia?" tanya Hasanah.
"Udah, kamu diem saja, jangan ikut campur," gerutuku. Malas kalau dia sampai ceramah. Kepalaku sudah pusing.
Tak ada jawaban. Aku pun tak peduli. Sejak kemarin dia sudah membuatku kesal. Kalau saja dia tak peduli padaku sejak awal masuk sini, mungkin aku sudah menjauhinya.
"Sofia. Ikut saya ke ruang istiqbal."
Aku menjulinhkan mata. Hafal dengan suara itu. Tak akan aku menurutinya. Menurutinya sama saja pasrah jika Mama dan Papa tak menganggapku sebagai anak.
"Sofia. Kamu dengar saya ngomong nggak?" tanyanya lagi.
"Nggak mau. Bilang saja sama orang tuaku kalau aku sibuk. Bukannya aku memang lagi sibuk kerja bakti. Sekalian saja bilang, jangan telepon aku lagi. Aku bukan siapa-siapa mereka, kan?" timpalku tanpa menatapnya.
"Astagfirullah. Kamu nggak kasihan sama mama kamu ingin tau kondisi kamu di sini? Beliau rindu sama kamu, Sofia."
Pandangan kulempar ke arahnya. Aku menatapnya sinis. "Apa? Apa Anda nggak salah ngomong? Kalau Mama rindu, kenapa harus masukin aku ke sini? Kalau Mama sayang aku, kenapa dia tega masukin aku ke penjara ini?"
Dia hanya menggeleng dengan raut bingung. Aku tersenyum sinis padanya, lalu kembali menatap rumput di depanku.
"Kamu harusnya bersyukur punya orang tua yang peduli. Santri lain belum tentu seperti kamu, dapat perhatian, ditelepon setiap pekan. Saya kira, kamu akan belajar dari Hasanah, tapi ternyata salah. Kamu memang keras kepala dan egois." Dia masih mengoceh. "Kamu minta saya buat menyampaikan pesan kamu? Saya turuti. Ibu kamu kirim paket. Paketnya masih ada di ruang istiqbal. Mau diambil atau nggak itu terserah kamu," tambahnya.
Aku tak membalas ucapannya. Sepertinya dia kesal. Lebih baik tak membalas daripada ujungnya akan seperti kereta. Dia menyebalkan. Aku melirik dengan ekor mata untuk memastikan dia. Rupanya dia sudah pergi. Napas kuhela. Pandangan kulaihkan pada Hasanah. Rautnya tanpa ekspresi.
Saya kira, kamu akan belajar dari Hasanah. Belajar dari Hasanah? Mengenai apa? Mengenai dia yang selalu patuh dengannya? Oh tidak! Aku nggak mau seperti Hasanah yang patuh dengan Fatimah. Nggak akan!
***
Paket dari Mama sudah ada di kamar ini. Aku tak tahu isinya apa. Masih belum kubukan, dan tak ada keinginan untuk membukanya. Mengingat Mama saja aku jadi benci. Tapi aku penasaran dengan paket ini.
Aku meraih sepucuk surat yang ada di atas paket itu. Tanganku bergerak membukannya. Ukiran tulisan Mama terlihat di permukaan kertas yang kupegang saat ini. Kalimat salah mengawali surat ini.
Sofia anak kesayangan Mama. Kamu apa kabar, Nak? Mama kangen banget sama kamu. Semoga kamu sehat-sehat di sana. Jaga kondisi ya, Nak. Mama senang pas tau dari Ustazah Fatimah kalau kamu puasa. Makanya Mama kirim paket makanan kesukaan kamu. Makanannya bagi-bagi ya sama teman kamu di situ yang nggak pulang. Mama juga minta maaf karena nggak berhasil bujuk Papa biar kamu pulang dan lebaran di rumah. Semoga kamu ngerti. Mama juga kirim beberapa baju ganti buat kamu selama di pondok. Mama senang kalau kamu banyak perubahan di sana, Nak. Insyaallah, nanti Mama bujuk Papa supaya mau ke sana pas lebaran buat nengok kamu.
Gigi kueratkat. Kuremas surat dari Mama, lalu melemparnya ke atas matras. Kesal. Sangat kesal. Kesayangan dari mana? Kalau aku anak kesayangan, mana mungkin dapat perlakuan seperti ini?
Aku bergegas meninggalkan kamar untuk menuju tempat sepi. Lebih baik menenangkan diri sambil mencari cara untuk kabur dari tempat ini. Lama-lama di tempat ini aku bisa mati. Setiap hari harus bangun pagi. Belum lagi hafalan, bantu masak, salat, dan semua pekerjaan yang tak pernah aku kerjakan di rumah. Aku muak tinggal di sini.
"Mbak Sofia mau ke mana?" tanya Hasanah.
Langkah kupercepat. Tak peduli dengan pertanyaan Hasanah. Beberapa santri yang sedang gosip pun kuterobos. Tak peduli mereka semakin benci denganku.
Akhirnya aku tiba di tempat tujuan. Pandangan masih kutujukan pada dinding di depan sana. Itu dinding pagar paling rendah. Beberapa santri putri pernah kabur melewati dinding itu. Di balik dinding itu adalah sawah milik warga. Ini sudah sore. Sawah sudah kupastikan sepi. Sekarang adalah waktu yang tepat untuk kabur. Jika aku bisa melewati dinding itu, maka aku telah berhasil kabur. Aku harus melakukannya sekarang. Jangan sampai menunda lagi.
Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, berharap menemukan alat agar bisa membantuku menaiki dinding itu.
"Duh, kenapa nggak ada alat yang bisa bantu aku buat kabur," gerutuku.
"Kamu nggak akan bisa kabur dari sini."
Gerakanku terhenti ketika mendengar suara itu. Suara laki-laki. Aku tak berani membalikkan tubuh. Apalagi dia tahu jika aku akan kabur.
"Kalau kamu kabur, sudah dipastikan akan mendapat hukuman berat dari Pak Kiai. Bukan hanya dari Pak Kiai saja, tapi juga dari papa kamu," lanjutnya.
Sejak kapan aku takut dengan orang termasuk laki-laki? Aku nggak boleh takut. Mau kabur atau nggak itu urusan aku.
Tubuh kubalikkan. Pandangan sontar tertuju pada sosok laki-laki yang berdiri tak jauh dari hadapanku saat ini. Dia, laki-laki yang pernah menabrakku tempo hari. Namanya ...
"Kenapa kamu ingin kabur?" tanyanya.
Napas kuhela. "Apa pedulimu?" tanyaku balik. Menatap manik matanya.
"Aku cuma penasaran saja," balasnya santai. Dia membuang wajah.
Aku mengamati pakaiannya. Dia terlihat berbeda dari sebelumnya. Kali ini dia mengenakan jubah putih lengan panjang. Tak lupa pecil putih menghiasi rambutnya. Biasanya dia hanya mengenakan koko pendek dan celana bahan warna hitam.
"Kamu akan rugi kalau kabur dari sini. Jarak dari sini ke rumah warga cukup jauh melewati kebun dan sawah. Apalagi ke jalan raya Nggak bisa dibayangkan malam hari melewati kebun dan sawah," tambahnya lagi.
"Siapa juga yang mau kabur." Aku beranjak dari posisi untuk meninggalkan tempat ini.
"Belajar yang rajin biar papa kamu bangga. Perbaiki cara pakaianmu supaya membedakan mana muslimah dan wanita kafir."
Langkahku terhenti. Aku menatapnya. "Kamu nggak jauh beda dari kakakmu," desisku, lalu kembali melanjutjan langkah setelah mengatakan hal itu.
Dia benar-benar menyebalkan. Sama seperti kakaknya, Fatimah. Aku menyesal telah memujinya tampan. Aku menyesal penasaran dengannya. Dia jelek, tak sempurna, dan tidak perfect. Aku tak mau lagi memikirkannya. Pergi dari pikiranku, Alshad!
***
Ustadz Alshad berasa kayak cenayangnya Sofia.
Di saat Sofia akan melakukan hal buruk, dia nongol.
Hahaha ...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro