Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

A;A9-Sikap yang Sulit Ditebak

❝Tak perlu mendapatkan sesuatu yang mewah. Cukup dari perhatian sederhana, dampaknya saja sudah luar biasa.❞

•°•°•

KEBETULAN mata Avisha masih normal. Tidak ada rabun jauh atau rabun faktor usia. Oh jelas tidak! Avisha yakin matanya masih baik-baik saja. Dia memicingkan mata dan sepenuhnya yakin lelaki yang keluar dari kantor staf adalah cowok yang amat sangat dia kenali.

Tapi untuk apa cowok itu ada di sini?

Hanya orang-orang berkeperluan khusus yang keluar dari sana. Contohnya melakukan pembayaran administrasi, pelunasan bayaran bulanan, pendaftaran, atau hal-hal bersifat penting. Yang mencurigakan lagi, cowok itu kini tengah berbicara dengan Bu Feni, keliatan akrab.

Tunggu ... mereka saling kenal?

Saat cowok itu mengangguk dan tampak pamit, Avisha refleks mengikuti hingga keluar gedung les.

"Kak Arven!" panggilnya saat di area parkir. Yang dipanggil sontak menoleh, rautnya sedikit kaget ketika melihat Avisha walau semuanya kembali tertutup oleh wajah dinginnya.

"Kak Arven ngapain di sini?" tanyanya. Sedetik kemudian senyumnya terukir. "Oh ... Visha tau! Kak Arven, ngikutin Visha ya? Hayo ngaku?" Arven masih diam, memandangnya dengan delikkan. "Tuhkan, bener kak Arven tuh udah mulai suka sama Visha. Iya kan?"

"Sebelum lo ngomong gitu, seharusnya lo ngaca dulu di rumah!" Bukan saja tatapan, mulut Arven juga setajam pisau.

Avisha cuma cemberut sebagai respon. Kalau bukan karena misi pentingnya, Avisha sebenarnya malas meladeni manusia kaku ini. "Terus kak Arven ngapain di sini?"

"Nyari anak keong!" Asal saja, kemudian Arven berbalik hendak meninggalkannya, Avisha langsung menggunakan gerakan seribu untuk menghalangi jalannya.

"Serius Visha nanya!" Lalu dia tersenyum. "Kebetulan Visha les di sini."

"Gue gak nanya. Awas!"

"Kak Arven emang gak nanya, Visha cuma mau ngasih tau," seolah tatapan Arven cuma dianggap tatapan boneka lucu, Avisha tak terpengaruh, dan justru tersenyum makin lebar. "Nah kan karena Visha udah ngasih tau. Sekarang kak Arven ngasih tau Visha juga dong, ngapain ada di sini."

"Itu bukan urusan lo!" Arven melangkah maju dan karenanya Avisha bisa mencium aroma citrus menenangkan itu lagi. "Jadi minggir! Gak usah ganggu gue!"

"Ya ... ya ... ya, Visha udah tau kak Arven gak suka diganggu. Tapi Visha kan penasaran makanya nanya."

"Penasaran?" Arven menaikkan alis lalu detik berikutnya menundukkan wajah. Avisha sontak menahan napas karena hidung mereka yang nyaris bersentuhan. "Jangan penasaran sama gue ... kalo lo gak mau masuk kandang singa."

Setelah memporak-porandakan jantung Avisha, manusia es itu berjalan menuju mobilnya. Cepat-cepat Avisha menarik dirinya sadar lalu menoleh.

"Kak Arven bawa mobil?"

Tidak ada jawaban.

"Kak Arven gak mau nawarin Visha?"

Kali ini Arven baru mau menoleh. "Apa?"

Avisha mendengkus. "Masa kak Arven gak ngerti sih, Visha ditinggal sendirian gitu di sini. Tawarin pulang bareng kek."

"Lo mau pulang bareng gue?" Entah pertanyaan itu untuk memastikan, atau memang benar tawaran. Walau begitu tetap saja, mata Avisha berbinar mendengarnya.

"Jadi boleh?"

"Gak!" Usai itu Arven berjalan masuk ke dalam mobilnya, membuat Avisha ternganga di tempat. Melihat mobil Arven mundur keluar dari sela parkiran.

Dada Avisha merasa panas. Dia Kesal! Kesal! Kesal! Dia pikir Arven benar-benar menawarkannya pulang. Cih! Seharusnya Avisha sadar manusia es, manusia kulkas, manusia kutub itu, tidak mungkin murah hati menawarkan pulang seperti cowok normal lakukan.

Arven kan tidak normal. Cowok dingin, yang sok, menyebalkan! Ketua osis sombong! Cowok ...

"Naik!"

Avisha mengerjap kaget. Musnah sudah segala umpatan yang dia tujukan pada Arven saat melihat mobil cowok itu berhenti tepat di depannya dengan sebelah kaca terbuka.

"Apa?" Avisha masih belum mengerti.

"Lo mau pulang kan?" Wajah dinginnya masih tampak jelas di dalam mobil. Ingin rasanya Avisha bisa memukul muka datarnya itu. Tapi jelas kesenangannya ini mengalahkan kejengkelannya beberapa detik lalu.

"Ini seriusan?" Avisha ingin memastikan lagi.

"Naik! Atau gak sama sekali!"

"Heh!" Avisha kaget dan refleks memutari mobil Arven menuju bangku sebelah setir. Setelah duduk manis, dia menoleh pada Arven dengan cengiran, menunjukkan dua gigi kelincinya. "Ternyata kak Arven bisa baik juga ya."

"Lo cukup diam, gak usah banyak omong!" Itu jelas perintah membuat Avisha menutup bibir rapat-rapat.

•••

Tapi Arven rupanya lupa, seperti apa itu makhluk bernama Avisha Pratista. Cewek berponi dengan mata bulatnya itu menganggap perintah dinginnya cuma sebatas suara bebek yang dianggap tak penting.

Sepanjang jalan ada saja ocehan yang keluar dari bibir kecilnya. Bercerita banyak hal yang menurut Arven tidak berfaedah. Dari cerita tetangganya yang suka mengomel-omel sendiri. Satu anak kelincinya yang kecebur di selokan hingga yang awalnya bewarna putih menjadi hitam. Lalu juga ikan peliharaannya yang mati karena keracunan kamper.

Bahkan otak Arven nyaris meledak saat cewek itu bilang, "Kak Arven Visha mau nanya, maaf nih ya sebut merek, kenapa silverqueen itu jadi merek cokelat? Heran gak? Silverqueen kan artinya ratu abu-abu. Seharusnya nama mereknya tuh diganti jadi chocolatequeen, baru nyambung."

Cukup Zion sahabatnya yang membuat Arven selalu pusing tujuh turunan, kenapa harus ditambahkan makhluk semacam ini.

Dia menghentikan mobilnya di pinggir jalan.

"Kenapa berhenti kak?"

"Lo diam atau turun di sini?!"

Avisha terbelalak kaget. "Kak Arven jahat dong kalo gitu, masa tega turunin Visha di jalanan. Visha ..."

"Kalo lo gak mau, berarti lo harus diam."

Cewek berponi itu memanyunkan bibir. "Mulut Visha tuh emang gini, gak bisa diem. Lagian kak Arven dari tadi mingkem aja, kayak orang gagu. Ngomong gitu, kan gak enak diem-diem aja, emang lagi mengheningkan cipta."

"Tinggal diam apa susahnya sih!" Arven mulai kesal.

"Gak bisa, Avisha gak punya remot kontrol buat berhentiin mulut Visha. Mungkin kak Arven punya saran?"

Arven mengembuskan napas perlahan. "Kebetulan di dashboard ada lakban, lo bisa pake itu!"

Raut Avisha sedikit berubah mendengarnya, sebelum berganti dengan tatapan kesal. "Masa mulut Visha ditutup lakban."

"Atau pake cara lain?" Arven mencondongkan tubuh, Avisha sontak memelotot dan refleks menutup mulutnya dengan kedua tangan.

"Kak Arven mau ngapain?! Jauh-jauh!"

Arven mendengkus mendengar kesimpulan Avisha yang justru melayang jauh. "Pikiran lo yang terlalu jauh!" Pelan, dia mendorong kening Avisha, membuat cewek bawel itu cemberut disusul menjauhkan tangan dari mulut.

Sementara Arven kembali duduk seperti semula lalu mengemudikan kembali mobilnya.

"Kak Arven emang gak capek gitu, bibirnya rapet aja. Visha nih ya, lima menit disuruh tutup mulut, Avisha gak bisa, gak enak gitu rasanya."

Arven tak menghiraukan.

"Tapi gak pa-pa sih, kata Mama setiap orang beda-beda."

Untuk kali ini, Arven terdiam. "Mama lo bilang gitu?"

Avisha mengangguk. "Mama bilang, Visha gak boleh nyama-nyamain orang. Sifat orang beda-beda, jadi harus maklum kalo ada orang yang bersifat buruk atau baik. Sifat buruk itu sebenernya gak ada, cuma pola pikir orang-orang aja dan karena faktor masalah lingkungan atau keluarga."

Beberapa saat Arven bungkam, sebelum senyum sinisnya terangkat. "Tapi gimana kalo lo udah berusaha terlihat baik, tapi masih aja dianggap buruk?"

Yang cewek menoleh langsung. Bingung. "Mungkin karena mereka gak tau." Avisha memiringkan kepala, menyimpulkan. Lalu melanjutkan, "Kak Arven emang ada masalah?"

"Masalah gue itu lo!" Arven kembali memasang tembok tinggi. Tak ingin orang mengetahui apapun tentang hidupnya.

Avisha mendengkus. "Sekarang kak Arven bisa bilang Visha masalah, tapi gak tau ke depan nanti kan?" Dia begitu percaya diri.

"Gak usah ngehayal tinggi."

"Kita liat aja." Avisha senyum percaya diri.

Arven tak ingin memperpanjang lagi obrolan itu. Mengabaikan Avisha sepenuhnya dan memilih fokus pada jalan. Tapi kemudian beberapa detik setelahnya, terdengar bunyi perut keroncongan. Arven sontak menoleh, melihat Avisha meringis sambil memegang perut.

"Visha laper," adunya seperti anak kecil. "Kita mampir makan dulu yuk kak Arven?"

"Gak!"

"Ih bisa bilang selain kata 'gak' nggak sih?!" omelnya. "Ayo dong, kak Arven. Visha laper."

Arven rasanya ingin mengacak rambut saking frustasinya. "Ribet!"

"Ya udah deh kalo emang gak mau, cepetin aja ini mobilnya! Biar Visha bisa cepet sampe rumah!" Bak majikan, dia memerintah Arven begitu saja. "Heran deh Visha sama kak Arven, baiknya sebentar doang terus ..."

Avisha kaget saat mobil bergerak ke pinggir jalan dan berhenti, lalu kaca sampingnya terbuka tiba-tiba. Lebih kaget lagi saat Arven mecondongkan tubuh ke arahnya, hingga Avisha harus memundurkan tubuh ke belakang agar terciptanya jarak.

"Bang," Avisha menoleh, melihat gerobak tukang jajanan yang berada di samping mobil. "Roti bakarnya seratus ribu!"

"Hah?!" Avisha dan pedagangnya sama-sama kaget.

"Buat apa?" Avisha yang bertanya.

"Biar lo berhenti ngoceh," Arven menjawab datar.

"Itu serius mas ganteng?" Pedagangnya tak percaya. "Gak kebanyakan?"

"Buatin aja!"

Abang rotinya tentu mengiyakan saja. Untung-untung mendapat rezeki nomplok dadakan. "Mau rasa apa aja nih mas?"

"Apa aja, kecuali selai stroberi."

Avisha mendongak, memandang Arven dari samping. Niat bertanya, tapi Arven sudah lebih dulu menjawab kebingungannya. "Lo yang bilang."

Tanpa bisa ditahan, senyum Avisha mengembang. Siapa sangka walau berwajah datar dan tampak tak peduli, ternyata Arven mendengarkan deskripsi dirinya yang pernah dia ucapkan.

Arven ingat dia alergi stroberi. Sebatas itu, tapi entah kenapa Avisha senang.

•••

Di salah satu perumahan mewah Jakarta, Arven menghentikan mobilnya. Di depan sebuah gerbang beornamen kayu cokelat jati.

"Inget ya kak Arven nomor rumah Visha, itu tuh nomor empat puluh tiga. Gerbang kayu."

Arven menoleh pada Avisha yang tak berhenti tersenyum. "Buat apa gue inget rumah lo?"

"Kali aja gitu kak Arven mau jemput Visha, ngajak Visha jalan."

"Mending lo turun sekarang."

Avisha tak mendengarkan, tersenyum makin lebar. "Makasih ya buat roti bakarnya, masih banyak banget ini, Avisha gak yakin bakal abis. Tapi mungkin bang Darlan mau makan nanti."

"Terserah lo," Arven malas meladeni. "Sekarang turun."

"Iya-iya ini mau turun!" Avisha mendengkus. Hendak buka pintu tapi mengurungkan niatnya. "Kak Arven gak mau mampir?"

"Gak usah pake penutupan, langsung turun aja!"

Avisha mencibir kesal. Dia heran, Arven itu terkadang bisa membuatnya melambung walau tak dipungkiri lebih banyak menjatuhkan. Seperti sekarang, Avisha memutuskan untuk turun juga akhirnya.

Saat dia baru ingin melambaikan tangan, mengucapkan terima kasih, mobil sudah berlalu dari pandangannya. Avisha ternganga.

"Beruang kutub!" teriaknya kesal ya walaupun tidak ada yang mendengarkan. Tapi kekesalan begitu saja musnah saat melirik kantong plastik di tangannya, senyumnya justru mengembang.

"Ih Visha tuh kesel sama kak Arven. Kenapa sih baiknya tuh sebentar-sebentar, lebih banyak ngeselinnya! Kalo kayak gini kan, Visha bingung mau milih suka atau enggak!" Dia mendengkus dengan senyumnya. Kemudian dia melangkah ke dalam rumah.

Ketika di ruang tamu, dia melihat Darlan yang berniat keluar. Pakaiannya tampak rapi.

"Eits," Darlan menghentikan langkah saat melihat adiknya tengah melangkah girang. Senyumnya mengembang tanpa alasan. "Kenapa lo? Kebanyakan minum soda gembira?"

Avisha menghentikan langkah, tanpa menghiraukan perkatannya, dia memberikan kantong plastik di tangannya. "Bang Darlan mau?"

"Apaan tuh?" Pandangan Darlan menyipit curiga. "Ogah, entar ada cicaknya di sana, lo pasti mau ngerjain gue!"

"Bang Darlan negatif mulu nih pikirannya!" Avisha kesal. "Ini roti bakar, serius sumpah, kalo boong Visha bakal tinggi tiba-tiba."

Darlan masih memandangnya tak yakin.

"Mau gak? Kebetulan tadi Visha udah makan satu potong yang panjang dan masih ada banyak banget."

Darlan akhirnya mengambilnya. "Awas lo kalo boong, gue doain lo gak bakal tinggi-tinggi!" Avisha memelotot. "Lumayan lah ya, gue gak perlu ngeluarin duit buat beli pizza. Oh ya lo dapet dari mana?"

Ditanya begitu, Avisha senyam-senyum. Membuat Darlan berpikir adiknya mungkin memang kesambet kunti girang di jalan.

"Kepo bang Darlan!" Setelahnya Avisha meninggalkannya begitu saja, berjalan menuju kamar.

Setibanya dia di kamar, Avisha mengambil ponselnya yang tengah dicas di meja. Lalu tanpa mengganti baju lebih dulu, dia berbaring tengkurap di ranjang, hendak menceritakan semua kejadian hari ini pada Yania.

"Halo, Sha! Kebetulan banget lo nelpon!" Padahal Avisha belum menyapa sama sekali, Yania sudah dulu berbicara tanpa basa-basi.

"Emang Yaya mau nelpon Visha tadi?"

"Iya, sebenernya gue mau nelpon lo, tapi lupa karena kebayang mukanya kak Regha terus pas pertemuan ekskul fotografi tadi." Terdengar helaan napas panjang Yania yang dilebih-lebihkan, membuat Avisha sebal.

"Gimana pertemuannya tadi?"

"Itu yang mau gue ceritain, Sha." Yania seperti heboh di sana. "Lo yakin nih gak mau ikut ekskul fotografi?"

"Yakin!" Tanpa berpikir pun Avisha sudah tahu jawabannya.

"Serius?"

"Emang kenapa sih?!"

"Nih ya, Sha. Kayaknya setelah gue kasih tau soal ini, lo pasti langsung mau masuk ekskul fotografi." Yania terlalu berbelat-belit, membuat Avisha bingung. "Dengerin gue, Sha ... Kak Arven itu ... ternyata ... anak ekskul fotografi!"

Avisha terbelalak kaget. "Boong Yaya nih?!"

"Ngapain sih gue boong sama lo!" Yania balik mengomel. "Kak Arven itu anak fotografi sama anggota basket. Cuma karena sibuk di osis, dia jadi jarang ikut kumpul pertemuan ekskul. Apalagi dia udah kelas dua belas, beberapa bulan lagi dia sama kak Regha dibebasin dari tugas ekskul."

"Nah kecuali," Yania sengaja menggantungkan. "Kewajiban ikut serta saat pengambilan dokumentasi, kayak jalan-jalan gitu, Sha, kak Arven tetep diwajibin ikut, buat ngambil beberapa foto dokumentasi mading."

"Avisha gak ngerti sama penjelasan Yaya."

"Pokoknya intinya, setiap tiga bulan sekali, ekskul fotografi itu jalan-jalan buat ngambil potret gambar pemandangan gitu. Nahkan kalo lo ikut ekskul fotografi, lo ada kesempatan berduaan sama kak Arven pas jalan-jalan. Bener gak?!"

Avisha tersenyum lebar mendengarnya. Mungkin itu bisa dipertimbangkan. Kemudian seperti tertimpuk sepatu tepat di kepala, Avisha teringat sesuatu yang membuatnya syok di tempat.

"Biola Visha!"

•••

Yah ketinggalan kan. Ceroboh banget sih, Sha ;(

Manis-manis ketus gitu ya, Ven :((

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro