2. Enigma Norega
2.
Enigma Norega
.
.
.
"Saya kira kalian udah menemukan solusi untuk memindah tangankan barang-barang di gudang sana ke buyers. Tapi, ternyata kalian malah bikin masalah baru."
Rega membaca sekali lagi laporan di atas layar tablet yang baru saja disodorkan Asistennya, Dara. Setelah memastikan bahwa informasi yang dia lihat bukanlah sebuah guyonan semata. Pria itu pun langsung mengunci pandangan tajamnya ke arah para peserta rapat yang terdiri dari dua orang perwakilan dari Tim Desain dan dua orang Manajer bagian Sales and Marketing milik perusahaannya—VER Fashion.
"Produk haute couture kita yang bakal diikutsertakan dalam ajang Paris Fashion Week lusa desainnya bocor? Hebatnya lagi dengan tempo 12 jam saja KW-nya udah ada di pasaran." Rega berbicara sebal, mengulangi penjelasan yang baru dibacanya.
Memerhatikan satu per satu wajah karyawannya. Pemuda yang telah lebih dari tujuh tahun ini menggantikan peran ibunya dalam mengurusi perusahaan turun-temurun yang bergerak dalam industri ritel fashion tersebut pun menghela napasnya kasar.
"Inilah kenapa VER selalu kalah langkah dari Cévo. Karena untuk hal-hal yang mendasar, kalian dengan gampangnya melakukan kecerobohan. Apa perlu saya tukaran karyawan sama Paradikta, hah?" berang Rega, bahkan saking jengkelnya pemuda itu sampai membawa-bawa nama pesaingnya yang selama ini selalu dia hindari namanya dalam segala kesempatan maupun pembicaraan.
"Pak Rega." Miko—Manajer Marketing yang sekaligus juga sahabat Rega—mencoba peruntungan guna menurunkan kadar emosional bosnya. "Gini, Pak—"
"Alasan." Rega menyerobot kilat. "Selalu saja kalian buat alasan ketika hal-hal yang merugikan udah terlanjur kejadian. Di banding berpikir soal alasan yang bakal kalian kasih ke saya mending juga kalian mikir gimana caranya supaya hal yang kayak gini jangan sampai terjadi."
"Sekarang, menurut kalian untuk apa VER jadi perusahaan Corporate? Buat apa kita punya Divisi A dan B. Kalau ujung-ujungnya masalah manajerial yang kayak gini masih sering kejadian dan terus-terusan kalian sodorin ke saya untuk saya beresin." Rega melipat lengannya di depan dada. Sementara sorot matanya tampak sedikit melunak.
"So, kalian kepikiran solusi seperti apa dalam menangani problem kita ini? Acara PFW lusa loh," lanjutnya bertanya.
"Em ... pertama kita bakal urus masalah hak cipta, Pak dan melakukan klaim bahwa itu karya kita. Selanjutnya, kita upayakan buat memblock peredarannya juga, Pak." Adalah Enriko dari Tim Desain yang mencoba menuangkan ide.
"Saya nggak yakin kalian akan berhasil saat udah berhadapan dengan barang-barang yang dijual secara bebas di internet begitu. Walaupun bisa, saya ragu jika itu dapat kita tindak lanjuti dalam waktu singkat.
"Gini deh, Tom sama Abel udah di Paris, kan? Kasih tahu mereka agar buat produk cadangannya sesegera mungkin. Usahakan setelah makan siang detail desain harus udah dikirim ke saya supaya bisa saya setujui dan lanjut mereka finishing secepatnya. Clear?"
"Siap, Pak." Empat orang dalam ruangan menjawab serempak.
"Oke. Semua orang selain Miko boleh keluar. Ah, tapi satu hal. Jangan sampai produk prêt-à-porter yang mau kita pamerkan di depan buyer dan trader nanti juga ikut-ikutan kesandung masalah. Kalau sampai hal itu kejadian, orang yang bakal saya pecat lebih dulu adalah kalian-kalian yang hadir dalam ruangan ini," ujar Rega bersama nada mengancam yang pekat.
Beberapa peserta rapat pun langsung berseru mengerti sambil mulai melangkah meninggalkan ruangan Rega sebelum pria itu mendadak kembali berkata, "Dan usahakan semaksimal yang kalian mampu untuk dapat membereskan problem desain bocor ini, oke? Meeting selesai. Selamat siang."
Selepasnya ruangan luas dengan dinding sewarna hitam-putih tersebut pun berubah senyap. Rega sendiri telah kembali duduk di atas kursi putarnya sementara, Miko tampak larut bersama ponselnya untuk sesaat sebelum akhirnya mendongak mencari sosok Sang Bos Besar pemilik VER Corporation.
"Bos ...? Lain kali kalau punya masalah rumah tangga tuh jangan dibawa-bawa ngantor dong. Nih, anak-anak pada ngomongin lo di grup chatting. Katanya, 'Bos kayak drakula. Bos kayak koala, Bos paling bisa bikin kita gila'." Usai mengudarakan kalimat tersebut Miko pun menyempatkan diri guna menggeleng-gelengkan kepala antara miris juga ingin tertawa.
Tentu saja. Meski mengolok-olok Rega adalah kegiatan yang terbilang cukup lumrah bagi karyawan VER. Namun, sejahil-jahilnya pria itu terhadap Norega dia tak akan sengakak orang lain bila sudah disuguhi oleh kalimat-kalimat cemoohan semi candaan yang kerap dilayangkan kepada sahabat satu SMA-nya tersebut.
Berdecak sekali, Rega lalu bertutur, "Ini bukan soal masalah rumah tangga atau apa, Ko. Yang gue pertanyakan adalah cara kerja kalian. Serius, gue nggak puas sama kinerja kalian. Dan sebagai wakil dari perusahaan, gue mau seenggaknya kalian profesional lah."
"Dan lo, Ko. Divisi arahan lo itu yang paling carut-marut tahu nggak? Jangan cuma jago ngehabisin budget saja lo buat promo tapi, hasilnya minus," sambung Rega sambil menuding Miko telak.
"Yaelah. Sebelum lo nyemprot gue, terangkan dulu tuh anak-anak produksi. Kenapa mereka selalu over produksi? Dikira kita dagang gorengan kali, dikata kita jualan perabot dapur yang bisa kita obral sepuluh ribu tiga, heh?
"Reg, Tim gue entah itu bagian Marketing dan Sales-nya. Kita udah jumpalitan siang-malam. Percaya, Bos, Tim gue masih berusaha dengan maksimal, oke? Target kita pasti dapat lah."
"Baguslah tapi gue jelas butuh bukti konkret dan paling penting perbaikin tuh komunikasi antar divisi kalian. Gue nggak mau masalah semacam ini terjadi lagi di masa depan. Ngerti?" ujar Rega.
"Siaplah, Bos! Tapi ... sepertinya kita ada sedikit lagi masalah nih, Reg," ucap Miko pelan seraya memandang Rega dengan mata yang menyipit.
Mengabaikan berkas-berkas yang sedang dicermatinya, Rega lalu melemparkan sorotan penuh morse kemuakan kepada lawan bicaranya.
"Apalagi? Kenapa seminggu ini yang rutin datang ke gue masalah melulu?" geram Rega frustasi.
Jelas sekali pria itu mulai kembali terbayang tayangan mengenai rentetan persoalan yang belakangan getol menimpanya. Tadi pagi saja, selain ban mobilnya yang bocor, dia juga harus menanggung malu hingga ubun-ubun karena mesti dibonceng Meta akibat ketidak lancarannya mengendarai sepeda motor.
Sial! Norega benar-benar sedang mengalami masa yang penuh dengan kesialan.
Terdengar berdehem lirih Miko kemudian berujar, "Em, sebelumnya gue mau minta maaf dulu yah, Reg?"
"Lebaran saja lo nggak minta maaf. Nggak usah berubah jadi makhluk sok kalahan gitu deh di depan gue. To the point, apa masalah yang lo maksud?" tukas Rega kian tak sabar.
"Ini ... soal Paris Fashion Week, Reg."
"Apalagi emang peristiwa yang lebih buruk dari kebocoran desain dan desain kita diplagiasi?"
"Rega ...?"
Pria yang baru saja namanya dipanggil oleh Miko pun tampak menanti bunyi kalimat utuh yang hendak Miko udarakan.
"Reg, bi-bisa nggak lo saja yang berangkat ke Paris?" kata Miko akhirnya walau sempat tersendat-sendat.
"Kenapa gue? Itu tanggung jawab siapa? Dan beberapa menit lalu gue baru saja nyinggung soal materi profesionalitas loh, Ko."
"Beneran, Reg. Maaf beribu maaf. Seandainya, gue nggak keburu janji sama orangtuanya Prita. Gue pasti berangkat deh. Lo sendiri, kan tahu entah itu ada banjir kek, entah itu lagi ada kisruh demo kek, entah itu pesawat gue delay seharian kek. Ujung-ujungnya gue bakal usahain berangkat tugas ke belahan dunia manapun.
"Tapi, sekali ini, please, Reg? Nggak gampang buat gue dapat kesempatan kayak gini setelah kami putus-nyambung terus selama lima tahunan ini. Ayolah, ya?"
Lumrahnya Rega tak sudi untuk mengalah dengan mudahnya bila beradu sifat keras kepala bersama Miko. Namun, melihat raut memelas di wajah sahabatnya tersebut yang termat jarang pria itu pertontonkan terhadap Rega. Membuat sulung Prakosatama itu merasa tak enak juga.
Maka, secara hati-hati Rega berusaha bertanya, "Ketemu orangtua Pritanya nggak bisa di hari lain? Nggak bisa diundur sampe sehabis Fashion Week?"
Miko menggeleng mutlak. Sedang ekspresi mukanya pun tampak tak mengalami perubahan berarti; sendu semi agak-agak tak berdaya. Meski seratus persen Rega meyakini bahwa mimik tersebut sengaja dipajang Miko hanya demi memancing belas kasihan dari diri seorang Norega Altriano Prakosatama.
"Ntar gue kena tikung, Bro. Saingan gue buat dapetin Prita tuh lumayan banyak. Lagian gue juga pengen kayak lo gitu cepat merit, punya tangan yang bisa gue gandeng-gandeng secara legal di manapun. Ya, ya tolonglah? Lo bisa potong gaji gue bulan ini deh. Terus kalau masih kurang, gue nggak perlu dikasih bonus kalau acara di Paris ini sukses. Oke?"
Bersidakep sambil memajang wajah sok berpikir, Rega berucap, "Gimana yah? Tapi gue belum tahu jadwal gue penuh apa nggak loh, Ko. Bisa saja—"
"Nggak! Lo longgar kok. Gue udah konfirm ke Dara. Seminggu ini lo nggak ada agenda yang urgent atau penting banget," potong Miko tanggap.
"Ya udahlah. Ntar gue hubungin Dara buat cancel beberapa jadwal gue," kata Rega berdeklarasi.
"Lo mau berangkat, Bos?" tanya Miko memastikan.
Rega praktis mengangguk singkat. "Asal lo nggak lupa sama omongan lo. Potong gaji yah? No bonus, oke?"
"Yaelah tega banget. Temen sendiri dimakan juga," komplain Miko merasa menyesali janjinya.
Mengangkat pundaknya ringan, Rega berlaku sok tak peduli.
"Siapin akomodasi yang gue butuhin, Ko," pinta Rega.
"Okelah. By the way, mau gue pesenin tiket buat berapa orang, Reg?" ujar Miko.
"Satulah."
"Lah? Lo nggak mau ngajak Meta?" tanya Miko heran.
"Kenapa juga gue harus ngajakin? Dia bukan karyawan kita dan nggak terlibat apa-apa sama VER. Lagipula gue pergi mau kerja bukan mau liburan," jelas Rega seakan-akan dia adalah makhluk yang paling benar sendiri dan tahu apa yang terbaik untuk dilakukan.
"Tapi ... serius? Ini Paris loh, Reg," ujar Miko mengingatkan kalau-kalau Rega lupa akan destinasi perjalanannya.
"Ya terus? Palingan ntar Meta iri kalau gue kirimin foto selfie di depan Menara Eiffel," bela Rega bertahan dengan tingkah cueknya. Yang sekaligus membuat Miko gusar sendiri.
"Lo yakin nggak apa-apa?" tegas pria yang tahun ini akan menginjak usia 31 tahun tersebut untuk ke sekian kalinya.
"Iyalah."
"Bukan lo nya. Maksud gue, lo yakin nggak apa-apa ke sana tanpa Meta?"
"Ko, Paris itu luas, oke."
"Nah, justru karena Paris tuh luas, Reg. Gue jadi khawatir."
"Ya udah. Kalau lo segitu takutnya, tinggal lo aja gih yang berangkat," simpul Rega sederhana.
"Yah kalau nggak terpaksa-terpaksa banget gini. Pasti gue juga bakalan berangkat kok, Reg," sahut Miko.
"Udahlah, Ko. Apa memang yang mungkin bakal terjadi di Paris dalam waktu 9 hari?"
"Tuh, kan gue malah jadi makin waswas."
"Enough, oke?"
"Ish. Tahu ah! Eh, makan siang lo mau makan apa nggak? Gue mau delivery ayam. Lo mau sekalian gue pesenin?" setir Miko mengalihkan topik obrolan yang rasanya sanggup membuatnya migren.
"Nggak."
"Jangan irit-irit kebangetan dong, Reg," komentar Miko yang telah hapal betul kebiasaan sahabatnya tersebut yang kerap mengamalkan asas hemat harta.
"Gue bukan lagi irit, Ko. Nanti Meta mau datang. Gue mau makan siang bareng dia," terang Rega menolak tuduhan yang baru saja dilemparkan Miko terhadapnya.
"Oh. Bagus deh. Adem dengarnya." Miko mengangguk-angguk puas seraya menggerakan kakinya untuk melaju ke arah pintu.
Merasa tak ada hal mendesak lainnya yang harus ia sampaikan kepada Rega selaku atasnya, Miko pun meniatkan diri guna mengeluari ruangan tersebut. Namun, baru saja tangannya hendak mendorong daun pintu, tiba-tiba pria itu teringat akan sesuatu.
"Reg?" Miko menoleh kembali ke arah Norega.
"Apaan lagi?" sambut Rega malas.
Menarik napas dalam Miko lanjut berucap, "Gue tahu lo jago untuk urusan menjaga hati. Tapi, yang harus lo ingat baik-baik adalah lo harus bisa jaga hati lo dalam wadah yang tepat. Ingat! Paris mungkin indah tapi, lo harus ingat juga buat pulang. Ingat kalau lo punya istri di rumah. Ingat program lo yang harus punya anak tahun depan. Jangan main-main ... apalagi sama hati."
"Berisik amat lo. Meta saja yang istri gue santai. Sana keluarlah!" usir Rega.
"Iyalah dia santai. Coba saja dia tahu apa yang lo sembunyiin di Paris," tukas Miko enteng.
"Keluar, Ko!" titah Rega yang lantas dibalas oleh bantingan pintu dari Miko.
Menumpukan punggung ke atas sandaran kursi. Rega mencoba mengatur napasnya yang agak sedikit tersenggal.
Nggak apa-apa, rapalnya dalam hati berkali-kali.
Benar. Paris merupakan kota dengan luas lebih dari 105 km². Ada sekitar dua belas juta penduduk di sana. Maka, bukan hal yang sulit tentunya untuk menghindar dari satu orang saja.
Semua akan baik-baik saja. Seharusnya, pikir Rega.
***
1. haute couture ( baju yang dibuat khusus untuk satu event )
2. prêt-à-porter ( baju siap pakai )
.
.
.
Ya ngono ae yo.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro