Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[TsNT4 - Egois]

Anggita

Semenjak tawuran hari itu, aku jadi lumayan dekat dengan Ruby. Dia asyik juga, sama seperti Ruben, hanya saja lebih cocok denganku karena, yah, kami sama-sama cewek. Kadang-kadang temannya Nala juga ikut, tapi tidak selalu. Seperti siang ini.

Ruben dan Dhimas sedang entah ke mana. Tadi sepertinya mereka dipanggil Herman, membuatku kesal setengah mati. Untung Ruby ada di sini, jadi setidaknya aku bisa mengomel-omel padanya. Aku memang ingin melarang Dhimas untuk menemui Herman, atau bahkan menghadapi Herman secara langsung, tapi aku tidak seberani itu.

Jangan salah. Para anggota KVLR berkata aku gadis pemberani. Tapi Herman jauh lebih garang dari yang berani kuhadapi, dan dia tidak akan peduli siapa lawannya—cowok atau cewek, tua atau muda. Dan dia kuat. Gerakannya terencana dan efisien. Kabarnya, dia pernah mengikuti kelas bela diri entah apa saat keluarganya baik-baik saja, tapi sejak ayahnya meninggalkannya, dia berlatih di jalanan. Dari sanalah dia mendapat kekuatan dan segala keburukan yang dia bawa untuk KVLR.

"Gue rasa," ujar Ruby sambil mengunyah bakso, "mereka bakal baik-baik aja. Toh ini di sekolah. Mereka mau ngapain sih?"

"Lo lupa mereka ngeganja di sekolah?" Aku memutar bola mataku. Waktu itu, aku berhasil menahan Dhimas—dia pun tidak mau terlibat urusan itu.

"Oh iya." Ruby terdiam. "Yah, gue yakin Ben udah nggak akan aneh-aneh. Awas aja. Nggak gue kasih duit lima hari mampus tuh orang."

Aku tertawa. Ruben kalah oleh uang. Memang dia sudah tobat, tapi untuk urusan uang, orang tuanya sepakat menyerahkannya pada Ruby. By jauh lebih bertanggung jawab ketimbang Ben, karena itu dia yang memegang kendali atas kartu ATM mereka.

"Nggak tau deh. Gue cuma khawatir. Herman bahaya."

Ruby termenung sesaat. "Semoga nggak terjadi apa-apa."

Aku hanya bisa menghela napas. "Dia ngejauhin gue. Gue bahkan nggak tau kenapa. Tapi dia mulai lagi. Rokok dan segala macemnya."

"Dhika ya?"

"Kayaknya." Aku mengaduk es jerukku. "Gue kayak orang asing buat dia."

"Mungkin dia emang butuh waktu untuk sendiri."

Perkataan Ruby memang ada benarnya. Mungkin aku saja yang terlalu khawatir. Terdengar egois bahkan di telingaku sendiri, tapi aku ingin jadi nomor satu yang dihubungi Dhimas saat dia kebingungan. Aku ingin jadi yang pertama mendengar kekecewaannya. Aku ingin jadi yang duluan menghiburnya.

"Omong-omong soal mereka," Ruby cepat-cepat menelan baksonya, "tuh."

Aku menoleh. Ruben dan Dhimas berjalan menghampiri kami. Wajah Dhimas memerah dan mukanya keruh. Bahkan aku bisa melihat pembuluh darah—atau apa pun itu—menonjol di dahinya.

Astaga. Apa yang terjadi?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro