7. Siapa Dia?
Jangan lupa tap bintang sebelum baca.
Terima kasih.
♡
♡
♡
Apa yang kutakutkan terjadi. Gara-gara mencuci pakaian tanganku jadi seperti ini. Rasanya panas seperti dibakar dan merah-merah. Aku memang alergi dengan detergen, dan aku dipaksa untuk cuci pakaian sendiri tanpa bantuan siapapun. Ini semua karena Fatimah. Dia yang menyuruhku untuk melakukannya.
Sampai kapan ujianku di sini berakhir. Rasanya seperti lama sekali melewati satu bulan di sini. Ini baru satu pekan, masih ada beberapa pekan lagi yang harus kulewati. Rasanya sudah tak kuat tinggal di sini.
Napas kuhela. Tatapan masih pada telapak tangan yang memerah. Bukan merah lagi, tapi melepuh. Nasib sial tinggal di sini demi menerima tantangan dari Papa. Bagaimanapun aku harus menyelesaikannya demi fasilitasku kembali. Melambaikan tangan pun sudah terlanjur sepekan di sini.
"Aku cari-cari ternyata di sini."
Perhatianku teralih ketika mendengar suara Hasanah. Dia duduk di sampingku. Aku menatapnya sekilas, lalu kembali pada halaman lapang di hadapanku saat ini. Ini hari libur, jadi banyak santri yang santai. Tapi bagiku sama saja. Mau libur atau tidak tetap sama, membosankan.
"Nggak mau lagi besok nyuci," eluhku.
"Kenapa? Bukannya seru nyuci sendiri?" tanya Hasanah.
"Lihat, nih." Aku menyodorkan tangan pada Hasanah.
"Itu belum seberapa, Mbak." Hasanah menimpali.
"Belum seberapa apanya? Tangan aku sampai melepuh kayak gini masih dibilang belum seberapa? Aneh kamu, Na," balasku kesal.
"Salamah! Tolong ke sini, dong!" seru Hasanah.
Kenapa dia panggil santri lain. Cari masalah saja. Tahu sendiri santri lain banyak yang takut dan nggak suka sama aku.
"Iya, Kak."
Aku menatap sekilas ke arah Hasanah. Santri yang ia panggil sudah ada di sampingnya. Napas kuhela.
"Boleh lihat gatal-gatal di tangan kamu nggak?" tanya Hasanah pada Salamah.
Entah apa yang mereka lakukan. Aku tak ingin tahu atau penasaran.
"Mbak Sofia, lihat ini, deh." Hasanah menginstruksiku.
"Ngapain?" tanyaku tanpa menatapnya.
"Lihat dulu," pintanya.
Aku menatapnya malas. Terlihat luka di kedua lengan Salamah. "Apa hubungannya luka itu sama aku?"
"Biar Mbak tau saja kalau luka Mbak itu belum seberapa. Hampir semua santri di sini mengalami sakit kulit. Jadi nggak heran kalau Mbak nantinya akan seperti ini," jelas Hasanah.
"Beda. Aku kayak gini karen nyuci. Dia kayak gitu karena jorok." Aku mengelak.
"Mbak Nana nggak pulang lagi, ya. Seminggu lagi perpulangan santri. Aku bakal kangen sama Mbak Nana dan semua santri dalem." Salamah menyambar.
Perpulangan santri? Apa aku juga akan pulang? Yes! Aku akan pulang kalau santri lain pulang. Ah, jadi nggak sabar mau pulang. Seenggaknya aku bisa bebas sementara dari sini atau bisa bujuk Papa supaya mencabut hukuman ini.
Pandangan kulempar ke arah Hasanah setelah kepergian Salamah. Rautnya terlihat murung. Entah apa yang terjadi dengannya.
"Kenapa?" tanyaku.
Hasanah hanya tersenyum tipis sambil menggeleng. Seperti ada yang ia tutupi. Bagaimanapun dia temanku di sini. Dia yang selalu membantuku.
"Gara-gara nggak bisa pulang?" tanyaku memastikan.
Dia hanya mengangguk lemah.
"Alasannya apa?" Aku penasaran.
"Aku sudah nggak diakui orang tuaku karena jadi mualaf," terangnya.
"Nggak diakui? Jadi kamu diusir dari rumah? Cuma gara-gara masuk Islam?" tanyaku tak percaya.
"Iya, Mbak." Hasanah kembali mengangguk.
"Terus, kamu masuk ke sini gimana?"
Hasanah menceritakan perjalanannya bisa sampai masuk ke dalam pondok ini. Dia dibantu seseorang agar bisa ada yang nampung. Jadilah tempat ini rumah baginya. Dia di sini sudah dua tahun. Selama itu pula dia tak bertemu dengan keluarganya di Jakarta. Dia bukan asli orang Indonesia. Aku baru menyadarinya. Wajahnya ada campuran dari luar. Hasanah bahkan pernah kuliah di luar negri. Dia anak orang punya. Demi ingin masuk Islam, dia rela diusir orang tuanya dan masuk ke sini.
Ada rasa kasihan menyergap hatiku melihat Hasanah menangis. Aku semakin penasaran dengan jalan kehidupannya. Dia memang paling berbeda. Santri paling baik dan sabar di antara yang lainnya. Dia juga cantik jika kuperhatikan. Tapi lebih cantik aku ke mana-mana.
***
Aku masih memejamkan mata. Sulit untuk terlelap tidur. Entah kenapa ucapan Hasanah masih terngiang di dalam pikiranku. Nasibnya tak seberuntung aku. Dia harus menerima konsekuensi dari apa yang telah dipilih olehnya. Entah jika aku di posisinya.
"Mbak Sofia, disuruh ke ruang istiqbal. Ada telepon dari orang tua Mbak sofia."
Telepon dari orang tua?
Mata kubuka, lalu beranjak duduk. Kulihat santri berdiri di sampingku. Sudah lama aku menunggu telepon dari Mama, tapi baru sekarang Mama menghubungiku. Aku beranjak dari matras untuk mengikuti santri itu menuju ruang istiqbal.
Pesantren ini cukup luas. Terbagi menjadi dua bagian. Sebagian Ponpes khusus putra, dan sebagian Ponpes khusus putri. Aku masih penasaran dengan Papa, dari mana Papa tahu pondok pesantren ini.
Aku menerima ponsel dari santri yang bertugas di ruangan ini. Ruangan penerima tamu untuk keperlu telepon dan jika ada orang tua yang ingin menjenguk anaknya.
"Halo, Sofia," sapa Mama di seberang sana.
"Kenapa, Ma?" tanyaku datar.
"Kamu apa kabar? Mama kangen sama kamu, Sof," balasnya.
"Kalau kangen kenapa baru telepon?" gerutuku.
"Mama takut ganggu belajar kamu. Lagian cuma dibolehin telepon seminggu sekali pas hari libur progam, jadi Mama baru bisa hubungi kamu."
"Iya," balasku malas.
"Mama sudah kirim uang buat kamu. Nanti minta saja ke Ustazah Fatimah. Jangan boros-boros di sana."
"Punya uang juga mau beli apa di sini? Nggak ada makanan yang enak. Kapan Ratu keluar dari sini, Ma? Ratu udah nggak betah," eluhku.
"Sabar sampai habis lebaran. Tantangan dari Papa tiga puluh hari. Kalau belum tiga puluh hari kamu belum boleh pulang."
"Tapi nanti mau perpulangan santri. Ratu dijemput, 'kan?" tanyaku memastikan.
"Maafin Mama, Sofia. Kamu nggak dibolehin pulang sama Papa kalau belum tiga puluh hari."
"Ah, Mama! Ratu mau pulang! Masa Mama sama Papa tega biarin Ratu lebaran di sini?! Yang lainnya pada pulang." Aku merajuk kesal.
"Maafin Mama sama Papa, Sofia."
"Udah! Ratu malas ngomong sama Mama! Mending nggak usah telepon lagi! Mama sama Papa tega!" Aku memutus sambunga telepon bersama Mama.
Mataku berkaca. Sedih karena Mama dan Papa sudah tak peduli lagi padaku. Aku memberikan ponsel pada santri, lalu bergegas keluar dari ruangan itu.
Mama sama Papa tega. Aku harus lebaran di sini tanpa mereka. Di sini pasti akan sepi karena santri pada pulang. Kenapa Mama sama Papa tega banget sama aku? Mereka benar-benar sudah nggak peduli sama aku.
Air mata masih mengalir di pipi. Rasa sedih masih menghantui. Aku berjalan cepat menuju kamar. Tak sengaja aku menabrak seseorang sehingga buku yang ia pegang jatuh. Tatapan kulempar ke arahnya. Sosok laki-laki kini di hadapanku. Dia menatapku.
Siapa dia?
Dia membuang wajah, lalu merendahkan tubuh untuk memungkut bukunya yang terjatuh. Aku masih memandangnya. Tak mau berlama-lama, aku meninggalkan dia untuk menuju kamar. Bayangan wajahnya masih teringat jelas dalam ingatanku. Wajahnya bersih, tampan, dan berjanggut tipis.
***
Hayo ... dia siapa?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro