Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

A;A83-Perpisahan

Bsok aku lngsung kirimin untuk extra chapternya. Mohon maaf ya, bagi yg gk follow aku, gk prnah komen, trus vote aja gk prnah, mungkin untuk extra chapternya gk aku kirimin :(((

Aku buat extra chapter ini buat berterima kasih sama orng2 yg susah2 komen atau pun vote. Apalagi yg follow aku. Aku thanks banget Ama mereka❣️❣️🌹

Sebelum kita berpisah di part ini, astaga lebay banget kayaknya wkwkwk

Tolong vote dan komen ya, harus serame-ramenya. Wajib, gak mau tau :)))

SUDAH sejak dua hari lalu, Avisha keluar rumah sakit. Sebenarnya dia masih harus berada di sana untuk memastikan bahu belakangnya baik-baik saja. Tapi Avisha memaksa. Dia sudah tak tahan. Cuma pusing yang ada karena terjebak oleh ruang putih yang menyebarkan bau menyengat.

Bukan itu saja, kekosongan selama di sana berkali-kali lipat lebih menyakitkan dia rasa.

Mamanya telah menggantikan perban di bahunya beberapa saat lalu. Yang tak lama Mbak Tia mengantarkan nampan berisi makanan. Mbak Tia memaksa untuk menyuapinya yang tampak ogah-ogahan melihat piring di sana. Tapi, Avisha lebih keras menolak hingga Mbak Tia kembali meninggalkannya sendiri.

Pintunya terketuk lagi membuatnya menghela napas kasar karena waktu sendirinya lagi-lagi harus diganggu. "Mbak Tia apa lagi ..." Begitu saja bibirnya terkatup karena jelas bukan Mbak Tia yang datang melainkan Yania bersama totebag yang santainya masuk tanpa dipersilahkan.

"Gue bawa es krim goreng kesukaan lo," Yania meletakkan totebagnya di atas nakas samping ranjang tidurnya. Bahkan anak itu menaiki ranjang menyuruhnya bergeser lalu setengah berbaring di sebelahnya. "Perban lo udah diganti?"

"Baru aja," jawabnya yang dibalas oh panjang oleh Yania. "Yaya kenapa?" Melihat raut sahabatnya yang tampak emosi yang mungkin berusaha ditutupi, Avisha tak mungkin tak bingung.

"Gue sakit hati," ucapnya sambil memangku boneka kelincinya. "Gue masih gak nyangka tau gak sih, Ilona ternyata sejahat itu." Dan kali ini, perempuan berambut sebahu itu mengusap sudut matanya yang tiba-tiba berair. "Kenapa dia bisa lakuin itu ke sahabat sendiri. Tega banget."

Avisha tak bisa berkomentar apapun karena dia sendiri pun tak percaya pada itu. Orang yang selama ini menerornya ternyata orang yang sangat dekat dengannya. Orang yang selalu ada di sampingnya. Sahabat yang begitu dia sayangi sampai tak pernah terpikirkan olehnya sedikit pun jika Ilona bisa melakukan itu padanya.

"Visha gak tau," gumamnya pelan. Karena secara menyakitkan, dia yang ditikam dari belakang. Begitu kejam hingga rasanya dia bisa saja tak mempercayai orang lagi.

"Harusnya ya dia cerita kalo punya masalah di rumah, kenapa cuma kita yang selama ini cerita ke dia."

Tapi untuk membenci Ilona Avisha tak bisa. Seperti yang Yania katakan, dia sekarang mengetahui permasalahan Ilona dengan keluarganya. Cewek itu ditekan habis-habisan oleh sang mama. Dibanding-bandingkan dengan sang kakak. Hingga dia bertemu dengan lelaki yang ternyata adalah Arven. Dia menyukai Arven, tapi Avisha mengambilnya.

Entah siapa yang salah di sini. Avisha bahkan bingung harus mana dulu yang dia tangisi. Dia kecewa, tapi dia merasa bersalah.

"Ilona suka kak Arven, Kak Shilla suka kak Arven," Banyak hal yang Avisha pertimbangkan untuk akhirnya harus melepaskan cowok itu. "Kak Arven emang cowok hebat kan? Siapa yang gak mau sama kak Arven. Mungkin kalau dijejeran sejuta cewek Avisha cuma orang kesekian yang sama sekali gak ada apa-apanya."

"Sha," Yania menyentuh lengannya.

"Visha gak ada apa-apanya dibanding kak Arven." Padahal Avisha berharap jika tangisannya bersama Arven dua hari lalu adalah yang terakhir tapi nyatanya pertahanannya tak sekuat itu.

"Lo yakin mau ngelepasin kak Arven?" Jangan tanyakan itu, Avisha bahkan tak tahu jawabannya. "Gue yakin deh, kak Shilla gak apa-apa kok lo sama kak Arven. Dia kan kakak lo, pasti dia bahagia kalo liat adeknya bahagia."

Avisha menoleh, menatap Yania yang senyum meyakinkan. Sahabatnya itu sudah mengetahui semua permasalahannya. Bukan cuma tentang Ilona, tentang penculikkan kemarin, siapa dalangnya, fakta tentang kakaknya, alasan tangannya yang terluka hingga dia berakhir koma di rumah sakit. Yania tahu, walau tidak benar-benar semuanya, Avisha lega karena bisa menceritakan itu akhirnya.

"Masa lalu Visha kebanyakan berkaitan sama kak Arven. Visha mau lupain itu."

"Kenapa lo mikir kalo lo gak bisa lupain masa lalu lo kalo masih sama kak Arven?" Sebab Avisha tak mau terjebak lagi. "Sha, gak semua masa lalu itu jadi penyakit kan? Bisa aja dia jadi obatnya."

"Tumben Yaya bisa bijak gitu."

Perkataan Avisha tentu merusak keadaaan. Yania jadi refleks tertawa, terasa menggelikan sendiri karena mengucapkan kalimat barusan. "Lo harus tahu satu hal yang gue sembunyiin selama ini."

"Soal apa?" Avisha mengernyit bingung karena selama ini jelas dia mengetahui apapun tentang Yania. Sangat tidak mungkin Yania menyembunyikan sesuatu darinya pun sebaliknya.

"Nata," ucapnya yang membuat Avisha mengernyit. "Gue suka dia, Sha." Matanya membesar syok karenanya. "Gue suka Nata. Sttss!" Yania membungkam mulut Avisha dengan telapak tangan. "Gue gak mau lo komen apa-apa. Gue lepasin Nata, karena gue tau dia suka lo, Sha. Dia sukanya sama lo."

Ada jeda lama di sana.

"Dan gue mikir, kalo kak Shilla masih ada, dia pasti bakal ikhlasin kak Arven buat lo, karena jelas kalian berdua saling sayang. Dia ngerasa jadi perusak, Sha kalo lo beneran lepasin Arven cuma karena dia. Mana mungkin dia suka jadi perusak kan?"

Sekarang Avisha terlalu banyak mengetahui fakta, dan jelas dia bingung bagaimana menyusun katanya.

"Ya, kita berdua tau, lo sama kak Shilla gak pernah ketemu. Tapi, semua orang tau, Sha. Gak ada satupun kakak yang mau nyakitin adeknya."

•••

Pepohonan sekitar menjulang begitu lebat dan tinggi. Tidak ada cahaya yang menemani. Tampak hampa sekaligus menyeramkan. Cuma sinar bulan yang diandalkan sebagai penerangan.

Avisha sangat yakin jika dia terjatuh di dunia mimpi. Lagi. Dia tak dapat menemukan apapun di sekitarnya selain pepohonan. Namun, untuk detik berikutnya dia tersentak melangkah mundur.

Dia merasa de javu. Tapi jelas, di tempat berbeda.

"Kak Shilla?"

Dan sama, Ashilla tersenyum meresponnya.

Avisha berani bertaruh kalau sekarang dia terjebak di dunia tidurnya sendiri. Apalagi saat kakak kandungnya itu menyentuh lengan Avisha. Menunjukkan padanya gelang yang tersemat di pergelangan tangannya.

Begitu saja, Avisha jadi kehilangan kata.

Itu gelang berbandul biola yang Arven berikan.

"Itu gelang aku," ucapnya membuat Avisha mendongak cepat. Memandang Ashilla yang ikut menatapnya dengan senyum samar.

"Visha bisa lepasin."

"Gak," Ashilla menggeleng, menahan gerakannya. "Kamu bisa simpen."

"Tapi," Avisha merasa bersalah. "Ini harusnya jadi punya kak Shilla bukan punya Visha."

"Mm, iya kalo Arven ngasih ke aku saat itu," jelasnya yang bisa Avisha tebak kapan waktu yang cewek itu maksud. "Tapi, Arven ngasih kamu. Arven lebih ngasih hadiah itu ke kamu."

Tempat kosong dengan pepohonan tak membantu Avisha sedikit pun. Dia merasa aneh, bulu kuduknya meremang dan jantungnya pun selalu berdegup makin kencang.

"Harusnya kamu udah bisa nemuin jawaban dari itu," Avisha mengernyitkan dahi tak mengerti. "Arven ngasih hadiah di hari pertama kalian ketemu. Dibanding ngasih ke aku, dia malah milih kamu."

Memang lama, tapi lambat laun otaknya mengartikan maksudnya. Dan pada jawaban di kepala, Avisha terkejut sendiri.

"Gelang itu bukti kalo sejak awal dia milih kamu, bukan aku." Avisha terdiam lama sampai tersentak karena gelangnya yang ditarik Ashilla hingga terputus. "Tapi, kamu jahat karena nyia-nyian Arven. Kamu ngelepasin orang yang bener-bener sayang kamu."

"Gelangnya ..."

"Kamu ngerelain Arven karena aku? Itu kesalahan besar, Sha." Avisha syok parah karena gelangnya rusak di genggaman Ashilla. Sebelum detik berikutnya bagai debu Ashilla lenyap di depannya. Avisha kegelagapan mencari. Berteriak-teriak memanggil-manggil Ashilla yang cuma angin dingin meresponnya.

"Gelangnya ..." Dia menggeleng. Kehilangan kendali. Karena gelang yang begitu berharga baginya hilang entah kemana. "Gelangnya jangan. GELANGNYA!"

Avisha terbangun dengan napas tak terkontrol lagi. Jantungnya berdebar-debar begitu kencang. Lalu tanpa memikirkan itu dia langsung beringsut dari kasur dan mengecek gelang yang dia simpan di laci.

Hela napasnya terdengar di hening kala menemukan benda itu masih baik-baik saja di sana. Bersamaan itu, dia bisa melihat ponselnya yang berbunyi sekali di atas laci.

Pada layar yang menyala memunculkan notifikasi. Dia membeku di pijakan. Dan tangannya refleks memegang ujung laci. Bukan sakit di bahunya yang masih terlilit perban dia rasakan, tapi pesan di ponselnya jelas mengguncangnya hebat.

•••

Arven entah harus marah, malas, atau justru bergembira. Untuk mengekspresikan suasana hati, dia merasa kebingungan sendiri. Niatnya untuk merenung tanpa gangguan justru tak terencana karena kedua sahabatnya yang menerobos paksa ke dalam apartemennya.

Yang membuatnya tak habis pikir sebab dua orang itu juga membawa Retta dan Linzy bersama.

"Mau apa lo semua?" Tentu tak ada nada ramah pada kata sambutan itu.

"Mau party-lah." Zion melangkah santai hendak masuk, yang Arven tahan begitu saja.

"Dengan bawa balon banyak gitu?" Arven tak lebih heran lagi. "Otak lo makin geser ya, di sini gak ada party, apalagi party anak-anak TK!" sindiran tajamnya cuma dibalas senyuman oleh Zion.

"Oh jelas, bukan balon doang sih, nih," Zion juga menenteng tas besar di tangan kiri. "Isinya hias-hiasan gitu, mau dipasang sekalian? Kan apartemen lo jadi imut nanti."

"Lo mau gue tusuk balonnya satu-satu?"

"Gini-nih kalo anjing udah gak ada pawangnya. Galak!"

"Terus lo apa? Maknya anjing?"

Zion memelotot yang terkejut kemudian karena Regha yang mendorongnya. "Udahlah ya, gak sehat berantem mulu. Lagian niat kita semua baik, Ven, pengen ngehabisin waktu bareng lo."

"Iya, Ven," Sahut Retta senyum. "Kita cuma mau kasih kenangan bahagia buat hari terakhir lo di sini."

"Gak apa-apa lah Ven, kan jarang-jarang." Linzy ikut menyahut.

"Omongan kalian seolah gue udah siap mati aja."

"Oh, Tuhan terlalu males ladenin lo," ledek Zion. "Stress dia pasti kalo bawa lo sekarang."

Dibanding makin pusing meladeni Zion, Arven cuma membuka pintunya lebih lebar. "Silahkan, lakuin sesuka kalian."

Dan sudah hampir berjam-jam lamanya, Arven justru tak merasa salah menerima perayaan bodoh yang sengaja mereka buat. Bahkan semua sudah mereka persiapkan dan Arven tak perlu melakukan apapun.

Sejujurnya dia menunggu detik demi penyesalan itu datang karena kedatangan mereka. Namun, justru rasa asing yang begitu nyaman yang datang. Rasa yang sudah lama dia rasakan. Sesuatu yang harusnya dibenarkan dan dia lakukan sejak dulu.

Begitulah besarnya pengaruh Zion dan Regha, meski berisik dan merasa terganggu, Arven malas akui yang sebenarnya dia membutuhkan itu. Dia membutuhkan mereka. Hidupnya tak mampu ditopang sendirian tanpa siapapun.

Contohnya sekarang. Saat dia bermain ps di ruang tamu bersama Zion, kalau ada kaos kaki bau rasanya dia ingin menyumpal mulut Zion dengan itu.

"Gak usah ngecheat lo anjir!"

"Sok pinter lo!" Yang Arven sahut 'gue emang pinter' dengan sombongnya.

"Anjir! Anjir itu jagoan gue, Ven!"

"BANGSATLAH! CURANG LO—AW!" Zion jadi mengaduh sesaat setelah Regha melemparkan kaleng soda yang kosong ke arah cowok itu.

"Berisik lo!"

"Zi!" rengek Zion menendang-nendang karpet berbulu yang dia duduki. "Aku dijahatin sama sepupu kamu. Sakit ini!" adunya saat Linzy kembali dari dapur membawa makanan.

"Mampus!" Linzy memang tidak bisa manis pada cowoknya sendiri. "Siapa suruh! Berisik banget maen game doang!"

Regha tergelak yang kemudian mengernyit sendiri. "Lo masak?"

"Sebuah keajaiban Linzy masak, hancur yang ada dapur Arven entar." ini Zion yang menyahut yang langsung mendapat lemparan kaleng lagi. Kali ini Linzy yang melakukan setelah meletakkan makanan yang dibawa.

Retta datang tampak kesusahan yang sigapnya segera Regha bantu.

"Ta-da gue buatin Pizza maccaroni, terus ada chicken crispy, kentang goreng, dan yang Linzy bawa itu spagetti bayam."

Regha mencium pipi Retta yang mendapat seruan malas orang-orang di sana. Terutama Zion dan Linzy. "Idaman banget emang."

"Apa sih, Gha!" Retta memukul bahu cowoknya merona.

Arven cuma menatap diam makanan yang sudah disusun di atas karpet. Sengaja mereka menggeser mejanya. Katanya lebih enak makan lesehan seperti ini. Tapi, bukan itu yang membuatnya tertarik melainkan fakta jika pasti lebih lengkap kalau ada Avisha di sini.

"Kurang dessert," gumamnya yang membuat semua orang di sana menoleh pada Arven. "Kalo ada Avisha, pasti dia yang heboh buat itu. Cupcake. Macaroon. Avisha suka buat makanan-makanan manis gitu."

Suasana itu tentu jadi terasa aneh. Yang dipecahkan oleh Zion begitu saja, "Terus bisa lo apa, Zi?" Linzy langsung mendelik tajam. Jelas mengerti pertanyaan itu mengacu kemana. Lalu kasarnya Linzy memukul tubuh cowoknya bertubi-tubi tanpa peduli nada ampun di sana.

"Maksud lo nanya itu apa?!"

"Duh, duh berhenti dong, Zi. Bercanda doang itu," ringis Zion bergerak menjauh ke belakang tubuh Arven. "Lo gak ngerti banget sih, kalo gue ngomong gitu biar Arven gak galau—ups!" Dia menutup mulutnya tentu saja. "Ketauan dah jadinya," ucapnya menyengir pada semua orang di sana.

"Biasa aja gue," balas Arven menarik Zion dari belakangnya. "Tapi mending lo jauh-jauh sebelum gue marah."

Zion mendengkus sebal. Duduk bersama dengan posisi melingkari makanan.

"Lo besok berangkat jam?"

"Gue ngambil penerbangan pagi, Ta."

"Kalo kopernya udah lo siapin?"

"Gue selalu menyiapkan apapun, Gha dari jauh-jauh hari. Dari kemarin udah gue siapin."

"Lo kalo udah di sono jangan jadi sok inggris. Gak nyambung gue entar ngobrol sama lo." Dari semua perkataan, Zion memang tidak pernah mengucapkan sesuatu yang berfaedah. "Oh iya, lo mau cepet kaya gak, Ven? Selain kuliah di sono, lu sekalian jual Indomie rebus di jalan, disono lagi musim dingin kan ya?"

"Ini bulan Juni ya, Yon. Mana musim dingin sih. Suka gak dipake otaknya, heran." Linzy geleng-geleng kepala memakan kentang.

"Avisha," Retta tampak ragu membawa nama itu. "Dia udah tau lo besok pergi?"

Santainya Arven mencomot slice pizza di piring. "Gak tau," jawabnya biasa, walau jelas dia mati-matian menahan gejolak api di dada. "Lagian, gue gak punya kewajiban ngasih tau, kalo dia masih mikirin gue, harusnya dia sendiri yang nyari tau."

Diam-diam Regha cuma memandang Arven. Sebelum memegang ponselnya dan mengetikan sesuatu di sana.

Regha. D: Arven berangkat besok

Pesan itu tentu langsung terkirim pada orang tujuannya.

•••

Pada koper yang telah dimasukkan dalam mobil, Arven cuma bisa memandang tajam. Mengukur diri bagaimana kehidupannya pada empat tahun ke depan. Mungkin, tak akan sehampa ini jika tiap malam dia bisa melihat wajah perempuan yang dia rindukan. Mengorbankan setengah waktunya untuk tidur cuma untuk menanyakan kabar.

Ah ... tidak. Bahkan langit sedang meledeknya.

Pagi ini matahari bersinar sangat cerah. Terlihat begitu bahagia di atas keterpurukannya.

"Kakek akan menyusulmu nanti untuk melengkapi kebutuhanmu yang kurang di sana."

Arven tak mengatakan apapun selain memandang bagasi mobilnya yang Regha tutup. "Kakek tenang aja, Regha bakal nganterin Arven sampe bandara dengan selamat."

"Zion juga."

"Linzy juga."

"Retta juga."

Ketiga orang di sana bersahutan di waktu yang sama. Yang membuat Raihan tertawa mendengarnya. "Arven sangat beruntung memiliki kalian di sisinya," sang kakek menepuk-nepuk pundaknya. "Setidaknya, selama ini dia tidak seterpuruk itu."

"Oh jelas," ucap Zion penuh penekanan. Merangkulkan bahu Arven begitu saja. "Makanya dia sekarang keliatan sedih banget. Gak usah sedih, Ven mau pisah sama gue lo sampe segitunya."

Arven mendorong Zion malas tanpa memedulikan tawa cowok itu. "Jalan sekarang aja." Dia langsung masuk ke dalam mobil setelah berpamitan canggung dengan kakeknya. Disusul teman-temannya.

Kemudian mobil meninggalkan halaman depan rumah mewah kakeknya.

"Jadi ini alasan lo gak mau kita ke rumah kakek lo," sahut Zion. "Semewah itu ternyata. Pelit lo ama temen sendiri. Takut isi kulkas kakek lo habis ya?" Kemudian dia tergelak. "Kalo lo Gha, udah pernah?"

"Pernah sekali, udah lama banget sih." Regha menjawab sambil fokus menyetir.

"Oh iya?" Retta jadi antusias, mendekati cowoknya yang duduk di kursi depan. "Kamu ngapain pas itu?"

Dan cuma pertanyaan itu, Regha tergagap sendiri. Menoleh pada Arven yang justru cuek memandang luar jendela. "Ah ... itu, Arven ..."

"Gue hampir motong urat nadi gue dan Regha bantu gue pulang setelah dari rumah sakit," Arven menoleh santai ke belakang dan mendapati muka syok dari tiga orang itu. "Sekarang kalian tau."

Arven merasa tak perlu menutupi apapun. Dan membawa keempat orang temannya ke rumah sang kakek dia tak merasa menyesal dengan itu. Mungkin kalau Regha, Zion, Retta dan Linzy tidak menginap di apartemennya semalam, mereka tak akan memasuki area kakeknya yang sejak dulu Arven sembunyikan. Dulu tempat itu mengerikan. Begitu menakutkan sampai dia tak ingin pulang. Dia tak punya ruang untuk berekspresi apalagi membantah.

Tapi sekarang, dia dalam proses perbaikan. Dia yakin dia mampu meruntuhkan tembok antaranya dan sang kakek.

Karena beliau keluarga satu-satunya yang sebenarnya dia punya.

Banyak obrolan yang mereka tuangkan, tak terasa mobil akhirnya sampai bandara. Regha mencari lahan kosong dekat dengan terminal penerbangan Arven. Cowok itu turun mengeluarkan dua kopernya yang dimasukkan.

"Lo yakin mau pergi ya?"

Zion membantu membawakan koper Arven yang satunya.

"Kenapa emang?" Arven sejenak berhenti untuk merapihkan jaket kulit yang dipakainya.

"Gak rela gue masa."

"Gak ada temen berantem lagi dia," sahut Regha tertawa.

"Tau gue banget emang lo, Gha, jadi makin sayang." Zion tersenyum hendak memeluk, yang sigapnya Regha segera menghindar. "Bener deh, Ven. Entar gak ada yang bisa gue bikin emosi lagi kalo lo gak ada."

"Cewek lo ada."

"Lo mau gue diamukin macan?" bisik Zion tajam sekaligus pelan. Tapi, Linzy jelas mendengar yang langsung mencubit lengannya.

"Ngomong apa lo, Yon?"

"Aduh, sakit yank! Kejem bener sih."

Arven cuma dapat menatap kedua sahabatnya yang kini tampak bahagia dengan pasangannya masing-masing. Jika sekarang Regha jadi merangkulkan tangan di bahu Retta. Dan Zion, berusaha menenangkan ceweknya yang hendak memukulnya sekali lagi.

Bukan iri, Arven justru bahagia. Setidaknya, kepergiannya tak terlalu memberikan dampak negatif pada kedua sahabatnya. Meski berat, dia sudah memutuskan untuk pergi. Dan pada keputusannya dia tak merasa salah sama sekali.

Waktu berjalan begitu cepat. Tak ada yang menyangka jika sekarang mereka sudah dalam proses mengejar impian masing-masing. Masa depan akan mengambil alih pikiran. Menguji sedewasa apa mereka nanti.

"Gue harap lo semua sukses dengan impian kalian masing-masing." Arven senyum kecil. "Gue bakal selalu inget kalian. Gue gak pergi lama, setahun sekali kita ketemu buat bercanda atau cuma sekadar ngobrol."

"Ven ..." Regha speechlees.

"Thanks, Gha karena udah nemenin gue sampe detik ini," Sejujurnya Arven benci suasana melankonis seperti ini. Tapi, setiap kenangan yang ada membuatnya sadar betapa berharganya sebuah pertemanan. "Lo orang pertama yang mau jadi temen gue. Gue males sebenarnya ngomong ini, tapi gue emang beruntung punya lo."

Arven menoleh kali ini pada Zion. "Dan lo, Yon, walaupun lo selalu ngajak berantem. Tapi thanks, karena kegilaan lo, gue gak sedih lama-lama." Dia mendekat dan menepuk bahu cowok itu yang matanya mulai memerah menahan tangis. "Karena kegilaan lo, gue sadar gue emang gak setepuruk itu. Lanjutin bakat gila lo."

Arven tertawa kecil. Dengan Zion yang meneteskan air mata. "Terus buat lo, Ta, Zi. Jaga pacar kalian masing-masing ya. Kalian tau seberapa berharganya mereka."

"Jangan ngomong gitu sih." Retta mulai menangis di sana.

"Sialan!" Zion tak bisa menghentikan air matanya. "Buat apaan sih lo jadi mellow gitu. Gak etis banget gue nangis di bandara. Kan malu banyak bule-bule cakep—aw!" Zion mengusap pinggangnya dan mendapati Linzy yang memelotot.

"Gue emang gak terlalu deket sama lo sih, Ven," ucap Linzy. "Tapi, gue yakin lo bakal sukses nanti. Lo gak lupa kan, pas ketemu gue pertama kali di rumah Regha?"

Arven mengangguk. "Ya, Linzy yang malu-malu beda banget sama sekarang kan?"

Linzy tertawa. "Lo tau kenapa gue malu-malu saat itu."

"Karena lo suka gue."

"Tepat sekali." Tanpa peduli pada Zion yang membulatkan mata syok, Linzy kembali tertawa.

"Lo jadi beneran pernah suka Arven?"

"Hm, gak tau ya, entah suka atau kagum," Linzy mengedikan bahu tak acuh. "Tapi, ya emang aura Arven sekeren itu. Siapa cewek yang gak suka atau kagum sih? Bener gak, Ta?"

Retta tertawa. "Iya sih, sayangnya dulu dia lawan gue di sekolah dulu. Peringkat gue selalu kalah karena dia."

Suasana ini sejujurnya yang membuat Arven berat untuk meninggalkan. Apalagi tak lama terdengar nomor penerbangannya disebut. "Gue harus pergi." Keempat orang di sana cuma bisa memandang diam Arven yang menarik koper satunya di tangan Zion. "Secepatnya kita semua ketemu lagi."

Saat Arven berbalik mengembukan napas panjang. Dia menarik kedua kopernya bersiap merelakan—

"Kak Arven!"

--Yang begitu saja tertahan. Kakinya beku di pijakan. Bagaimana suara itu menelusup telinga, begitulah cara kerja jantungnya yang langsung berdebar kencang karenanya.

Kakinya langsung berbalik. Melihat orang yang diharapkannya ada di sana, dadanya mencelos begitu saja.

Avisha ada di sana.

Perempuan itu ada di sana! Di atas kursi roda dengan Yania yang mendorongnya mendekat.

Tanpa ingin menunggu cewek itu yang mencapai lebih dulu, Arven melepaskan kopernya dan berlari mendekat. Avisha jadi terpaksa mendongak dengan perlahan menatap lurus karena Arven yang bersimpuh.

"Kak Arven mau pergi ya?" Bukan pertanyaan itu yang membuat Arven fokus, justru pada lengannya yang terbalut perban. "Kak Arven pasti marah banget sama Visha ya? Kak Arven benci sama Visha kan?"

Cewek itu meneteskan air matanya yang cepatnya menggerakan jemari Arven mengusapnya. "Visha minta maaf. Maaf. Visha gak berharap kak Arven bakal maafin Visha kok. Visha ke sini cuma pengen ngeliat kak Arven buat terakhir kali."

Avisha mengusap wajah Arven pelan. Tersentaknya Avisha saat Arven menahan jemarinya di pipi, sebelum mengecupnya pelan. "Gimana bisa gue benci lo?" Dan bagaimana ucapan dingin itu justru terdengar merdu di telinganya, Avisha malah tak bisa tak makin menangis. "Gimana bisa gue ngelupain lo?"

"Visha udah jahat sama kak Arven," Avisha sesegukan saat Arven mengambil kedua tangannya untuk digenggam. "Visha jahat sama kak Arven. Kak Arven pantes kok benci Visha ... kak Arven gak salah pergi dari Visha. Tapi tolong maafin Visha. Maaf."

"Lo mau gue maafin?"

Avisha mengangguk cepat tanpa pikir lagi.

"Kalo gitu tetep di sisi gue."

Seperti biasa kalimat datar Arven memang paling besar memberikan dampak. Bahkan Yania jadi berdeham, blushing sendiri. Padahal jelas perkataan itu ditujukan untuk Avisha.

"Kak Arven emang gak marah sama Visha?"

"Gue marah."

"Tapi, kok ..."

"Gue marah, dan hukuman lo harus di samping gue jadi pacar gue. Adil bukan?"

Avisha mengerutkan dahi dalam. "Gak usah banyak mikir," cowok itu mengusap kerutan keningnya. "Apa jawabannya?"

"Visha ..."

"Yaya," Yania sontak tersentak kala namanya dipanggil. "Bisa ngadep sana." Titah Arven seperti sesuatu yang tak dapat ditolak. Yania langsung patuh begitu saja menghadap belakang.

"Apa jawabannya, Sha?" Arven kembali memandang Avisha. Menunggu. "Satu," Wajahnya makin mendekat pada Avisha. "Dua," Avisha sontak menahan napas saat hidung mereka bertemu. "Tiga, lo gak jawab berarti iya."

Kemudian tanpa memedulikan keadaan sekitar. Avisha syok merasakan bibir Arven di atas bibirnya. Termasuk semua sahabatnya.

"Wah," Zion ternganga. "Gokil emang temen lo, Gha." Regha tertawa dengan menutup mata Retta, sementara Linzy blushing sendiri.

Arven menarik dirinya tak lama. Memandang Avisha dengan mata tajamnya yang memancar kelembutan. Dan jemarinya begitu pelan mengusap bibirnya. Avisha tergugu.

"Lo bisa ngehadep sini lagi, Ya."

Yania langsung mengangguk dan menghadap kembali ke arah Arven. Mengernyit merasakan sesuatu yang ganjal tapi memilih tak berkomentar.

"Mm ... tapi kak Arven ... hm tetep pergi?"

"Gue gak bisa lawan itu, gue udah terlanjur milih." Arven merasa sangat menyesal.

"Gak apa-apa kok," Avisha tersenyum. "Visha bakal di sini nunggu kak Arven. Kita masih bisa teleponan kan."

"Lo percaya gue kan?" Avisha tentu mengangguk cepat. "Tunggu gue ya. Gue pasti balik. Dan ada saatnya nanti lo bakal jadi milik gue seutuhnya."

"Visha cuma berharap kak Arven tetep jadi kak Arven yang Visha kenal."

Arven menangkup wajahnya. "Gue emang gak bisa janji, tapi gue bertanggung jawab sama setiap omongan gue." Avisha tersenyum makin melebar karena ciuman di kening. "Perasaan gue gak pernah main-main lo tau itu."

Sekali lagi anggukan Avisha berikan dengan Arven yang mengusap bahunya yang tertutup perban.. "Maaf ya gue gak bisa jagain lo. Dan gue gak bisa lama-lama."

Mungkin berat dan sulit. Tapi, Avisha meyakinkan diri. Melihat Arven yang perlahan pergi dengan kopernya. Avisha cuma bisa melambaikan tangan yang dibalas cowok itu.

Karena seperti kata sang mama.

Kepergian bukan akhir dari segalanya.

•••

Gak nyangka akhirnya cerita ini bisa diselesain juga :' padahal sempet ngenggantung buat beberapa bulan :)) Sedih campur seneng sih karena aku akhirnya bisa nyelesain sesuatu yang udah aku mulai. Jujur awalnya aku hampir nyerah karena terlalu sibuk di dunia nyata, udah ada pikiran, ini mah gak bakal bisa nulis lgi.

Tapi trnyata enggak wkwkwkwk, kalo diniatin dengan sungguh-sungguh, dibantu komen2 kalian yang luar biasa selalu smngatin.  Cerita ini bisa diselesain dengan baik, sama kayak cerita2ku yg lain.

Sampai di sini. Aku mau tau dong gimana perasaan kalian pas baca cerita ini? Gimana tokoh cerita ini

Ungkapin semua kesan atau pesan yng kalian pengen banget sampein. Ayo-ayo keluarkan.

Oh ya, terus jangan sungkan-sungkan DM aku di IG ya karena aku selalu seneng ngerespon siapapun yang nanya-nanya ataupun curhat juga boleh wkwkwk

Aku ucapin big thanks for support kaliaan. Kalo gk ada kalian, gk mungkin aku bisa nulis cerita ini sampai ending. Karena kalian suntikkan paling utama buat aku semangat.

See you di ceritaku yg lain :))))

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro