Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[TsNT13 - Konfirmasi]

Anggita

"Dhimas mau masuk KVLR lagi?!"

Kabar mengenai hal itu sudah menyebar luas ke seluruh sekolah. Semua orang tahu kasus ketiga petinggi KVLR waktu itu—Ruben, Dhika, dan Dhimas—yang dijebloskan ke dalam penjara. Semua orang tahu Ruben dan Dhimas hengkang sementara Dhika tidak. Semua orang tahu Dhika sudah tidak ada. Semua orang yakin kalau Dhimas berniat menghancurkan KVLR, bukan memasukinya.

"Nggak mungkin," kataku akhirnya. "Dia benci KVLR."

"Tapi, gue denger dari Bima gitu," balas Nala. Fyi, Bima adalah pacar baru Nala—yang rupanya sudah move on dari Ruben semenjak mengira cowok itu gay—seorang anggota KVLR. Entah ada apa dengan obsesi Nala memacari bad boy.

"Ruben nggak cerita," Ruby menoleh padaku. "Hal-hal kayak gini, Ruben pasti cerita."

"Ada yang mereka sembunyiin." Aku berdecak kesal. "Heran, mereka kenapa nggak belajar sih."

"Cuma Dhimas," koreksi Nala. "Ruben keliatan nggak setuju soal itu."

"Perlu kita apain nih, Nggit?" tanya Ruby gemas. "Dhimas kebanyakan bergaul sama Ruben sih. Jadi idiot kan, cowok itu."

Aku menunduk. Iya, tidak perlu diingatkan kalau sekarang aku bukan siapa-siapa Dhimas. Tapi aku belum bisa move on. Aku masih selalu khawatir pada Dhimas, memikirkannya, dan mencari tahu apa saja yang dia lakukan. Dia memang kelihatan keruh akhir-akhir ini—selalu terlihat merencanakan sesuatu, memikirkan sesuatu. Aku menduga itu pasti cara melawan KVLR. Bukan memasukinya lagi.

"Hei, By," Ruben tiba-tiba berseru dari luar kelas. "Tolongin gue dong."

Dengan wajah sebal Ruby berjalan ke arah pintu. Dia sebenarnya tidak suka peran "ATM" yang diberikan orang tuanya, tapi dia tahu alasan di baliknya, jadi dia tidak bisa protes. Aku mengikuti Ruby, berharap bisa melihat Dhimas di luar. Duh, memang kalau ada Dhimas, aku mau ngapain?

"Apaan?"

"Minta duit," jawab Ruben dengan seringai lebar. "Gue laper banget, belum sarapan sejak pagi."

"Dasar idiot rakus. Lo kan makan tiga piring tadi pagi!"

"Menurut lo, gue nggak akan laper lagi siang ini? Punya otak dipakai dikit dong, biar nggak bego-bego amat."

"Gue ikut lo ke kantin. Lo mau ikut nggak, Nggit?"

Aku mengangguk, dan kami bertiga pergi ke kantin. Ruby menanyakan soal Dhimas dan Ruben mengonfirmasi hal itu. Ugh, kenapa aku masih peduli? Kenapa aku peduli apa yang Dhimas lakukan? Dia bukan siapa-siapa lagi. Dia sudah tidak punya peran dalam hidupku.

Tiba-tiba aku sadar, aku hanya berusaha mengelak fakta bahwa aku masih amat sangat menyayangi Dhimas. He's truly making me crazy.

Ruben ternyata betulan mau makan. Saat dia sedang memesan makanan, tiba-tiba saja, Dhimas menghampiri penjual yang sama dengan membawa sekaleng minuman bersoda. Dia tidak menggubris keberadaan kami—dia tahu persis kami ada di sini, dia hanya tidak mau menganggap kami ada.

Entah apa yang merasukiku. Saat Dhimas melakukan itu dan pergi begitu saja tanpa mengatakan satu kata pun pada kami, aku menyusulnya. Aku menariknya menuju salah satu tempat yang relatif kosong—di depan laboratorium yang selalu terkunci—dan menatapnya. Tepat pada kedua matanya.

Mata yang dulu menatapku balik dengan penuh kelembutan itu kini terasa dingin.

"Kamu pasti udah gila," desisku. "Balik ke KVLR? Kamu nggak inget Dhika?"

"Jangan sebut dia!" bentak Dhimas. Aku terpaku. Selama kami saling mengenal, dia belum pernah sekali pun membentakku. "Lo nggak tau apa yang gue rasain. Lo ... nggak, Git, kamu nggak akan paham."

"Tapi Dhim, kamu sadar nggak sih kalau kamu bukan kamu lagi? Kamu berubah. Kamu juga irasional, jadi ... jadi short-tempered, jadi gegabah."

Tatapan Dhimas melunak sesaat. Dia menunduk. "Dhika ... dia bukan hanya sahabatku. Dia udah kayak saudara buatku. Kamu paham, sekarang, kenapa aku jadi begini?"

"Tapi nggak harus dengan masuk lagi ke KVLR kan Dhim?" Suaraku terdengar begitu putus asa, bahkan di telingaku sendiri.

"Whatever it takes," Dhimas bergumam. Dia lalu mendongak. Tatapannya kembali membeku. "Sekarang, kam—"

"Well, apa gue mengganggu dua orang yang lagi pacaran? Ups, gue lupa, kalian udah putus kan ya?"

Aku berbalik. Herman menyeringai menatap kami. Tanganku mengepal di sebelahku, tubuhku terasa bergetar. Aku benci Herman. Sungguh benci.

Sepasang tangan besar dan hangat menangkup pundakku. Dhimas berbisik di telingaku, "Aku tahu apa yang kulakukan. Kamu jangan ikut campur."

Dengan kasar Dhimas menyingkirkanku dari hadapannya. Dia berjalan ke arah Herman. Firasatku buruk. Aku takut. Aku benar-benar takut.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro