1. Bae Jinyoung
ㅅㅇㅣ
Hal yang paling kubenci di dunia ini:
1. Pengkhianatan
2. Perpisahan
Masih banyak lagi tapi kedua hal itu benar-benar kubenci. Kurasa aku selalu berusaha menghindari hal-hal itu terjadi. Tapi apa daya, kehendak Tuhan. Takdir Tuhan. Aku tidak pantas bertanya pada Tuhan apa salahku sampai aku dihadapi situasi seperti ini. Salahku banyak. Dan justru mungkin masalah ini salahku. Bukan mungkin, memang salahku. Apa ini karma?
Kedua orang tuaku juga berpisah karena ibu berkhianat. Semenjak itu aku membencinya. Benar-benar membencinya. Ayah orang yang baik. Ayah sayang kami. Ayah tidak pernah membantah kata-kata Ibu, atau mengabaikan permintaan Ibu. Ibu bilang Ibu menyesal. Namun penyesalan Ibu tak lantas membuat Ibu kembali pada kami. Dia menikah lagi, dan akhirnya aku punya saudara tiri.
Bae Jinyoung. Kalian tau seberapa aku membencinya dulu? Semenjak dia lahir, aku selalu muak menatap wajahnya. Sampai-sampai saat dia bisa bicara, aku tidak sudi mendengarnya memanggilku noona. Namun, ketika Ibu tutup usia, aku menyesal. Karena tidak sempat bilang bahwa seberapa besarpun kesalahan yang Ibu buat, aku tetap menyayanginya. Ibu tetaplah Ibuku. Ayah bilang, untuk menebus semua rasa bersalahku, aku harus memperlakukan Jinyoung sebagaimana Ibu memperlakukanku. Ibu dan Ayah tiriku meninggal dalam sebuah kecelakaan. Jadi, hanya aku yang Jinyoung punya di dunia ini. Aku merawatnya sejak dia kecil bersama Ayah. Ayah kandungku yang berati Ayah tiri Jinyoung. Meskipun Jinyoung hasil perselingkuhan Ibu, Ayah tidak pernah memperlakukan Jinyoung dengan kasar. Bahkan membolehkan Jinyoung memakai marga kami.
Sama seperti Ayah, meski awalnya aku berlaku baik pada adikku karena terbayang-bayang rasa salah pada Ibu, aku sadar, Jinyoung saudaraku. Jinyoung lahir dari rahim yang sama denganku. Maka kubilang, ialah laki-laki terbaik setelah Ayah. Aku menyesal memperlakukannya dengan kasar saat ia kecil. Padahal ia hanya anak manis yang tidak berdosa. Tidak ada alasan bagiku untuk membencinya.
Aku masih dengan pendirianku, bahwa seorang Kim Taehyung adalah laki-laki terbaik setelah Jinyoung. Meskipun ia telah mengkhianatiku, tetap saja. Sebelum itu semua terjadi, Taehyung sempurna di mataku.
Dulu, kan? Sekarang, rasanya menatap wajahnya membuatku sakit. Awalnya aku tidak tau apakah aku mampu mempertahankan Taehyung, sekarang aku tau jawabannya.
Kami tidak bisa bersama lagi.
Aku tau, bukan hanya aku yang tidak sanggup, pasti Taehyung juga tidak ingin bersamaku lagi. Ia bilang ia bosan. Aku ingat sekali. Seperti kau mencoba mempertahankan istana yang kau bangun sekuat hati, namun saat kau lengah, kau tidak tau badai mulai menghancurkannya.
"Aku bosan. Sungguh, sejujurnya rasanya hampa sekali. Seperti kau tidak pernah ada lagi di sisiku."
Kalau boleh jujur juga, aku sakit hati sekali mendengarnya, Tae. Tapi kau tau? Aku minta maaf padamu. Karena memang hanya itu yang bisa kuucapkan. Rasanya hatiku mati rasa. Saking marahnya, aku tidak tau apa yang harus kuperbuat padamu. Menangis pun rasanya sulit. Kau benar-benar ya, Tae. Dari dulu kau paling pintar memporak-porandakan perasaanku. Mau senang, bahkan marah.
"Lalu saat-saat aku merasa hampa, Jennie datang. Memberi segenap perhatian yang kubutuhkan. Kuakui dia seperti menggodaku awalnya, tapi ia benar-benar baik padaku. Aku... kupikir aku mencintainya."
Sudah cukup. Aku tidak bisa mendengar hal-hal lainnya. Tae, kau jahat sekali. Kau bisa dengan mudahnya mengatakan semua itu padaku?
Aku... memang tidak pernah bisa menjadi seperti yang kau mau. Jadi untuk apa kita bersama lagi. Maka kubilang pada Taehyung, sebaiknya memang kita berpisah saja. Namun karena sialnya Jinyoung mengabariku kalau dia akan berlibur di sini sebulan maka aku memberi Taehyung syarat.
"Tolong perlakukan aku sebagaimana biasanya. Aku tidak mau Jinyoung tau kita akan berpisah. Kumohon, hanya 30 hari saja. Sebagai balasannya, aku juga tidak akan bilang apapun pada Ayah dan Ibumu tentang apa yang terjadi," kataku dengan tegas. Taehyung hanya mengangguk. Seolah dia sama sekali tidak mempermasalahkannya.
Asal kau tau, Tae. Aku juga benci bersikap seolah-olah tidak ada apa-apa. Hanya demi Jinyoung saja. Karena aku menyayanginya. Lihat saja, aku juga tidak akan pernah mencintaimu lagi, brengsek.
Tapi setelah memikirkan itu, aku dengan idiotnya menangis.
***
"Tae, kamu ingat apa yang kamu lakukan saat pertama kali kita pindah ke rumah ini?"
Taehyung memiringkan kepalanya berpikir. "Aku, menggendongmu dari pintu sampai ke kamar?"
Tidak, bahkan Taehyung menggendongku dari sudut rumah ke sudut lainnya. Dari kamar ke pintu utama atau ke ruang makan, dari ruang makan ke kamar. Entah apa alasan waktu itu dia melakukannya.
"Bisa lakukan itu lagi?"
Dia terkesiap. Permintaanku berlebihan ya?
"Kumohon, Tae."
"Kamu bilang apa sih, Joo? Aku akan melakukannya. Jangan memohon terus seolah-olah aku enggan melakukan ini dan itu." Taehyung berkata lembut. "Aku hanya terkejut. Kamu masih mau digendong olehku?"
Begitu aku sudah berada di dekapan Taehyung, aku menatap matanya lekat-lekat dan Taehyung membalasnya. Kulingkarkan lenganku pada lehernya erat-erat.
"Maksudmu apa? Ini demi Jinyoung." Kualihkan pandanganku ke arah lain. Karena aku bohong. Selain memang alasannya agar aku dan Taehyung terlihat baik-baik saja di depan Jinyoung, ini juga karena...
Karena aku merindukan Taehyung. Dekapannya masih sama. Hangat. Erat dan tak akan membiarkanku terjatuh. Harum tubuhnya, juga tidak pernah berubah.
Taehyung menggendongku menuju meja makan, ia sebenarnya sudah rapi dengan pakaian kerjanya. Sedangkan aku, aku memutuskan cuti. Selama Jinyoung berlibur di sini.
"Astaga apa-apaan ini? Dasar bayi besar. Kalian tidak ingat umur sekali. Untuk apa Hyung menggendong Noona seperti itu?" Protes Jinyoung. Aku tersenyum, meletakkan kepalaku di dada Taehyung.
"Biar saja. Kapan kamu akan punya pacar?" Balasku jahil. Aku pintar akting ya? Padahal rasanya aku ingin meledak dalam dekapan Taehyung. Entah karena marah atau senang?
"Sudahlah, noona. Turun, aku mual melihat kemesraan kalian."
Aku berhasil kan?
Taehyung menurunkanku pelan-pelan. Tidak berkata apa-apa. Tapi saat aku berjalan ke dapur, dia mengikutiku.
"Duduklah bersama Jinyoung, aku akan membuatkan sarapan. Kamu belum telat bukan?" Tanyaku, tanganku bergerak menyiapkan peralatan masak.
"Kamu tidak kerja?" Tanya Taehyung. Ku jawab singkat.
"Aku cuti." Tanpa menjelaskan alasannya. "Tunggu sebentar. Jangan lewatkan sarapan dariku hari ini. Duduk sana."
"Taehyung?" Taehyung malah memelukku dari belakang, erat. Entah apa maksudnya. "Tidak usah sampai seperti ini. Duduk saja sana."
"Aku tidak boleh memeluk istriku?"
Sumpah aku tidak mengerti apa dia sedang menggodaku atau apa. Kalau dia hanya bersandiwara seperti apa yang kita rencanakan, ini berlebihan.
"Badanmu kurus sekali, Joo," kata Taehyung lirih, tepat di telingaku. Dia jadi terdengar hampir berbisik saking lirihnya.
"Bahkan saat aku menggendongmu tadi, rasanya ringan sekali."
Aku tidak tau bagaimana menanggapinya. Benarkah aku menjadi lebih kurus? Hah, pura-pura aku tidak tau tentang diriku sendiri. Memang akhir-akhir ini, aku jarang sekali makan. Tidak nafsu. Aku bahkan lupa makan adalah salah satu kebutuhan harianku.
"Yak, apa kalian akan terus bermesraan sampai seharian ini?"
Suara Jinyoung memecah keheningan karena aku tidak menanggapi ucapan Taehyung.
"Hehe, aku dan noona-mu serasi sekali kan?"
Rasanya ingin kutampar mulutmu Tae. Untung saja. Hanya bisa kulemparkan senyum lebar saat ini.
"Ya ya aku tau. Dari dulu memang kalian serasi sekali. Jadi bisakah hentikan semua ini seolah-olah kalian baru berkencan dan buatkan sarapanku?"
Sebenarnya Jinyoung bercanda. Ia hanya pura-pura muak melihat kami. Padahal, ia selalu bilang ia senang bahwa seorang Taehyung hyung bisa menjaga Noona nya dengan baik. Memperlakukan dengan manis.
Haha, Jinyoung-a, kami juga pura-pura.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro