15. Perpisahan Dadakan
Aku sudah bertemu dengan Ustazah Fatimah. Kata beliau, Mama sudah menghubunginya beberapa hari yang lalu dan mengatakan masalah aku. Mama titip aku ke beliau sampai waktuku habis di sini. Aku tak tahu apa yang terjadi. Papa pun tak menghubungiku. Tak mungkin mereka ke luar negri karena akan hari raya. Kalaupun mereka ke luar negri, sudah tentu dapat menghubungiku. Aku justru khawatir mereka sakit, tapi tak mengungkapkannya padaku. Khawatir jika aku akan kepikiran.
Ini sudah memasuki malam hari raya. Sisa waktuku di sini tinggal beberapa hari lagi. Jujur, aku merasa sedih harus meninggalkan tempat ini. Awalnya ingin cepat meninggalkan tempat ini, tapi sekarang justru berat. Aku berat meninggalkan tempat ini karena ada banyak hikmah dan perlajaran yang kudapat. Tapi aku juga rindu dengan rumah. Rindu dengan Papa dan Mama. Selama di sini pula aku tak bertemu mereka.
Aku pun mulai mengubah pandangan terhadap Ustazah Fatimah. Tak seharusnya aku memanggilnya dengan nama saja. Walaupun belum sepenuhnya menerima, tapi aku akan belajar untuk menghormatinya. Dia yang membuat aku seperti ini. Berubah menjadi lebih baik.
Persiapan di pondok untuk menyambut hari rasa sedang dipersiapkan. Entah kenapa aku merasa ada kesedihan saat tak ada kepastian dari Mama dan Papa untuk mengunjungiku walau sehari saja. Apa yang sedang mereka lakukan di sana?
Perhatianku teralih ketika mendapati seseorang berdiri di sampingku. Pandangan kulempar ke arahnya. Aku kembali menatap ke halaman setelah mengetahui siapa yang berdiri di sampingku.
"Doa kamu terkabul, Sofia. Ayah kamu datang buat jemput kamu," kata Ustazah Fatimah.
Papa datang? Apa dia nggak salah ngomong?
"Jangan bercanda," balasku datar.
"Kapan saya pernah bercanda dan bohong?" tanyanya.
Mata kupejamkan, berharap ucapannya bukan hanya halusinasiku saja.
"Apa kamu nggak mau ketemu orang tua kamu?"
Aku beranjak dari undakan untuk berdiri. Ustazah Fatimah melangkah untuk mengantarku menuju ruang istiqbal. Perasaanku campur aduk. Aku bahagia karena akan bertemu Mama dan Papa, tapi ada yang membuatku penasaran. Seingatku, tadi Ustazah Fatimah mengatakan jika Papa akan menjemputku sekarang. Padahal aku belum tiga puluh hari di sini. Genap tiga puluh hari masih tiga hari lagi.
Napas kuhela ketika tiba di depan pintu ruang istiqbal. Kubuka pintu ruangan itu setelah siap menemui kedua orang tuaku. Ustazah Fatimah tak ikut masuk ke dalam karena masih ada yang harus ia kerjakan. Terlihat dua orang laki-laki dan satu perempuan duduk di sana. Tapi perempuan itu bukan Mama, melainkan Bu Nyai.
Mataku berkaca ketika menatap Papa. Aku berhamburan ke arah Papa dan memeluknya. Sungguh, ada banyak hal yang ingin kucurahkan padanya. Aku sangat rindu dengannya dan Mama. Aku merasa banyak salah pada Papa karena perilakuku selama ini. Baru kali ini aku merasa sangat bersalah pada orang lain.
"Gimana kabar kamu?" tanya Papa sambil mengusap kepalaku.
Kepala kugelengkan. Lidah terasa kelu karena perasaanku tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Aku pun masih memeluk Papa seakan tak ingin lepas.
"Sepertinya dia sangat rindu denganmu, Pak." Pak Kiai bersuara.
"Iya. Tiga puluh hari tanpa dia di rumah rasanya sepi dan hambar. Biasanya ada saja yang diributkan. Tapi kok saya merasa dua puluh tujuh hari terasa sangat cepat," balas Papa.
Aku melepas pelukan. Cepat apanya? Enak banget Papa ngomong cepat. Aku merasa lama banget menjalani hari-hari itu di sini.
"Gimana rasanya selama ini tinggal di sini?" tanya Bu Nyai.
Senyum kusungging. Entah kenapa malas mengungkapkan. Rasanya campur aduk tinggal di sini.
"Kamu kemasi barang-barangmu. Ayahmu datang untuk menjemput." Pak Kiai menyambar.
Pandangan kulempar ke arah Papa. Beliau mengangguk padaku. Ada raut sedih yang terlihat. Beliau seperti kurang tidur.
Aku meninggalkan ruang istiqbal untuk menuju kamar. Masih tak percaya jika aku akan meninggalkan tempat ini. Sungguh, perasaanku campur aduk. Aku masih belum puas tinggal di tempat ini karena masih ingin belajar. Tapi aku juga ingin pulang dan melihat keadaan rumah. Aku bahkan lupa menanyakan tentang Mama. Kenapa beliau tak ikut menjemputku.
Pakaian segera kumasukkan ke dalam koper setelah tiba di kamar. Masih ada pakaian yang belum kering. Biarlah. Aku akan memberikannya pada Hasanah sebagai kenang-kenangan. Itu jika dia mau. Jika dia tidak mau, maka aku akan menyuruhnya untuk membuang pakaian itu.
Perhatianku teralih ketika mendapati seseorang masuk ke dalam kamar ini. Kulihat Hasanah dan santri penghuni kamar ini berjalan menghampiriku.
"Mbak Sofia serius di jemput sekarang?" tanya Hasanah.
"Iya, Na. Papa sudah jemput aku. Aku juga bingung, kenapa dijemput sekarang," balasku padanya.
Mereka menghampiriku. Aku menatap mereka sambil tersenyum. Raut mereka terlihat sedih. Sepertinya mereka tak ingin kehilanganku. Aku mengerti.
Hasanah memelukku dari samping. "Aku akan sangat merindukanmu, Mbak Sofia," ungkapnya sedih.
Aku mengusap tangannya. "Insyaallah, aku akan main ke sini kalau ada waktu luang," balasku menenangkannya.
"Tapi pasti lama, Mbak."
"Maafin aku ya, Na. Selama ini aku sudah bikin kamu dan santri lain repot atau kesal karena ulahku," ungkapku tulus.
"Nggak, Mbak. Kami ngerti keadaan Mbak Sofia." Nina menyambar.
Semua santri memelukku. Kami larut dalam kesedikan karena akan berpisah. Sungguh, aku merasa sangat berat untuk meninggalkan mereka. Walaupun tak sampai tiga puluh hari, tapi ada banyak kenangan bersama mereka. Akan ada yang kurindukan dari mereka dan tempat ini. Aku tak akan lagi mendapati salat Tarawih berjemaah dengan mereka, buka puasa bersama dengan mereka, dan tak lagi rebutan kamar mandi dengan mereka. Mereka mewarnai hiduku di sini.
"Sof. Ayah kamu sudah nunggu."
Perhatian kami buyar. Pandangan kulempar ke arah sumber suara. Ustazah Fatimah berdiri tak jauh dari pintu. Aku beranjak dari matras, lalu meraih koper.
"Na. Ada jemuran aku yang belum kering. Kamu pakai saja gamis itu buat kenang-kenangan dariku. Kalau nggak mau, kamu bisa buang atau bakar baju-baju aku yang tersisa di sini." Aku menyampaikan.
"Iya, Mbak. Aku pasti pakai baju dari Mbak Sofia. Maafin aku ya, Mbak Sofia jika belum bisa jadi sahabat yang baik." Hasanah kembali mengeluarkan air mata.
Lebih baik aku diam. Membalasnya akan semakin membuat keadaan berlarut-larut. Aku bergegas keluar dari kamar ini untuk menemui Papa. Hasanah dan yang lainnya mengikutiku dari belakang untuk mengantar keluar.
"Aku minta maaf dengan Ustazah kalau selama ini sudah bikin Ustazah marah atau tersinggung," ungkapku pada Ustazah Fatimah.
"Saya bisa mengerti. Semoga kamu istikamah dengan apa yang kamu pelajari di sini. Sebenarnya, saya salut dengan kamu dan tak ingin berpisah. Tapi qodarullah memang harus sekarang berpisahnya. Semoga kamu nggak kapok dengan saya dan tak menyimpan dendam," balasnya mengulas.
"Seharusnya aku yang bilang begitu ke Ustazah. Takutnya Ustazah kapok ketemu aku lagi," timpalku.
"Kamu bisa saja."
Langkahku terhenti ketika tiba di gerbang penghubung. Aku membalikkan tubuh untuk menatap Hasanah dan santri lain yang terakhir kali. Tangan kulambaikan pada mereka. Mereka menatapku sedih. Aku jadi ikut merasa sedih. Tubuh kembali kubalikkan untuk melanjutkan langkah menuju area parkir karena Papa sudah menungguku di sana.
Aku meraih sesuatu dari saku gamis. Ini sudah kusiapkan beberapa hari yang lalu. Anggap saja ini balas dendamku pada Hasanah karena sudah menggodaku mengenai Ustaz Alshad. Semoga dia tak marah padaku suatu hari nanti saat aku menghubungi atau mengunjungi tempat ini dan bertemu dengannya.
"Ustazah, aku mau nitip ini buat Ustaz Alshad dan Ustaz Dafi." Aku mengangsurkan dua amplop yang kuraih dari dalam saku pada Ustazah Fatimah.
"Ini apa?" tanya belia memastikan.
"Bukan apa-apa, Ustazah. Hanya permintaan maaf saja," balasku sekenanya.
Ustazah Fatimah menerima amplop dariku sambil tersenyum. Tak peduli beliau berpikir negatif. Apa yang kuucapkan benar adanya. Isi surat dariku untuk Ustaz Alshad adalah permintaan maaf. Tapi berbeda untuk Ustaz Dafi.
Aku kembali minta maaf pada Ustazah Fatimah sebelum masuk ke dalam mobil. Lalu pandangan kualihkan pada sekitar, berharap menemukan sosok laki-laki yang selalu tak sengaja bertemu denganku di pondok putri. Ya. Aku ingin melihat dia untuk yang terakhir kali sebelum kembali ke Jakarta.
Senyum kusungging ketika melihat sosok yang kucari baru saja keluar dari sebuah ruangan. Setidaknya aku sudah melihatnya sebelum pergi. Aku bergegas masuk ke dalam mobil. Sekali lagi aku menatap ke luar kaca untuk memastikan. Dia menatap ke arah mobil ini.
Terima kasih untuk kalian semua yang sudah membantuku selama tinggal di sini. Semoga Allah mengganti dengan pahala atas apa yang sudah kalian lakukan padaku. Sekali lagi terima kasih. Aku tak akan melupakan kalian dan tempat ini. Aku janji, suatu saat nanti aku pasti akan ke sini lagi untuk bertemu dengan kalian.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro